7/26/16

Tiga Puluhan dan Masih Sendiri


Parkiran apartemen masih lengang. Kulirik arloji di tangan yang menunjukkan pukul lima sore. Orang-orang masih beredar di luar sana. Mesin mobil kumatikan lalu kugapai dua tas di jok belakang seraya membuka pintu kemudian beranjak keluar. Lampu lantai parkiran bawah tanah ini sudah dinyalakan karena meski langit tak gelap pun, tak ada sinar matahari yang masuk. Langkahku ringan menuju lift dan kutempelkan kartu penghuni ke mesin pemindai; seketika tombol bertuliskan angka 15 menyala.


*


Tak tok tak tok… Suara hak sepatuku memecah keheningan sepanjang lorong lantai 15, selain geledek di luar sana. Hujan mengguyur dari pagi dan membuat hari ini sendu. Semua orang setengah hati menjalani rutinitas dan yang dilakukan dengan sepenuh hati hanyalah menunggu waktunya pulang. Aku sempat terdiam sejenak saat memutar kunci di pintu unitku—tebersit untuk mampir ke unit Ateira. Namun kuputuskan untuk beristirahat dulu dan menghubunginya menjelang makan malam nanti.


Baru sekitar lima menit tiba di unit, layar ponsel genggamku menyala dan kulihat “Mama” muncul di sana. “Ya, Ma?” sahutku sembari merebahkan badan ke sofa dan menyalakan televisi dengan remote.

9/1/13

TARIAN MACAN LAPAR

Tetangga kamarku macan lapar. Aku melihatnya berjalan dari belakang ketika ia menyusuri koridor untuk masuk ke kamarnya. Bertelanjang kaki. Ada memar yang kukenal di pergelangan kakinya. 'Luka' seorang penari.

Kemungkinan besar ia keturunan keraton Solo. Sejauh yang kutahu, langkah itu hanya mewaris secara turun temurun pada gadis-gadis di sana. Langkah yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Megal-megol istilahnya. Jika pinggul kirinya mencuat ke kanan, pundak kirinya lunglai ke depan. Gampangnya, bayangkan saja peragawati yang berjalan anggun tapi gahar di atas catwalk. Menurut salah seorang penulis, istilahnya: gandes, luwes, dan kewes.

Esoknya aku berpapasan dengannya. Kuberanikan diri saja menyapa. Toh rupanya ia tak mengaum. "Kyna, panggil saja Kyna," ujarnya. Benar tebakanku, ia (pernah) penari, tapi masih terus menari. Entahlah apa bedanya, tapi ia bilang, "Kini aku hanya menari untukku sendiri," ujarnya beberapa hari kemudian ketika aku mengunjungi ia di kamarnya. Segelas teh ia suguhkan di cangkir tanah liat, lengkap dengan poci tanah liatnya.

"Ayok diminum, nggak enak nanti kalau udah dingin," ujarnya sambil menjatuhkan sebongkah gula batu di cangkirku. "Nggak ada yang lebih enak ketimbang nguyup teh poci di pagi hari," ujarnya. Padahal sekarang sudah siang. Tapi baginya, hari selalu pagi.

Kyna menyukai teh poci. Mungkin karena minuman ini merepresentasikannya. Kata temanku yang asli daerah pantai utara, teh poci itu kudu wasgitel, wangi, panas, legi, dan kentel. Begitu pula Kyna. Dan sebenarnya poci bukan hanya milik ceret. Burung juga ada yang namanya poci. Ibu pernah bercerita, meski samar-samar kuingat. "Kalau tak salah kacer poci, burung yang punya keahlian menirukan kicauan burung lain," ujarnya.

"Lah, kayak bunglon dong," ujarnya sambil menuang segelas teh lagi pada cangkirnya. Ia terlihat merenung sebentar, "Tapi bukankah semua manusia adalah bunglon?"

Pernyataannya berpijak pada peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. "Aku nggak bisa nerima aja, orang harus berubah karena lingkungannya. Kita ini manusia lho, punya prinsip. Bukan bunglon," ujar ia.

"Dasar bunglon!" ujarnya mengumpat. "Haha, aku nggak bakal bilang anjing! atau monyet! lagi ah," ujarnya senang, menemukan kata makian baru. Bunglon yang malang, sudah dituduh tak prinsipil, disamakan dengan manusia-manusia yang pantas dicerca pula.

"I don't want to be a product of my environment. I want my environment to be a product of me," ujarku mengutip Frank Costello dalam film The Departed. Film yang juga ia tonton. "Kalau Frank Costello jadi bunglon, ke manapun tempat yang ia singgahi akan berubah jadi hijau," ujarnya antusias. Kami sedikit banyak ngobrol soal film dari pembahasan The Departed ini. Kyna berulang kali mengerutkan dahi, mencoba menirukan ekspresi muka Jack Nicholson, pemeran Frank Costello dalam film itu.

Meski berulang kali menonton The Departed, Rupanya ia belum menonton trilogi Infernal Affairs, cikal bakal film yang digubah Martin Scorcese itu. "Ada nanti di laptop kalau mau nonton. Hati-hati nanti jatuh cinta sama Tony Leung," ujar saya, yang beberapa detik kemudian merasa aneh dengan apa yang baru saya sampaikan. "Nggak, maksudnya Tony Leung keren, kayak saya, haha" ujarku yang lebih memilih disangka narsis ketimbang dikira suka sesama jenis.

