9/27/10

Smiles

Saya lupa kalau hari ini hari Minggu. Saya kembali teringat masa lalu di Belanda. Kami sekeluarga selalu rajin pergi ke Christ Church di Groenburgwal 42. Ayah sengaja mengajak kami ke sana, agar kami bisa langsung jalan-jalan sepulang gereja. Letaknya di tengah kota Amsterdam sehingga kami bisa leluasa menikmati keramaian market di Dam Square. Mirip seperti pasar malam di Indonesia, bedanya ini ada di siang hari. Dan tidak seperti di Indonesia yang mainannya tong setan, rumah hantu yang bau kemenyan atau bianglala ala kadarnya, ini benar-benar spektakuler karena ada rajawali-ala Dufan, kicir2 ala Dufan dan permainan lainnya. It was fun!

Hah lagi-lagi sofa lapuk ini membawa kenangan masa lalu.. Dasar ayah, saya rasa sofa ini sudah dijampi-jampi olehnya.

Sangat jarang saya hanya berdiam diri di Minggu siang ini. Biasanya saya selalu sibuk orderan foto dari berbagai clothing line terkenal. Biasanya saya menjadi pusat perhatian para cong pendukung sesi pemotretan, make-up artist, fashion stylist, pengarah gaya. Mungkin dengan semakin tuanya saya, tawaran yang datang pun semakin sedikit.

Saya mainkan tangan saya di tuts piano hitam klasik di sudut ruangan. Sudah lumayan berdebu karena belakangan saya jarang memainkannya. Aneh sekali.. Tangan ini sangat kaku. Seketika saya kembali teringat ayah, sang maestro piano yang selalu mengharuskan saya berlatih piano seminggu tiga kali.

***

Selesai mandi, saya segera menyiapkan kopi hitam yang baru saya dapat dari Ebay. Kopi Luwak. Agak mahal memang. Aneh rasanya, saya tinggal di Indonesia, namun susah untuk mendapatkan kopi Luwak yang asli. Tetap saja saya harus membelinya dari penjual resmi di New York. Cocok sih, kota itu memang tidak pernah tidur. Mungkin pengaruh kopi Luwak. Haha, random.

Nikmatnya kopi ini. Saya duduk di hadapan jendela. Menikmati sore hari di kota Bandung dari ketinggian seperti ini memang sangat syahdu. Apalagi ditemani castengels...

ASTAGA! Saya lupa hari ini saya mendapat undangan makan malam dari kamar 1502. Merdi.. Hmmm, bukan.. Mark.. Saya memang cepat lupa nama orang. Wajah pasti saya ingat, hanya saja saya terlalu cepat lupa nama orang.

***

Sekarang pukul 6 sore dan saya sudah lapar. Sudah waktunya saya untuk makan malam dan saya berharap waktu makan di kamar 1502 itu sama dengan waktu makan malam saya.

Eh tapi aneh rasanya jika saya datang tidak membawa apapun. Saya melihat sekeliling ruangan. Apa yang bisa saya bawa.. Saya baru ingat. Kemarin ada yang mengirimkan saya parfum CK One. Tidak terlalu suka baunya. Mungkin bisa jadi sebuah kado tanda perkenalan.

Gradak gruduk


Saya langsung sibuk mencari di mana parfum itu berada. Gara-gara mencari parfum ini, saya kehilangan 30 menit! Hah I hate being late! Hasil didikan ibu saya mungkin. Didikan kum.. kumpeni kalau tidak salah orang Indonesia menyebut bangsa Belanda jaman dulu.

Senyum

***


Ting tong
Ting tong

Grek

Pintu terbuka. Tampaklah sesosok pria...tidak tampan tapi juga tidak buruk rupa. Badannya tidak terlalu bagus tapi kenapa baju itu terlihat bagus dipakainya. Hmmm dia charming...

Hai, kamu pasti dari kamar pojok sana. Kamar 1500?
Perkenalkan saya Mardi. Mardi Wisesa

Dia menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Saya jabat tangannya. Hangat..

Hai. Iya saya. Saya Sastradinata. Julian Sastradinata. Nice to finally meet you..Mardi

Senyum

Ah akhirnya itu dia namanya. Mardi Wisesa. Semoga cara bicara saya tadi tidak terbata-bata.

Ini saya ada sesuatu. Anggap saja tanda perkenalan.

Ah ngerepotin aja.

Nggak kok. Ini tidak seberapa. Gue malah berterimakasih sekali karena akhirnya gue tahu bahwa ada manusia lain di lorong ini selain gue.

