9/1/13

TARIAN MACAN LAPAR

Tetangga kamarku macan lapar. Aku melihatnya berjalan dari belakang ketika ia menyusuri koridor untuk masuk ke kamarnya. Bertelanjang kaki. Ada memar yang kukenal di pergelangan kakinya. 'Luka' seorang penari.

Kemungkinan besar ia keturunan keraton Solo. Sejauh yang kutahu, langkah itu hanya mewaris secara turun temurun pada gadis-gadis di sana. Langkah yang bertumpu pada pinggul dan pundak. Megal-megol istilahnya. Jika pinggul kirinya mencuat ke kanan, pundak kirinya lunglai ke depan. Gampangnya, bayangkan saja peragawati yang berjalan anggun tapi gahar di atas catwalk. Menurut salah seorang penulis, istilahnya: gandes, luwes, dan kewes.

Esoknya aku berpapasan dengannya. Kuberanikan diri saja menyapa. Toh rupanya ia tak mengaum. "Kyna, panggil saja Kyna," ujarnya. Benar tebakanku, ia (pernah) penari, tapi masih terus menari. Entahlah apa bedanya, tapi ia bilang, "Kini aku hanya menari untukku sendiri," ujarnya beberapa hari kemudian ketika aku mengunjungi ia di kamarnya. Segelas teh ia suguhkan di cangkir tanah liat, lengkap dengan poci tanah liatnya.

"Ayok diminum, nggak enak nanti kalau udah dingin," ujarnya sambil menjatuhkan sebongkah gula batu di cangkirku. "Nggak ada yang lebih enak ketimbang nguyup teh poci di pagi hari," ujarnya. Padahal sekarang sudah siang. Tapi baginya, hari selalu pagi.

Kyna menyukai teh poci. Mungkin karena minuman ini merepresentasikannya. Kata temanku yang asli daerah pantai utara, teh poci itu kudu wasgitel, wangi, panas, legi, dan kentel. Begitu pula Kyna. Dan sebenarnya poci bukan hanya milik ceret. Burung juga ada yang namanya poci. Ibu pernah bercerita, meski samar-samar kuingat. "Kalau tak salah kacer poci, burung yang punya keahlian menirukan kicauan burung lain," ujarnya.

"Lah, kayak bunglon dong," ujarnya sambil menuang segelas teh lagi pada cangkirnya. Ia terlihat merenung sebentar, "Tapi bukankah semua manusia adalah bunglon?"

Pernyataannya berpijak pada peribahasa, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. "Aku nggak bisa nerima aja, orang harus berubah karena lingkungannya. Kita ini manusia lho, punya prinsip. Bukan bunglon," ujar ia.

"Dasar bunglon!" ujarnya mengumpat. "Haha, aku nggak bakal bilang anjing! atau monyet! lagi ah," ujarnya senang, menemukan kata makian baru. Bunglon yang malang, sudah dituduh tak prinsipil, disamakan dengan manusia-manusia yang pantas dicerca pula.

"I don't want to be a product of my environment. I want my environment to be a product of me," ujarku mengutip Frank Costello dalam film The Departed. Film yang juga ia tonton. "Kalau Frank Costello jadi bunglon, ke manapun tempat yang ia singgahi akan berubah jadi hijau," ujarnya antusias. Kami sedikit banyak ngobrol soal film dari pembahasan The Departed ini. Kyna berulang kali mengerutkan dahi, mencoba menirukan ekspresi muka Jack Nicholson, pemeran Frank Costello dalam film itu.

Meski berulang kali menonton The Departed, Rupanya ia belum menonton trilogi Infernal Affairs, cikal bakal film yang digubah Martin Scorcese itu. "Ada nanti di laptop kalau mau nonton. Hati-hati nanti jatuh cinta sama Tony Leung," ujar saya, yang beberapa detik kemudian merasa aneh dengan apa yang baru saya sampaikan. "Nggak, maksudnya Tony Leung keren, kayak saya, haha" ujarku yang lebih memilih disangka narsis ketimbang dikira suka sesama jenis.

Obrolan film ini berlangsung lumayan lama, hingga Kyna yang rupanya masih terngiang-ngiang soal bunglon menyela. "Bunglon itu warna aslinya apa sih? Benar hijau kan?" ujarnya keheranan sendiri.

*

"Boleh, aku lihat kamu nari?" tanyaku. Penasaran saja apakah si macan lapar ini tak hanya elok saat berjalan. Jawabannya hampir pasti iya. Tapi bukan itu tujuanku. Barangkali dengan menari, ia bisa lebih terbuka padaku. Berbicara tentang keresahannya yang tertahan sejak pertama kali ia memperkenalkan namanya padaku.

"Tapi aku tak lagi menari di depan orang lain," ujarnya. "Kalau begitu anggap saja aku bukan orang lain."

"Aku tak lagi menari di depan orang," ujarnya. "Kalau begitu anggap saja aku hantu belau."

"Aku, tak lagi, menari," ujarnya dengan nada yang lebih tinggi. "Kalau begitu aku tak lagi memintamu menari, anggap saja begitu."