Obrolan film ini berlangsung lumayan lama, hingga Kyna yang rupanya masih terngiang-ngiang soal bunglon menyela. "Bunglon itu warna aslinya apa sih? Benar hijau kan?" ujarnya keheranan sendiri.

*

"Boleh, aku lihat kamu nari?" tanyaku. Penasaran saja apakah si macan lapar ini tak hanya elok saat berjalan. Jawabannya hampir pasti iya. Tapi bukan itu tujuanku. Barangkali dengan menari, ia bisa lebih terbuka padaku. Berbicara tentang keresahannya yang tertahan sejak pertama kali ia memperkenalkan namanya padaku.

"Tapi aku tak lagi menari di depan orang lain," ujarnya. "Kalau begitu anggap saja aku bukan orang lain."

"Aku tak lagi menari di depan orang," ujarnya. "Kalau begitu anggap saja aku hantu belau."

"Aku, tak lagi, menari," ujarnya dengan nada yang lebih tinggi. "Kalau begitu aku tak lagi memintamu menari, anggap saja begitu."

Seharusnya kutahu, ia tak ingin melakukan itu, sekarang, di depanku, atau di depan yang lain. Dari awal sudah ditegaskan ia tak lagi penari, ketika ia memutuskan hanya menari untuk dirinya sendiri.

"Tarianmu keheningan subuh, kebeningan ufuk. Yang jauh. Sujud dan rukuk. Kekhusukan yang dipadatkan rindu. Bersama fajar lukisanku menggali cahaya. Menyulut sumbu waktu. Darah dan airmata, ..." aku mengutip puisi  Acep Zamzam Noor untuknya.

"...warna-warna yang disemburkan kedalaman batu," ujarnya menuntaskan. Puisi 'Dari Pelukis buat Penari', ia juga tahu itu. Ada yang menggenang di cembung matanya.

"Adya dulu seorang pelukis."

*

Entah siapa Adya. Tapi aku harus berterima kasih padanya. Ia buru-buru menyeka matanya usai menyebut nama itu. Nama itu bukan apa yang diperintah otak untuk terucap dari bibirnya, melainkan hatinya. Yang entah terkoyak sedemikian rupa apa, sehingga macan lapar ini hampir meneteskan air mata. Ia lebih memilih menari, ketimbang aku bertanya-tanya soal Adya.

"Lihat aku," ujarnya beranjak dari tempat duduk ke lantai. Ia menekuk lututnya, mendak. Dan seketika ruang kamar seolah menjadi belantara. Si macan lapar menari, ya benar, untuk dirinya sendiri, karena setelah ia mendak, jiwanya tak ada lagi di ruangan ini.

Bisa jadi yang diperagakannya adalah Tari Driasmara, dilakukan tanpa iringan (musik), tanpa pasangan (patetik). Aku ingat-ingat lagi irama gending kinanti sandung, melihat Kyna yang menari bergelora tapi resah. Seperti istri marinir yang hendak menjemput suaminya yang baru pulang dari medan perang. Raganya yang wasgitel lenggak-lenggok, mencari-cari sukma dalam irama. Tapi jiwanya mengelana, menjemput rindu yang entah terserak di mana.

Aku ingin bertepuk tangan, tapi entah bagaimana mengapresiasi seseorang yang tak melakukan sesuatu untuk mengimpresi orang lain. Jadinya aku hanya mengambil handuk kecil agar ia bisa menyeka peluhnya yang bercucur. "Bagus banget...," aduh aku bingung ngomong apa. "Gerakannya, iya bagus," ujarku memperinci. Aku tak ingin ia menganggapku mengapresiasi penderitaannya karena rindu. Aku melihat jiwa itu ketika kembali ke tubuhnya. Tersirat sekilas rasa kecewa, mungkin karena ia lagi-lagi tak menemukan apa yang dicarinya lewat Driasmara.

"Benar kata Acep, tari itu doa tingkat tinggi. Seperti rukuk dan sujud dalam keheningan subuh," ujarnya. Ia mengakui ketika menari seperti berada dalam dua dunia, spiritual dan ragawi. "Kita tak bisa mengarang, mendapatkan begitu saja. Bukan semata doa yang bisa dengan mudah diucapkan," ujarnya.

"Dalam tari, raga kita meminta, kita memuja, jiwa kita berserah, tulus berpasrah. Demi khusuk yang terpadatkan rindu, meski seringnya setelah semua kesadrahan itu, kita merintih," ujarnya.

Atas kata-kata itu, lamat-lamat syair gending Ketawang Retnawiguna yang pernah diutarakan Ning, terngiang lagi di telingaku:

Burong toya baya sira, welas asih marang dasih.

*

"Makasih udah mau mampir," ujar Kyna ketika aku hendak kembali ke kamar. "Kalau tak ada acara, nanti malam ikut makan yuk, bareng Tei dan Ora," ujarnya menawarkan.

Aku refleks membalik badan, "Ateira?" Ia mengerutkan dahi, "Iya, Tei dan Ora. Ateira dan Elora," ujarnya menjelaskan. Aku sadar terlalu antusias. "Nanti kukabari lagi malam ya, semoga nggak ada acara mendadak," ujarku berusaha kalem. Ketika aku membalik badan lagi, muka Kyna terlihat aneh, ia mencium ada yang aneh dengan gelagatku.