Hahaha kamu lucu. Ayo masuk. Sudah ada yang lainnya di dalam.

Eh tunggu dulu Mardi!

Saya menepuk pundaknya.

Jangan sampai yang lain tahu ya. Itu cuma buat lo

Ohhh, ok!
***

Demi Tuhan saya lupa nama orang-orang ini. Yang saya ingat hanyalah Kahlua. Sang wartawan. Namanya mirip nama minuman.

Yang lain? Saya ingat ada perempuan kecil yang bekerja sebagai WO. Namanya Tira. Atau.. entahlah ya.

Kemudian ada yang bekerja sebagai penari. Ada yang ...

Maafkan keburukan memori otak saya ini. Sepertinya pengaruh weeds beberapa tahun lalu di Belanda baru terasa efeknya belakangan ini. Ingatan saya mengalami hambatan. Nama orang, sesuatu yang crusial, bahkan saya tidak bisa ingat hanya dalam satu kali pertemuan.

Saya hanya ingat, ada diantara perempuan-perempuan rumpi itu yang membawa kue dari Belgia.

Berada diantara mereka.. Saya merasa hangat. Apakah karena mereka mayoritas perempuan? Saya heran, tidak ada diantara mereka yang sepertinya melihat saya sinis, karena biasanya jika orang yang baru pertama kenal saya, mereka akan merasa seperti ditelanjangi oleh pandangan mata saya from head to toe. So typical.

Temporal deadzone where clocks are barely breathing
yet no one cares to notice for all the yelling, all night clamor to hold it together

I want to play don't wait forms in the hideaway
I want to get on with getting on with things

I want to run in fields, paint the kitchen, and love someone
And I can't do any of that here, can I?

Ini First Train Home-nya Imogen Heap kan?
I love this song. Reminds me of my hometown.

Saya melempar bahan dengan Mardi yang duduk di tempat tangan sofa tempat saya duduk.

Oh iya. Saya juga suka. Eh emang kampung halaman kamu di mana Julian?

Aduh jangan panggil Julian. Terlalu aneh didenger. Panggil gue J aja ya.

Iya sih emang agak panjang.
Ok. J, emang kampung halaman kamu di mana?
Kedengaran dari aksen dan postur tubuh kamu, sepertinya kamu campuran ya?

Ya ampun, Mardi memperhatikan postur tubuh saya sampai dia menanyakan tentang itu sekarang. Gotcha!

Gue dulu lahir dan besar di Amsterdam, Belanda.
Lima tahun yang lalu gue pindah ke Indonesia.
...
Pembicaraan kami berdua mengalir. Saya menceritakan sedikit kisah hidup saya.
Saya bilang jika alasan kepindahan saya ke Indonesia karena saya ingin tahu bangsa asli ayah. Bohong besar!
Saya bilang kalau saya hanya bekerja sebagai model. Bohong besar!
Saya juga bilang kalau saya tidak pernah menyelipkan secarik kertas di bawah pintu 1502. Bohong besar!

Pembicaraan saya dengan orang yang baru kenal, umumnya selalu diawali dengan sebuah kebohongan. Tapi mohon jangan sebut itu sebagai sebuah kebohongan, walaupun memang itu faktanya. Kebohongan itu kasar sekali didengarnya. Terkesan jahat. Sebutlah dengan.. aduh saya lupa istilah itu.. JAIM! Jaga image kalau meminjam istilah dari make-up artist yang pernah merias saya untuk fashion show Gucci bulan lalu.

***

Seru juga bisa bertemu dengan penghuni lorong ini. Lantai 15.

Senang bisa mendengar pengalaman kerja seorang Elora..akhirnya saya ingat nama perempuan mungil ini.. Lumayan godaan jika calon mempelai prianya sangat menggugah birahi.

Senang bisa mendengar tawa lebar seorang Kyna..tiba-tiba otak ini bekerja dan mulai mengingat nama orang satu persatu.. Sepertinya menarik menjadi seorang penari. Di negri Belanda, seorang penari sangat dihargai. Ayah dulu suka mengajak saya ke pertunjukan ballet yang sangat membosankan namun kini saya merindukannya kembali setelah mendengar sedikit cerita dari Kyna.

Senyum

Dan walaupun saya membenci wartawan yang suka menguntit kegiatan saya, ternyata menyenangkan mendengarkan pembicaraan berbobot dari Kahlua. Seputar kisah politik sampai rahasia perselingkuhan pejabat. Seru!

Ateira yang ternyata suka juga fashion. Terlihat dari penampilan petite-nya yang sangat enak dilihat. Pengusaha florist yang cantik dan terlihat sangat pintar.