Seharusnya kutahu, ia tak ingin melakukan itu, sekarang, di depanku, atau di depan yang lain. Dari awal sudah ditegaskan ia tak lagi penari, ketika ia memutuskan hanya menari untuk dirinya sendiri.

"Tarianmu keheningan subuh, kebeningan ufuk. Yang jauh. Sujud dan rukuk. Kekhusukan yang dipadatkan rindu. Bersama fajar lukisanku menggali cahaya. Menyulut sumbu waktu. Darah dan airmata, ..." aku mengutip puisi  Acep Zamzam Noor untuknya.

"...warna-warna yang disemburkan kedalaman batu," ujarnya menuntaskan. Puisi 'Dari Pelukis buat Penari', ia juga tahu itu. Ada yang menggenang di cembung matanya.

"Adya dulu seorang pelukis."

*

Entah siapa Adya. Tapi aku harus berterima kasih padanya. Ia buru-buru menyeka matanya usai menyebut nama itu. Nama itu bukan apa yang diperintah otak untuk terucap dari bibirnya, melainkan hatinya. Yang entah terkoyak sedemikian rupa apa, sehingga macan lapar ini hampir meneteskan air mata. Ia lebih memilih menari, ketimbang aku bertanya-tanya soal Adya.

"Lihat aku," ujarnya beranjak dari tempat duduk ke lantai. Ia menekuk lututnya, mendak. Dan seketika ruang kamar seolah menjadi belantara. Si macan lapar menari, ya benar, untuk dirinya sendiri, karena setelah ia mendak, jiwanya tak ada lagi di ruangan ini.

Bisa jadi yang diperagakannya adalah Tari Driasmara, dilakukan tanpa iringan (musik), tanpa pasangan (patetik). Aku ingat-ingat lagi irama gending kinanti sandung, melihat Kyna yang menari bergelora tapi resah. Seperti istri marinir yang hendak menjemput suaminya yang baru pulang dari medan perang. Raganya yang wasgitel lenggak-lenggok, mencari-cari sukma dalam irama. Tapi jiwanya mengelana, menjemput rindu yang entah terserak di mana.

Aku ingin bertepuk tangan, tapi entah bagaimana mengapresiasi seseorang yang tak melakukan sesuatu untuk mengimpresi orang lain. Jadinya aku hanya mengambil handuk kecil agar ia bisa menyeka peluhnya yang bercucur. "Bagus banget...," aduh aku bingung ngomong apa. "Gerakannya, iya bagus," ujarku memperinci. Aku tak ingin ia menganggapku mengapresiasi penderitaannya karena rindu. Aku melihat jiwa itu ketika kembali ke tubuhnya. Tersirat sekilas rasa kecewa, mungkin karena ia lagi-lagi tak menemukan apa yang dicarinya lewat Driasmara.

"Benar kata Acep, tari itu doa tingkat tinggi. Seperti rukuk dan sujud dalam keheningan subuh," ujarnya. Ia mengakui ketika menari seperti berada dalam dua dunia, spiritual dan ragawi. "Kita tak bisa mengarang, mendapatkan begitu saja. Bukan semata doa yang bisa dengan mudah diucapkan," ujarnya.

"Dalam tari, raga kita meminta, kita memuja, jiwa kita berserah, tulus berpasrah. Demi khusuk yang terpadatkan rindu, meski seringnya setelah semua kesadrahan itu, kita merintih," ujarnya.

Atas kata-kata itu, lamat-lamat syair gending Ketawang Retnawiguna yang pernah diutarakan Ning, terngiang lagi di telingaku:

Burong toya baya sira, welas asih marang dasih.

*

"Makasih udah mau mampir," ujar Kyna ketika aku hendak kembali ke kamar. "Kalau tak ada acara, nanti malam ikut makan yuk, bareng Tei dan Ora," ujarnya menawarkan.

Aku refleks membalik badan, "Ateira?" Ia mengerutkan dahi, "Iya, Tei dan Ora. Ateira dan Elora," ujarnya menjelaskan. Aku sadar terlalu antusias. "Nanti kukabari lagi malam ya, semoga nggak ada acara mendadak," ujarku berusaha kalem. Ketika aku membalik badan lagi, muka Kyna terlihat aneh, ia mencium ada yang aneh dengan gelagatku.

Ah sudah tanggung malu lah. Belum dua langkah aku berjalan, aku membalikkan badan lagi mendekatinya. "Aku mau tanya-tanya tentang Ateira...," aku bingung, mau ngomong apa lagi setelah mengucapkan nama itu. Tadinya tanggung malu, ternyata masih malu tanggung. Mukaku merah padam, butuh cepat-cepat panggil blangwir.

"Ateora maksudku, eh, hmm, Tei dan Ora, Ateora kan kalau disingkat. Mau kenal tentang mereka, yang lain juga kamu akrab kan, Kalea, Naila, Julian, seru juga ya kalau nanti malam semua bisa ikut makan bareng," ujarku kikuk, kepala digaruk-garuk.

Kyna tersenyum penuh makna. Tapi mungkin pikirnya ini bukan waktu yang tepat untuk membuat kepalaku makin gatal. "Ide bagus, kukabari nanti malam ya," ujarnya, pura-pura tak peka, tentang ketertarikanku pada Ateira.