Ah sudah tanggung malu lah. Belum dua langkah aku berjalan, aku membalikkan badan lagi mendekatinya. "Aku mau tanya-tanya tentang Ateira...," aku bingung, mau ngomong apa lagi setelah mengucapkan nama itu. Tadinya tanggung malu, ternyata masih malu tanggung. Mukaku merah padam, butuh cepat-cepat panggil blangwir.

"Ateora maksudku, eh, hmm, Tei dan Ora, Ateora kan kalau disingkat. Mau kenal tentang mereka, yang lain juga kamu akrab kan, Kalea, Naila, Julian, seru juga ya kalau nanti malam semua bisa ikut makan bareng," ujarku kikuk, kepala digaruk-garuk.

Kyna tersenyum penuh makna. Tapi mungkin pikirnya ini bukan waktu yang tepat untuk membuat kepalaku makin gatal. "Ide bagus, kukabari nanti malam ya," ujarnya, pura-pura tak peka, tentang ketertarikanku pada Ateira.

8/27/13

Monolog Lejar

Biasanya tidak begini. Sekujur betis, tulang kering, dan tulang panggulku mulai nyeri. Kesemutan seperti aku belum pernah melakukan pose ini. Biji-biji keringat mulai menggelinding dengan deras, dari pori-pori kulit kepala, jatuh ke batang hidung, membuat asin tersesap selewat di bibirku, dan seluruh tubuhku basah.

20 detik lagi...

15...
10...
5...

"Fyuuuhhh!" desahku berat bersamaan dengan tumpuanku yang langsung jatuh berpegangan pada tiang kayu yang melintang di sepanjang tepi kaca ruangan ini. Aku menghirup napas dengan rakus, dalam namun pendek-pendek dan terengah-engah. Lima belas menit hanya aku habiskan dengan melakukan posisi mendak. Pose ini adalah gerakan yang mendominasi tubuh seorang penari Jawa saat berlaga; berdiri dengan posisi kedua tungkai kaki ditekuk sehingga menciptakan bentuk seperti ketupat jika dilihat dari depan dan belakang, dan kedua telapak kaki menghadap berlawanan ke sisi luar. 
Sepanjang tarian, seorang penari Jawa pasti melakukan posisi tubuh ini. Herannya, sore ini aku setengah mati mencoba bertahan berdiri dengan sikap dasar tersebut. Selayaknya posisi bersila ketika bermeditasi, aku menganggap setiap sikap dasar dari tarian Jawa sebagai saranaku untuk mencapai titik nol alam pikiranku. Beginilah caranya aku (dan mungkin beberapa penari lainnya) untuk menemukan fokus dan konsentrasi demi bisa menyatu dengan diri sendiri. Demi mengantarkan jiwa ke alam yang jauh daripada yang lain. Jauh dari sini.

"Tarian adalah wujud dari sebuah pengetahuan. Pengetahuan tentang hal-hal di luar persoalan raga yang selalu manusia butuhkan dan sanggup capai," ujar salah satu guru yang lebih tepat disebut sebagai pesohor dunia tari tradisional saat aku masih kuliah di salah satu institut seni ternama di Indonesia itu. Aku amini ujaran beliau begitu kutahu betapa beratnya mencapai titik dimana aku ada sekarang, titik yang bahkan belum bisa aku kuasai dengan fasih sendiri. Bahwa tari adalah media antara dunia spiritual dan ragawi. Dan harmonisasi antara dua dunia ini tak bisa dikarang, tak bisa didapat begitu saja, tak bisa dirapal semudah membaca doa. Bagiku, sebenarnya tarian itu sendiri adalah doa, doa yang dipanjatkan melalui seluruh organ tubuh yang bergerak, yang memuja, dan yang merintih. Disertai oleh jiwa yang berserah, pasrah, dan tulus. Jiwa yang telanjang. Doa yang rumit.



Image source: here

2/11/12

Mimpi dan "Mimpi"

"You take a big leap. While so hard for me to take a simple step."

"Follow me."

Ia kemudian berjalan menyusuri jalan setapak bagaikan ninja. Melompat sangat cepat hingga kulihat wujudnya terbagi menjadi serpihan partikel yang semakin lama semakin menipis. Argh! Sesak sekali rasanya dada ini. Berat pula kakiku untuk melangkah mengikutinya. Tak sedikitpun kata yang dapat meluncur dari tenggorokan. “Tungggu!”

Putih.

Paralysis nocturna kembali menyapa, rupanya. Satu step di antara keadaan tidur dan tidak tidur yang membuat mimpi terasa seribu kali lebih nyata. Dan kini, sosok dalam paralysis nocturna menjelma menjadi Musa.

Bagiku, mimpi tak hanya bunga tidur. Banyak ikatan yang tak dapat dideskripsikan melebur menyelusup dalam alam bawah sadar dan mewujudkan dirinya dalam mimpi. Aku sangat mempercayainya.

Akh! Hell with it. Hari ini aku berjanji bertemu Kalea. Sepulangnya dia dari luar kota kemarin, dia mengirim pesan pribadi di twitter yang berisi ajakan bertemu di tempat ngopi favoritnya.

Ketika mengunci kamar, ujung mataku menangkap sosok Julian baru keluar lift.

“Tei!”