Saya juga pernah membaca tulisan Kahlea, perempuan bersuara cempreng dengan penampilan sangat simple namun menarik. Dia pernah menjadi kontributor di majalah Esquire. Kalau tidak salah kala itu membahas mengenai homoseksual. Mungkin dia aktivis juga. Saya tidak banyak berbincang dengannya.

Setidaknya malam ini saya tidak perlu mengenang masa lalu ketika duduk di sofa butut ini. Lorong ini memiliki denyut kehidupan yang hembusannya terasa hingga tempat saya saat ini berada. Duduk di atas sofa butut peninggalan ayah, menikmati segelas Cardonnay sambil menikmati alunan album Imogen Heap.

Selamat malam Bandung. Selamat malam Mardi Wisesa. I'll keep my eyes on you!

Senyum



Julian Sastradinata



8/25/10

Minggu Tak Bisa Menunggu

Aku sebenarnya tak pernah mengistimewakan hari Minggu. Tapi kali ini, ini Minggu pagi dan aku sudah bangun! Daya tahan tubuhku memang luar biasa. Setelah kurang makan selama seminggu terakhir, kemudian hujan-hujanan kayak orang gila dua hari lalu, ditambah begadang menyelesaikan seluruh deadline hingga lewat tengah malam, pagi ini aku masih bisa bangun dengan kondisi sangat prima.

Aku beranjak dari kasur dan sebatang rokok tahu-tahu sudah menclok di bibirku, menyusul api dari lighter yang kunyalakan sambil membuka pintu menuju balkon. Bagus, cuaca Bandung cerah. Ditambah deadline yang sudah beres dan monthly income report Bliss yang sangat memuaskan, life is good, I guess! Ku tenteng gitar dan menggenjreng seenaknya. I know it sounds funny but I just can't stand the pain…Boy I’m leaving you… sebait lagu milik Faith No More, “Easy”, kubawakan sambil senyum-senyum.

Jangan tanya kemana perginya perasaan depresi yang kemarin mendera. Jika itu terjadi padaku, aku tinggal yakin suatu saat akan tiba saatnya semua menguap begitu saja. Inilah buktinya. Jangan heran juga jika kebulatan tekad ini mudah terdistraksi oleh hal-hal kecil. Yang penting saat ini, aku merasa diriku yang hilang telah kembali! Hooouoo, easy like Sunday Mooorning…!

Aku mengeluarkan Brenda yang berisik mencakar-cakar kandang minta disapa. Wajar, kelinci tipe fuzzy loop ini sudah masuk usia puber. Kuangkat Brenda ke depan wajahku, memasrahkan hidungku dijilat kecil-kecil. Hihi, aku selalu suka rasanya… Eh? Itu? Errr, sweater milik siapa? Aku meraih sweater biru yang teronggok begitu saja di sebelah vas bunga ketika ponselku bunyi. Bip pip.. Event : Gathering at Mardi Wisesa’s. Gawat! Hampir lupa! Sweater pun melayang entah ke mana.
***

Sangat tergesa-gesa, aku memarkir kendaraan di parkiran Bliss. Inilah nasib orang ceroboh. Semuanya harus dilakukan dengan tergesa-gesa. Pandanganku terpaku pada bunga matahari yang baru bermekaran. “Wah! Bunganya besar sekaliiiiiiii!” aku terpekik riang. Pupuk yang dibawakan eyang dari Majalengka ternyata benar-benar magis! Oke,
tanpa membuang waktu aku memeriksa laporan keuangan yang pasti akan memakan waktu cukup lama. Ditambah mengecek jenis pesanan dan ketersediaan barang. Setelah beres, aku ambil bunga Freesia yang sudah aku pesan tempo hari. Turquoise. Senada dengan Kate Spade bag-ku. Ah, enggak penting! Haha. Yang terpenting sekarang, pergi ke toko kue dan selamat bingung memilih!
***

Di dalam lift, aku melihat pantulan diriku. Heboh. Menggondol buket Freesia dan memegang satu toples choco flake cookies. Ting. Baik, ini lantai 15. Menuju 1502, Knock! He? Orang ini…


“Hai Tei, kau datang. Mari masuk,” ujar lelaki yang wajahnya terasa tidak asing. Terbongkarlah sudah puzzle yang tidak kupedulikan tadi. Lelaki ini, yang menyaksikan tingkah konyolku berbasah-basahan diguyur hujan dua hari lalu. Dialah pemilik sweater biru yang teronggok kotor tak kucuci itu. Ah, seperti sinetron saja, sih?