“Juliaaaannn! Long time no see! Denger-denger abis dari luar, ya? Kyna juga kemarin baru banget pulang dari London. Wah, looking forward for a full team meeting dalam rangka bagi-bagi oleh-oleh yaaa! Hahahaha,” aku merangkul Julian dengan hangat.

“Iya, baru pulang dari Belanda untuk urusan kerjaan. Oh iya, kenalin ini adik saya, Pavel. Pavel, ini Ateira,” ujar Julian. Pavel memindahkan semua tas belanjaannya ke tangan kiri, sebelum menyodorkan tangan kanannya.

“Wow, looks like someone had helped raising my country’s income by shopping a lot at factory outlet! Hahaha. Nice to meet you, Pavel!”

“Haha, iya, semua ini gara-gara Julian. Dia membelikan saya semua barang yang saya pegang. Senang juga berkenalan dengan kamu, Tei,” ujarnya.

“He? Bisa ngomong Bahasa Indonesia, toh?” aku membalas sambil tergelak.

“Ya, Bahasa Indonesia Pavel sangat fasih,” Julian memberitahu dengan bangga.

“Anyway, aku ditunggu Kalea nih. Lain kali ikut ngopi-ngopi yuk kalau lagi santai. Tadinya aku ajak semua, tapi Ori dan Kyna sedang ada reuni dan Naila ada liputan. Mardi juga berhalangan siang ini. Jalan dulu ya Julian, Pavel, sampai jumpa!” Kami meneruskan jalan masing-masing, dan aku langsung menuju tempat kopi favorit Kalea yang letaknya tak terlalu jauh dari Seguni.

***

Tak butuh waktu lama, aku mengenali sosok Kalea di balik atasan fuschia dan kalung turquoise-nya. Warna yang juga aku sukai. Mungkin aku langsung melihatnya ketika memasuki coffee shop ini bukan karena dia Kalea, tapi karena paduan warna itu memang selalu menarik perhatianku.

Beberapa waktu, aku menikmati pemandangan sekeliling. Tempat duduk kami berupa sofa di pojok, dengan jendela besar yang langsung menghadap trotoar lebar.

“Mungkin aku akan segera pindah, Tei,” Kalea mengatakan kalimat itu tanpa mengalihkan pandangan dari es coklatnya.

“Maksudmu?”

“Bosku memberikan pekerjaan yang lebih menjanjikan. Di Jakarta.”

“Wow, selamat, Kal! That’s good! Ah, semua orang di sekelilingku tampak mulai merintis karir sementara aku masih menunggu kepastian. Bersyukurlah, Kal, mungkin banyak rekanmu sesama kontributor yang mengharapkan panggilan itu!” aku tertegun beberapa detik sebelum mengatakan itu. Mungkin ucapan selamatku pun terdengar sumbang. Pertama, karena aku masih saja menunggu celah untuk majalah yang aku cita-citakan sejak dulu. Kedua, karena aku bingung harus ikut senang atau sedih. Pasalnya kami baru saja saling mengenal dan aku sudah menyukainya. Beberapa detik pula, Kalea tak kunjung menolehkan muka.

“Why, Kal?”

“Aku tak yakin aku ingin. Memang lompatan yang bagus untuk karirku. Pun ada beberapa hal yang mengharuskanku pergi dari sini. Tapi aku tidak ingin. Dan jangan bilang bahwa kita harus memilih yang harus kita lakukan, bukan yang kita inginkan. Karena semuanya tak pernah semudah yang dikatakan,” ujarnya.

“Kamu benar. Aku, justru beberapa kali ingin sekali pindah dari kota ini. Ada hal-hal yang terus membayang selama aku menyusuri setiap jalannya. Tapi aku tetap di sini, karena aku ingin merintis usaha serta karirku. Lantas terpikir bahwa aku ternyata tidak seingin itu untuk meninggalkan kota ini beserta seribu kenangan di dalamnya. Hehe. Kau? Apa alasanmu?” aku kemudian menunggu jawabannya beberapa saat.

“Errr, aku merasa harus meninggalkan kota ini karena awalnya, aku pikir itu satu-satunya hal yang bisa menghapus semua kenanganku. Hahaha. Kamu, baru putus juga, ya?” Kalea akhirnya tertawa.

“ Percaya atau tidak, Kal. Aku baru putus dan langsung menerima undangan pernikahan mantanku. Hahaha!”

“Jah? So Sad. Itulah kenapa kau selalu menghindar dari topik pernikahan?”

It’s freaking me out! Dan bayangan Musa lalu seperti menari-nari mengenakan pakaian adat sambil mengucap ijab kabul di kepalaku,” ujarku sambil tertawa. Lagi-lagi sumbang.

“Hahaha, please deh, susah tau ngebayangin berucap ijab kabul sambil nari-nari. Lalu, apa kepastian pekerjaan yang tadi kau sebutkan?”

Aku kemudian bercerita mengenai cita-citaku yang tak sembarang orang tahu. Yang kuanggap begitu agung. Mengabulkan franchise Mariah Tunsell, majalah asal Amerika yang fokus utamanya adalah craft dan garden, serta sedikit tentang interior design. Sebuah majalah dengan konsep yang belum ada di Indonesia. Di negaranya, Mariah begitu terkenal sebagai stylist nomor satu. Ia memiliki acara TV sendiri dengan rating yang luar biasa. Itulah mengapa Bliss Flowery lahir. Sejak kuliah pun, aku sudah menjadi kontributor dalam membuat table setting dan craft di majalah-majalah ternama. Namun untuk mengabulkan franchise itu, terlihat masih jauh sekali prosesnya.

“Keren banget, Tei! Itu baru yang namanya cita-cita! Kau tahu, sampai umurku sekarang, aku tidak tahu apa sebenarnya cita-citaku,” ujar Kalea.

“Setidaknya kau satu langkah lebih maju dariku, Kal. Bekerja pada media nomor satu! Aku punya cita-cita yang mustahil dan akhirnya sampai sekarang tidak menghasilkan apa-apa. Eh, ngomong-ngomong, kalau mediamu butuh stylist untuk table setting atau apapun itu, atau sekalian bisa aku promosikan bayi kecilku si Bliss Flowery, aku sangat berterimakasih, loh. Hihihi. Lumayan untuk porto.”

“Kirim dulu coba portonya, nanti aku bicarakan dengan bos. Eh, sepertinya aku sudah tahu keputusanku, Tei.”

“Maksudnya?”

“Untuk pindah atau tidak. Eh iya gak ya? Labil! Hahahaha. Anyway, kumpul-kumpul lagi yuk selantai 15?”

“Ayok banget! Nanti malam aku mau ke Mardi, ada perlu mengembalikan sesuatu. Mungkin nanti sekalian ajak dia juga. By the way, dua minggu lagi Bliss anniversary yang pertama. Kalian bakal jadi tamu kehormatan, pokoknya!”

“Wih, seru! Ngomong-ngomong, boleh aku ikut ke tempat Mardi nanti malam?” tanya Kalea.

Aku mengangguk senang.

Ateira Niskala

1501

2/18/11

The Return

Indikator baterai iPod saya sudah menunjukkan masa kritis. Sebentar lagi mati, dan saya tidak tahu lagi harus mencari hiburan apalagi setelah badai salju membuat semua penerbangan keluar Schipol dibatalkan selama 6 jam. Beginilah tidak enaknya negara yang berada jauh dari katulistiwa. Kini saya paham kenapa Belanda dulu kekeuh tidak mau melepaskan Indonesia sebagai jajahannya.

Sudah satu cup Starbucks caramel latte saya habiskan. Duduk bersama ribuan penumpang yang juga mungkin kekesalannya sama dengan yang saya rasakan. Di kejauhan saya melihat ada pesawat yang akhirnya diperbolehkan lepas landas. Lambaian tangan keluarga yang mengantar membuat saya hanya bisa menelan ludah. Betapa indahnya, pergi sambil melambaikan tangan kepada orang-orang tercinta..


Hi Mom..

Ohhhh

Dia hanya bisa memelukku erat, tanpa sepatah kata pun. Tak berapa lama saya merasa pundak saya basah.. Ibuku menangis, rindu.

Saya memang meminta Pavel untuk tidak memberitahu Mama kalau saya mau datang. Saya bermaksud memberinya kejutan.

Rumah ini tidak banyak berubah. Hanya mungkin bertambah gelap.. Ah mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa bermandi sinar matahari tropis di Indonesia, rasanya sinar matahari di Belanda jadi semakin redup.

Kom op in de. Dit is nog steeds uw huis, waarom sta je daar met.

(Ayo masuk, ini masih rumahmu, kenapa berdiri di sana.)

Ibuku belum terlalu tua. Dia masih cantik. Cantik khas Belanda yang menurut saya tidak secantik perempuan Indonesia.

In het kader van wat je hier kwam?

(Dalam rangka apa kamu ke sini?)

Hoe gaat het met je lieverd?

(Kamu apa kabar sayang?)

Ibu terus memegangi tanganku di meja makan. Sudah lama saya tidak menikmati secangkir teh cammomile buatannya. Harum, dan hangat..

Ik heb werk in Amsterdam. Een modeshow. Ik kan net zo goed hier te komen. Mama, ik mis mama..

(Aku ada kerjaan di Amsterdam. Sebuah fashion show. Aku sekalian ingin berkunjung. Mama, aku kangen Mama..)

Saya melihat mulut ibu sudah bergetar. Matanya kian bening. Lagi-lagi dia menangis.

Je weet niet hoeveel ik je missen.

(Kamu tidak tahu seberapa besar aku kangen kamu.)


Oke, sudah cukup drama nostalgia tali kasihnya. Saya hanya ingin melepas rindu, bukan malah merundung duka di sini. Saya berada di Amsterdam untuk sekitar 15 hari. Sebelumnya saya berada di Milan, Italia selama 1 minggu untuk menghadiri berbagai macam fashion show. Agak sakit hati karena sepertinya karena saya sudah terlalu berumur jadi tidak lagi diminta bantuan untuk memeragakan busana di fashion show musim dingin tahun ini.

Saya sibuk mencari oleh-oleh untuk keluarga saya di apartemen. Ya walaupun baru kenal, tapi saya merasa mereka adalah bagian penting dalam hidup saya. Entahlah, rasanya benar isi sebuah artikel yang pernah saya baca di Reuters Health, bahwa pertemanan itu sudah ditentukan sejak lahir, dari gen manusia.. Mungkin saja.