“Kamu… eh, sweatermu.. hmm, belum… anu…”

“Sudahlah, masuk,” ujarnya sambil tersenyum. Aku tahu dia memandangku kasihan. Wajar, dia terlanjur menjadi saksi kejadian paling memalukan tempo hari. Tuhan! Ingin rasanya aku kembali ke kamarku dan melewatkan pertemuan ini. Aku tidak suka dikasihani! Membuatku merasa seperti anak bebek yang baru kecebur got!

Tapi toh kakiku tetap melangkah ke dalam kamarnya. “Well, thanks…” ujarku sambil memberikan tatapan penuh arti. “Oh ya, saya bawakan ini. Tipe Freesia harusnya memberi kehangatan. Kamar cowok kan biasanya gersang… hehehe,” aku berusaha bercanda. Meskipun kenyataannya, kamar Mardi Wisesa jauuuuh lebih nyeni daripada kamarku!

“Wah, seger banget tuh bunganya! Freesia? Dapat dari mana?” sebuah suara cempreng tiba-tiba memecah lamunanku. Hei, sudah ada dua orang tamu rupanya. Tidak sulit untuk mengingat nama wanita tomboy dan cuek yang duduk di dekat kulkas itu. Kahlua. Bagaimana mungkin melupakan Arabica Coffee plus vodka yang eksotis itu? Tapi wanita ceria bersuara cempreng tadi…. Kalea, Kalea, Kalea. KA-LE-A. Oh tolonglah, first impression harus bagus. Bisa hancur kalau ketahuan aku lemah menghafal nama.

“Oh, kebetulan aku buka florist di daerah Citarum. Kalo butuh bunga bisa ke sana, loh! Pilihannya lumayan lengkap kok! Hehe,” ujarku sedikit promosi. Kemudian datang Julian, Kyna, dan Ori. Ah, tidaaaakk! Rasanya aku kembali ke bangku perkuliahan dengan tugas mengingat nama-nama ini. Itulah, efek dari orang tua jaman sekarang yang senang sekali memberikan nama-nama aneh kepada anaknya. Errrr.

Kami berbincang dan saling menanggapi dengan antusias. Refleks telingaku menangkap satu kata yang terlalu sensitif untukku saat ini. Menikah. Ternyata Ori adalah seorang wedding organizer. Segera aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghapus bayangan Musa yang sedang ijab Kabul dengan pakaian adat. Mungkin suatu hari, aku akan berbincang dengan Ori tentang ini. Dia pasti paham sekali cara untuk menghancurkan pernikahan orang. Eh!
***

Aku sengaja berdiam sebentar ketika satu persatu orang meninggalkan kamar 1502 ini. “Terimakasih untuk tempo hari,” ujarku, yang hanya dibalas senyum oleh Mardi. Ia tampaknya lebih serius membereskan gelas-gelas daripada mendengarkanku.

“Aku harap kamu bisa melupakan kejadian itu. Aku.. Ah, sudahlah. Sepertinya kamu sibuk. Permisi!” kubalikan badanku tanpa menanti jawabannya. Ketika melewati kamar sebelah Mardi, refleks kakiku berhenti. Kamar 1503. Aku bisa melihat Ori sedang menghisap rokok dari sela-sela pintu yang sepertinya lupa ia tutup. “Dia bisa tahu banyak hal tentang pernikahan,” ujarku dalam hati. Biarlah aku menjadi konyol sejenak dengan hanya memusatkan kehidupanku pada Musa. Setidaknya, kelak aku bisa tertawa mengingat masa-masa ini. “Hai, Ori. Boleh masuk?”

Ateira Niskala
1502

8/14/10

PAYUNG DAN CENDRAWASIH RAJA

dari dulu aku selalu percaya bahwa Tuhan di musim hujan adalah seorang wanita, atau paling tidak seorang lelaki yang teramat cengeng. entah apa yang ditangisiNya, sementara dia tidak beranak dan tak diperanakan. mungkin ia menangisi kesendirianNya, padahal ia memiliki kami. kenapa Tuhan tak turun ke dunia untuk sekedar berbagi cerita?

bagiku, ada tiga tipe manusia di muka bumi ini, yang gemar menari di atas tetes hujan, dan yang menangis karenanya. aku, termasuk tipe yang ketiga, hujan atau tidak, toh aku membawa payung ke mana-mana. payung yang besar, cukup untuk berdua.