Besok adalah hari terakhir saya di Amsterdam. Lusa saya kembali lagi ke Indonesia. Urusan pekerjaan sudah beres sejak seminggu yang lalu. Saya memang memperpanjang waktu saya di sini agar bisa menghabiskan waktu bersama Mama dan adik-adik. Tapi saya lebih banyak berduaan dengan Pavel, adik saya yang kedua. Dia banyak sekali bercerita tentang kehidupannya. Dia mengenalkan pacarnya ke saya, Elizabeth, kalau tidak salah namanya. Singkat cerita, sore itu Pavel bertanya sesuatu ke saya. Sebuah pertanyaan yang sangat menyesakkan, sekaligus membuat saya lega.

Apa benar kamu menjadi boy toy di Indonesia?

Awalnya saya berpikir bahwa ini adalah rahasia saya yang akan saya simpan sampai liang kubur. Tapi.. terlalu lama menyimpannya malah membuat gerak laju saya menjadi berat. Saya juga butuh seseorang yang bisa saya ajak berbagi..

Kamu malu?

Jadi benar?

Ya...

Pavel terdiam. Dia memeluk tubuhku erat..

Maaf Julian.. Maaf aku gak pernah tahu kalau kamu semenderita ini.. Dari dulu yang aku tahu bahwa kamu adalah anak yang durhaka pada mendiang ayah..

Bukan salah kamu.

Aku melepaskan pelukannya.

Aku tidak butuh dikasihani.

Ahhh bicara apa saya ini, masih saja memegang gengsi pada adik sendiri..

Sekarang masih?

Tidak. Beruntung waktu itu ada pelangganku yang membuat aku menjadi model tenar. Sekarang aku sudah bersih..

Kenapa kamu gak pernah cerita di email?

Saya berdiri, memandangi orang-orang yang tertawa lepas mengayun ke sana ke mari di atas air danau yang membeku. bagaimana mungkin saya bisa bercerita masa suram itu ke Pavel. Anak bodoh..

Kalau aku cerita, memang kamu bisa apa? Ini sudah jadi resiko. Aku pergi dari rumah tanpa keahlian apapun kecuali bermain piano dan bermodalkan tubuh indah.

Kak.. Aku mau ikut ke Indonesia.

Kepalaku langsung menoleh ke arah Pavel yang sudah berdiri di sampingku.

Untuk apa?

Aku ingin tahu seperti apa kehidupanmu.. Setidaknya agar aku bisa merasakan semua kesepian yang selama ini kamu rasakan.

Inilah pertama kalinya saya dan Pavel berbicara sedalam ini. Dari hati ke hati. Tanpa pukulan, tanpa makian yang biasanya selalu menyertai perjumpaan kami.

Aku sayang kamu Julian.

Lagi-lagi Pavel memelukku.

Thanks Vel. I love you too..


Dari mana kamu?

Toilet. Bau sekali! Bandara ini seperti tempat penampungan Yahudi saat Nazi.

Hey, berapa lama penerbangan ke Indonesia?

Hmmm, kurang lebih 16 jam.

Ohhh. Ok. What a long flight.

Ya. Dan kamu tetep maksa untuk ikut sama aku.

Pavel tersenyum, kemudian kembali bercinta dengan buku yang baru saya belikan untuknya. Buku tentang batik. Pavel sangat cinta dengan budaya Indonesia. Dia bahkan mengambil jurusan Bahasa Indoensia di Leiden. Saya rasa, dia merepresentasikan Indonesia sebagai ayah, karena ayah orang Indonesia. Entahlah..


Kak, panas sekali di sini! Aku gak nyangka akan sepanas ini di sini.

I’ve told you before.

Hahhhh I can’t wait to meet you family here. Mereka baik kan?

Sejauh ini baik. Mungkin karena mereka tidak tahu kalau aku ini bekas...

Sssttt, stop talking. Take me around!

Pavel akan menetap bersamaku selama sebulan. Saya sangat senang bisa membawa Pavel ke sini. Saya tidak sabar untuk memperkenalkannya kepada penghuni lantai ini.. Lebih dari itu, saya memiliki teman untuk diajak menonton DVD di atas sofa butut ini.


Hey Julian

Tiba-tiba ada yang menepuk pundak saya. Saya kemudian membalikkan badan setelah mengunci rapat pintu apartemen.

Ehh, hai Elora. Lama gak ketemu ya..

Iya. Kamu ke mana aja sih? Melihat begitu banyaknya tumpukan surat di bawah, sepertinya kamu udah lama gak di apartemen. Kamu jadi ke luar negri?

Hehe iya. Aku baru aja kembali dari Eropa. Seperti yang aku bilang waktu itu, fashion show.

Wahhh enak sekali. Iriii!

Eh iya, kenalkan ini adikku, Pavel.

Halo

Pavel mengulurkan tangannya

Halo. I’m Elora. Nice to meet you

Mimik Elora lucu sekali. Dia menggerakkan bibirnya dengan sepenuh hati, seolah-olah adikku tidak bisa mendengar.

Haha, dia bisa bahasa Indonesia kok, Elora.

Ohhh. Hehe oh dikirain orang Londo tok tok. Eh maaf, aku duluan ya, masih ada kerjaan. Nice to meet you Pavel.

Pavel tersenyum sambil memberikan isyarat thumb up ke arah saya saat Elora sudah pergi mengarah ke unitnya.