Ning pernah berkata bahwa payung adalah cawan yang terbalik, bisa juga bahtera. Ning selalu percaya pada mimpinya bahwa ketika Tuhan menenggelamkan dunia, Nuh mengapungkan seribu payung untuk berdua. kelinci dan kura-kura, monyet dan sakadang kancil, serigala dan domba, dan binatang-binatang lainnya duduk berpasang-pasangan. Ning berdiri gagah di atas belalai gajah. dan katanya, aku secawan dengan seekor cendrawasih raja yang jelita.

“kenapa di mimpi itu, aku tak sepayung terbalik denganmu?” tanyaku.
“karena kau pantas dapat yang lebih baik,” jawabnya.

kami diam untuk beberapa saat, mengalir lagi satu tanya mencairkan suasana, “tapi kenapa harus dengan seekor burung, dimana kita tahu, dengan sayapnya, tak perlu hinggap, terbang saja.”

“kau harus tahu, bahkan burung pun bisa berhenti terbang jika lukanya tak terbilang. bila ia jatuh di depanmu, rawat dan kepakkan lagi sayapnya,” jelasnya.

*

kuantar gadis kuyu yang kutemukan tersungkur di pelataran apartemen ke kamarnya. sudah larut, dan ia masih meraba rasa hujan. kusangka ia datang dari benua Afrika, di mana hujan jarang sekali turun di sana.

ia tak banyak bicara, tak juga mengelak ketika kuhangatkan tubuhnya dengan jaketku yang berwarna biru muda. kedinginan juga ia rupanya, lagipula suruh siapa, kutanya namannya, sambil menggigil ia izinkanku tuk memanggil, dia, dengan, “Tei, panggil saja aku Tei. Ateira Niskala,” ujarnya sambil menekan angka 15 saat kami memasuki lift.

astaga, tiba-tiba aku teringat ibu, seorang pakar ilmu burung yang pernah tinggal dua tahun di Papua untuk meneliti ragam fauna yang terdapat di belantaranya. suatu saat ia pernah bercerita, timnya secara tak sengaja pernah merekam burung langka, seekor cendrawasih raja yang populasinya tak lebih dari 5 ekor saja di seluruh dunia.

ketika rekaman tersebut ditunjukan kepada masyarakat sekitar, ketua adat terkejut, dan menitahkan warganya untuk berlutut. burung jelita itu dipercaya sebagai jelmaan dewa, mereka menyebutnya Ateira.

gadis cendrawasih raja, mungkin bisa kurawat lukamu yang tak terkira. ia menutup pintu, tersenyum perlu tak perlu, meninggalkanku yang diam terpaku, kutunggu kau malam minggu.

Mardi Wisesa

7/27/10

Pesan

Cukup sehari saja kubiarkan kakiku bermanja tidak melakukan apapun. Hanya sedikit saja ia terluka, sekarang tinggal lebam yang tersisa. Walaupun masih kurutuki itu si pengendara motor yang melintas tanpa hati-hati di trotoar favoritku. Kupaksakan kakiku menuruni sekian ratus anak tangga di apartemenku ini. Biar kuat, biar sehat, biar lambat, asal selamat.

Pemaksaan pada satu organku ini hanya karena satu tujuan: membeli kue lidah kucing yang juara satu. Kalau diingat, sedih juga karena lidah kucing yang kemarin jatuh itu remuk-redam dan hanya berakhir di perutku. Tak sampai hati jika kubawakan lidah kucing yang seperti remukan kerupuk itu untuk si 1502, yang sudah berikan aku caastangel-nya yang juara satu.

***

Pikiranku menjelajah, menebak-nebak apa yang mungkin terjadi nanti, bagaimana rupa mereka teman-teman baruku. Adakah ini akan menjadi sesuatu yang tidak biasa? Aku selalu senang untuk mengenal orang lain, mungkin juga karena ketertarikanku pada perilaku manusia yang selalu unik dan sulit ditebak. Aku pula berusaha menebak-nebak sketsa wajah teman-teman baruku, padahal aku belum pernah bertemu mereka sama sekali.

Angkutan kota yang kunaiki melewati taman yang rindang dan tiba-tiba pikirku berpindah ke masa lalu. Dia sedang duduk membuat sketsa, sementara aku tidur-tiduran di rumput yang tidak bersih itu dan membaca buku. Sayangnya ingatanku hanya setengah, aku tidak ingat buku apa yang kubaca, tapi kudengar lagu kesukaanku melalui earphone yang terhubung ke ponselku.

I was not supposed to fall in love with you.. *

Aku memencet tombol next untuk menghindari lagu itu. Aku memandang wajahnya, tapi ia tidak menyadarinya. Pandangannya pada buku sketsa berukuran A4 itu tidak beralih sama sekali. Ia tenggelam pada sketsanya, yang entah seperti apa jadinya. Satu jam berlalu.

“Sudah dululah, ayo minum cokelat,” ujar Darda sambil membereskan segala peralatan sketsanya. Kami memang pecinta es cokelat. Tidak absen minuman yang satu itu dalam pertemuan-pertemuan kami. Mungkin itu pula yang menjadikan kami bisa nyambung dalam berbagai pembicaraan. Es cokelat perekatnya.

Drrrrttt.. ponselku bergetar dan membuyarkanku dari lamunan yang tak kuhendaki. Ada pesan masuk melalui satu penyedia layanan messenger. Kulihat siapa pengirimnya. Darda.

Kamu kemana malem ini? Temenin gue minum cokelat di tempat biasa dong ya? :D

Emoticon penyerta pesan itu adalah emoticon favoritku. Dan juga dia. Dia tahu sekali itu. Dan aku tahu sekali itu. Emoticon itu yang menyentil jemariku untuk membalas pesan singkat itu. Sedetik, dua detik, kuurungkan niatku.

Kupencet tombol sign off. I’m signing off from my account, from you. Tapi bisakah semudah itu menarik diri dari Darda, semudah undur diri dari akun messenger itu? Yang pasti tidak semudah turun dari angkutan kota ini. Aku turun perlahan dan melangkahkan kaki sakitku ke apartemenku yang nyaman luar biasa. Kali ini aku pilih lift sebagai penghantarku menuju kamar.

***

Setelah memilih baju yang akan kupakai nanti, aku baringkan diriku sejenak. Kupikir sehelai kaos longgar berwarna abu-abu yang menjuntai hingga lutut cukup pantas untuk pertemuan informal itu. Aku mengecek ponselku yang sejak tadi sore di-setting dalam mode diam, bahkan tanpa getar. Sejuta panggilan tidak terjawab dan beratus pesan singkat singgah di ponsel dengan merek pasaran itu. Itu semua ulah Darda.

Lea, kamu kemana sih? Gue hubungi gada jwbn mulu. Bls si smsnya. Kita kan udh lama gak ketemu. Gak kangen apa? Ini rindu namanya.

Oh, Darda.. dengan hal apa pula mesti kujawab pesan singkatmu itu. Apakah kau mencoba membalasku atas pertemuan terakhir kita di kafe itu? Apakah benar yang kau rasa di kalimat akhir pesanmu itu? Pesan-pesan standar seperti itu sepertinya tidak pas kau kirimkan di masa seperti ini, di masa setelah pertemuan terakhir kita di kafe itu. Tapi aku ragu kau bisa peka tentang itu.

Berkali-kali kucoba untuk mengetik pesan balasan untuknya. Tapi berkali-kali pula kuhapus pesan itu. Sekali lagi, tak ada pesan kukirimkan untuknya. Lihat saja, sehari-dua hari lagi ia akan menggedor kamarku dengan murka karena tidak ada satupun kabarku minggu ini terkirim padaku. Apalagi jika ia tahu jika aku sempat tertabrak oleh pengendara motor yang kurang berhati-hati itu. Aku sembunyikan ponsel itu ke bawah bantal dan aku berlari kecil ke kamar mandi, mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan penghuni lain di lantai ini dan melarikan diri dari pesan singkat Darda.

***

Ketukan yang tidak terlalu lama di bawah angka 1502 memunculkan seorang lelaki dengan senyum sumringah.

“Hai, eh.. eh tunggu sebentar, ada yang tertinggal,” kesan pertama yang kurang baik, aku lupa membawa lidah kucing yang telah kupersiapkan. Aku berlari ke kamarku sebentar dan ia masih saja menunggu di depan pintunya. Dengan tidak sengaja, aku memberitahukan dari kamar mana aku muncul.

“Hehehe.. tunggu sebentar ya, nanti aku ketuk lagi saja. Udah ada yang datang? Ada yang ketinggalan. Lupa, lupa banget tadi,” ujarku panik sambil berusaha membuka kunci pintu kamarku.

Dan dia, si 1502, masih saja menunggu di sana hingga aku selesai dengan keterlupaanku, masih dengan senyum sumringahnya. “Saya Mardi. Mardi Wisesa. Nama kamu siapa? Bawel ya?”, ujarnya ramah tanpa kesal sedikitpun atas perlakuanku.