Hey she’s much older than you!

Sooo???

Ahhh. Come.

Di kejauhan saya bisa melihat Naila di kejauhan. Dia juga baru akan pergi sepertinya. Karena Pavel terburu-buru, saya hanya bisa melambaikan tangan. Naila membalas. Ahhh saya rindu mereka. Sudah setengah bulan lebih kami tidak berkumpul.


Bagaimana liburannya Pak Julian?

Oh hey. Bukan liburan kok. Saya kerja.

Siapa ini? Meuni kasep..

Ini Pavel, adik saya. Dia akan menetap di sini selama sebulan. Apa saya perlu isi buku tamu?

Oh ya tentu. Selamat datang Pavel. Kalau perlu apa-apa bilang aja ka bapak. Ini Pak Julian, isi di sini.

Pak Sidik menyodorkan buku tamu ke saya. Memang aturan di apartemen ini, bila ada tamu yang menginap, baik itu keluarga, tamu atau pacar harus mengisi buku tamu. Untuk alasan keamanan.

Bade kamana?

Keliling FO aja Pak.

Hep pan ya!

Hahaha. Iya terimakasih Pak.

Pak Sidik adalah orang Sunda asli. Dia sering minta diajarkan bahasa Inggris ke saya. Tapi dasar Pak Sidik, dia selalu malas untuk mengeja huruf F dengan benar.

Eh iya Pak Julian. Urang poho. Kemarin ada laki-laki yang mengirimkan ini untuk Pak Julian. Ini.

Saya berbalik ke meja resepsionis, mengambil sebuah tas belanja Zara dari Pak Sidik.

Siapa Pak?

Tidak tahu saya. Pas ditanya, dia cuma bilang, just pren.

Pak Sidik tiba-tiba mengubah suaranya menjadi lebih ngebass, menirukan suara laki-laki misterius ini.

Haha. Dasar bapak ini.. Ya sudah saya titip dulu saja di sini. Nanti saya ambil saat pulang.

Sip bos! Hati-hati di jalan.

Saya melengos pergi. Siapa ya kira-kira yang mengirimkan tas belanja Zara itu..

You said it’s over.

What?

Saya kaget tiba-tiba Pavel bertanya saat pikiran saya sedang menerawang, menebak siapa yang kira-kira mengirimkannya.

Hey, kamu gak percaya aku? Aku udah bukan boy toy. Mungkin itu dari fans atau manajemen.

Tit tit

Telepon genggam saya berbunyi. SMS masuk.

Sudah terima paketnya? Suka gak? :)

Nomor tidak dikenal.

Siapa ini?

Sent. Delivered. Belum ada balasan. Selamat datang penasaran..

Julian Sastradinata

2/7/11

Menggantung Pagi

Klak, bletak, ...

Brukk...

Pfffttt... Ah, lelah sekali! Kulempar begitu saja tas jinjing ke sebelah sofa, koper biru tua kusandarkan di belakang pintu, dan aku tak tahan untuk melempar tubuhku ke atas sofa. Kuusap wajah yang kusam dan kuyu karena penerbangan selama 20 jam yang melelahkan! Susah payah melepas jaket abu rajut dan menyampirkannya di lengan sofa, aku menyandarkan leher dan kepalaku yang berat. Masih terbayang samar perjalanan 10 hari lalu bersama seluruh anggota dan kru Wandanyata yang menyenangkan, membanggakan, dan penuh drama. Seiring dengan kilas balik memoriku yang penuh warna dan riuh tepuk tangan audience di hadapan panggung, alam sadarku semakin jatuh dan terjun bebas ke lubang hitam yang berat, gravitasi lelah menarikku begitu kuat hingga aku pun tak ingat apa lagi setelahnya.

1/29/11

Berpindah?

Tidak, aku tidak kesepian sepanjang aku punya teman-teman yang mengitariku. Begitulah jawabku setiap teman-temanku bertanya mengapa aku masih mau hidup sendiri padahal aku sudah lulus kuliah, ibuku bisa mengurusi hidupnya sendiri, dan aku punya pekerjaan yang cukup bisa diandalkan. Lagipula aku tidak yakin bahwa pernikahan, jika memang itu yang mereka maksud, adalah jawaban atas kesendirian.

Bagiku, apapun status yang kau emban, kau akan terus sendiri. Setidaknya sampai kau mati nanti. Tidak mungkin orang yang ada di sebelahmu akan menjadi temanmu seumur hidup tanpa menyebabkan sedikit celah yang tidak terisi di setiap hari dan hela nafasmu. Manusia akan selalu sendiri. Percayalah. Dan kalau sudah begitu, teman-temanku hanya akan berkomentar, “Dasar keras kepala, pantas kalau sendiri terus,” diiringi gelak tawa yang kuamini.

Mengenai kesendirian ini, teman baruku di apartemen ini pernah sekali mengunjungiku dan terheran-heran melihat satu pot bunga yang ada di balkonku. Ateira, yang seorang florist, bilang aku memang tidak cocok memiliki hubungan apapun dengan tanaman. Hahaha, aku tertawa terbahak-bahak ketika ia bilang begitu. “Aku memang seperti tidak cocok memiliki hubungan dengan apapun, tidak hanya tanaman!” sejurus dia mendelik, lalu ikut tertawa bersamaku.