“Eh, maaf banget ya barusan, saya terang, bukan bawel. Kalea,” ujarku sambil menahan tawa atas tuduhan yang dialamatkan padaku. Rupanya ia menganggapku cerewet dengan semua yang terjadi dalam waktu sekian menit itu. Nama depanku, Kalea, memang berarti terang dan sama sekali tidak berarti bawel.

Ia mempersilakanku masuk ke ruangan berwarna biru muda itu dan sesaat, ketenangan langsung menyergapku. “Yang lain masih belum datang, baru satu, si wartawan Kahlua,” ujarnya sambil mengenalkanku pada Kahlua. Tipikal wartawan, itu simpulanku setelah memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedikit berantakan. Dan pada detik yang sama aku bersyukur, ternyata ada orang yang gayanya lebih berantakan dariku malam ini.

Belum sempat kami mengobrol banyak, penghuni kamar-kamar lain bermunculan. Beberapa terlambat dari jadwal yang telah ditentukan karena kesibukan mereka masing-masing. Yang datang setelahku adalah Ateira. Wanita bertubuh mungil dan berkulit putih. Dia penyuka bunga, begitu rupanaya. Ia bercerita, bunga berwarna fuschia yang ia bawa untuk pertemuan malam ini berasal dari tokonya.

Setelah Ateira, yang datang adalah seorang laki-laki berpenampilan sederhana namun sedap dipandang. Sedetik aku melihatnya, aku yakin pasti dia bekerja di bidang fashion. Entah kenapa kuyakini itu, hingga akhirnya kami mengobrol. “Hai, gue Julian. Baju lo tuh kurang rame dikit deh,” matanya menyusuri kaos abu-abu yang kukenakan malam itu.

“Gue Kalea. Emang sengaja mau simpel aja soalnya kan nggak keluar apartemen. Kalungnya ketinggalan di depan kaca kamar mandi,” aku menanggapi komentarnya yang blak-blakan sambil terkikik geli. Tuh, benar kan, ia pasti orang fashion deh, ujarku dalam hati.

Perbincangan ringan mengenai apa yang kami lakukan sehari-hari terhenti. Mardi menghampiri pintu yang diketuk oleh siapa itu. Ternyata yang muncul adalah perempuan bernama Kyna. Ia memperkenalkan profesinya sebagai penari. Seperti biasa, aku melakukan kebiasaanku memandangi orang baru dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Mardi, ada asbak nggak?” tanyanya pada Mardi begitu selesai menjelaskan keterlambatannya. Mardi menunjuk asbak yang masih bersih di raknya.

Obrolan kami mengalir menyenangkan. Berpindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kemacetan Kota Bandung, menyumpahi birokrat yang tak becus kerjanya, lagu-lagu yang kami sukai, dan beragam topik lain. Tepat pukul 20.30, pintu kamar Mardi diketuk lagi. Rupa-rupanya Kyna sudah kenal dengan perempuan yang baru datang ini. Ia memperkenalkan diri sebagai Ori, yang langsung mengingatkanku pada Si Sinis Oriana Fallaci. Wartawan skeptis, sinis, dan galak yang pernah mewawancarai pemimpin-pemimpin dunia.

“Kebetulan saya punya WO kecil-kecilan. Nah berhubung bulan depan banyak long weekend jadi banyak yang reserpsi bulan depan, dan sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan,” terang Ori menjelaskan pekerjaannya.

Wow, ini menyenangkan. Fascinating. Berbagai orang dari profesi yang berlainan dan tidak ada yang bekerja di sektor formal. Sektor formal adalah istilahku untuk mereka yang bekerja sejak pukul delapan atau sembilan pagi dan pulang pukul empat atau lima sore. . “Gue juga jadi wartawan mah cuma iseng aja, ya ngisi waktu ajalah,” ungkap Kahlua yang disambut oleh tawa membahana dari penghuni apartemen yang lain.

Selepas tengah malam, meja di ruang tamu Mardi telah penuh dengan toples-toples yang kosong dan hampir kosong. Rupanya pertemuan selama hampir lima jam ini membuat kami tidak terasa menghabiskan tujuh toples yang dibawa masing-masing penghuni kamar. Dan, percayalah, semua kue itu rasanya juara satu dari tiap jenisnya.

Menjelang pukul satu dini hari, kami bersiap-siap kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan menyenangkan. Ini yang aku cari, teman-teman baru dengan pemikiran-pemikiran yang cerkas dan bisa diajak mengobrol tentang apa saja. Sama seperti Darda. Ouch, kenapa masih saja aku pikirkan dia.