Oh, aku merindukan pertemuan dengan penghuni apartemen ini. Tapi sepertinya mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku masih ingat ketika Julian bilang akan pergi ke luar negeri untuk melenggak-lenggok di catwalk dan Kyna begitu sibuk berlatih dengan grup tarinya demi pagelaran bulan depan. Kapan kiranya semua penghuni lantai 15 ini bisa bertemu lagi?

Oh, dan kurasa Ori masih akan sibuk dengan wedding organizer-nya hingga beberapa bulan ke depan. Dan tentunya si Ateira itu akan sibuk wara-wiri di toko bunganya, sementara Kahlua mungkin akan menyambangi politisi-politisi busuk yang baru saja masuk ke penjara karena korupsi. Sedangkan si 1502 sepertinya juga sedang bertapa entah di belahan mana mencari inspirasi untuk novelnya yang baru. Dan aku masih saja di sini, entah untuk apa, entah untuk siapa. Maka ini baru namanya kesepian. Mengingat aku juga masih menghindari pertemuan dengan Darda.

Di masa seperti ini, sudah selang beberapa lama sejak pertemuan terakhir dengan Darda, aku baru bisa merasakan kesepian yang seperti tak hilang.

***

Demi hilangnya semua pikiran-pikiran buruk dan perasaan sepi yang berkepanjangan, aku putuskan untuk mengunjungi kakak ibuku yang berada di 140 km jauhnya dari kota ini. Aku pikir, dengan jauh dari tempat-tempat yang sering kusinggahi, maka segala yang negatif padaku akan hilang barang sejenak. Tak lupa kubawa serta kue lidah kucing juara satu itu untuk Bapak, begitu aku memanggil kakak ibuku, yang sudah kuanggap sebagai pengganti ayahku.

Melihat penampilanku yang begitu kusut, padahal aku tidak merasa demikian, ia bilang,”Sepertinya kamu butuh liburan, Le. Pergi ke pantai saja, seperti biasa.” Ia tidak sedang berbicara dengan lelaki, walaupun ia memanggilku Le, seperti orang Jawa memanggil anak laki-laki mereka. Ia memang suka sekali memanggilku Le, versi singkat dari Lea, karena ia pikir aku lebih maskulin daripada sepupu-sepupu perempuanku yang lain. Dan jelas ia tahu betul bahwa pantai adalah salah satu tempat berlibur favoritku.

“Tidak perlu jauh-jauhlah, yang dekat saja dulu. Yang penting kamu jadi segar lagi,” ujar Bapak sambil mengisi teka-teki silang di koran minggu.

Dan ia mengingatkanku betapa aku mencintai pantai, walaupun sesungguhnya aku lebih mencintai momen liburan di pantai-pantai itu. Lalu otakku mulai berpikir dan menyusun rencana tentang pantai-pantai yang akan kudatangi. Mungkin juga bisa menambah bahan tulisan untuk bulan depan.

***

Keesokan harinya, di kota yang sama, aku mengunjungi kantor majalah dimana aku bernaung. Sang pemimpin redaksi yang kukenal baik sejak beberapa tahun lalu mengajakku masuk ke ruangannya. Dibalut dress tanpa lengan dengan siluet yang tegas ia tampak berwibawa dan serius, padahal biasanya ia yang mengajak kami untuk berlaku gila.

“Kalea, sudah lama sekali kamu jadi kontributor majalah ini. Gue tahu kalau lo senang-senang aja jadi kontributor, tinggal di Bandung, dan bebas menulis apa saja yang lo mau. Kualitas tulisan lo memang tidak diragukan lagi, walaupun lo malas ikut pelatihan-pelatihan kami,” ujarnya sambil merapikan kertas-kertas di mejanya. Sementara aku hanya tersenyum mendengar sindirannya.

Tepat ketika aku bermain dengan pikiranku untuk berhenti menjadi kontributor dan membangun rumah singgah seperti impianku semasa dulu, ia menyampaikan kata-kata yang agak sulit kucerna.

“Tenang aja, lo nggak bakal pernah gue anak tirikan. Saya, sekali lagi, mau tawarkan posisi yang reporter senior di majalah ini. Kamu hanya perlu meliput hal yang penting saja dan mengawasi beberapa reporter bawahanmu,” dari penggunaan kata ganti itu, aku tahu dia memaksa. Ini semacam perintah.

Ia memberiku waktu untuk berlibur dan menyelesaikan tulisan untuk edisi bulan depan sebagai masa untuk berpikir atas “tawarannya”. Dan aku menyelesaikan pertemuan itu dengan muka tolol.

Jadi reporter senior berarti upah tetap, bisa pergi kesana-kemari tanpa keluar biaya sendiri, dapat fasilitas ini dan itu, akses ke baju-baju bagus, dan ini dan itu. Tapi harus tinggal di ibukota, keluar dari apartemen, meninggalkan Bandung, meninggalkan es cokelat dan lidah kucing juara satu, dan tentu saja jauh dari … Darda. Kepalaku mendadak pusing seperti jika aku terlambat makan. Agak sempoyongan seperti jika aku menambahkan sedikit rhum pada es cokelatku. Ambil, tidak, ambil, tidak, ambil, tidak?


Ah, tapi memangnya apalagi yang mengikatku di kota sejuk itu?

Le 29 Janvier 2011

Kalea Tyaga Bestari

#1505