Setelah cium pipi kiri, cium pipi kanan, dan berpelukan sambil berjanji untuk sering bertemu, kami pulang dan meninggalkan lagi Mardi dalam kesendirian. Sesaat, ruangan yang tadi ramai itu kini senyap. Dan itu pula aku, di kamar yang berwarna jingga. Aku kembali sepi dan sendirian, tawa-tawa lima menit yang lalu, hilang sudah.

Aku meraih ponselku yang sengaja kutinggalkan di bawah bantal. Pertemuan tadi sangat menyenangkan, bahkan aku tidak ingat sama sekali perihal ponselku, yang biasanya tidak pernah jauh dariku bahkan se-inchi pun. Kyna, Mardi, Julian, Kahlua, dan Ori juga bukan tipe orang yang selalu sibuk dengan ponsel mereka. Hanya sesekali mereka mengecek ponsel mereka, tapi tetap fokus pada pembicaraan-pembicaraan kami. Jarang terjadi yang demikian di masa sekarang ini.

Dan kini aku fokus mengecek pesan-pesan dan panggilan yang masuk. Isinya satu dari ibuku, menanyakan kapan aku akan ke Jakarta menemui kakaknya. Dan sisanya, lebih kurang sekitar seribu pesan, berasal dari Darda. Seribu panggilan juga berasal dari Darda. Aku menghela napas dan membaca satu-satu pesan yang dikirimkannya.

Kalea Tyaga Bestari
Bandung, le 26 Juillet 2010

*lagu Heaven's What I Feel dipopulerkan oleh Gloria Estefan.

7/24/10

PERTEMUAN

Wanita suka sekali kejutan. Tapi kejutan tak selalu menyenangkan. Yang jelas, sesuatu yang mengejutkan akan membuat aliran darah kita semakin tidak stabil, penurunan tingkat konsentrasi atau lebih parah, nafas terhenti beberapa saat. Hari ini hari sabtu, harusnya aku menyambut weekend dengan riang. Tapi bintang datang hari ini, dan tak pernah tanpa kejutan. Bintang adalah kejutan bagiku. Tapi kali ini aku tak akan membiarkan bintang mengatur nafasku, aku tak akan membiarkan bintang memicu detak jantungku. Bintang, karena kau hampir tak pernah tanpa kejutan maka kali ini aku telah terbiasa. Si merah melaju perlahan. Hari sabtu, matahari sudah tenggelam dengan tenang dan perlahan giliran manusia yang berhambur memenuhi jalanan mencari hiburan dan aktualisasi diri. Memenuhi setiap wahana sosial yang bertengger di hampir setiap sisi jalanan bandung. Aku dengan sabar meladeni ganasnya jalanan bandung belakangan ini. Menjadi bagian hingar bingar bandung yang mulai ricuh. Bandung yang tak lagi tenang, bagai negara yang baru merdeka, pesta kebebasan disana-sini tanpa ada induk semang yang mampu mengatur segala keriuhan ini dengan bijaksana.

Aku menuju basement apartemen dengan lega, kulirik jam di tanganku, 20.25. ahh, semoga saja mereka belum bubar. Aku bergegas meraih bungkusan di kursi penumpang lalu turun. BIP.. si merah sudah kukunci. Aku menuju lift dengan perasaan harap-harap cemas, siapa saja yang hadir? apakah mereka menyenangkan? Aku tekan tombol bulat bertuliskan angka 15. Dalam hitungan detik aku sampai di lantai 15. Tak berpikir panjang aku langsung menuju kamar 1502. Tak sabar. Aku menekan bel dengan semangat, pintu terbuka dan aku yakin itu adalah mardi karena kami sering berpapasan. Aku langsung melayangkan pandanganku ke dalam ruangan, dan mataku langsung tertuju pada kyna,dan tanpa aba aba apapun aku langsung menyerbu kyna. “Aaaaa, lama tak jumpa!” aku memeluk kyna erat, karena kami baru saja bertemu lagi

"Hai semua! Saya Elora, biasa dipanggil Ori dari nama tengah saya Oriana!” tak lama seorang laki laki berbicara dengan suara lantang “Tunggu!!! Gue mau inget-inget nama!” lalu ia menghapal nama kami satu persatu dengan gayanya yang lucu, DEUGHH!!...tunggu, laki-laki ini? Sepertinya aku pernah melihatnya, dimana ya...dimana..ahh iya, aku pernah melihatnya bersama bintang. Tapi kapan yaa

"eh tunggu, sorry hmm itu mardi, kalea, kahlua, ateira truss...” aku berusaha mengingat nama satu persatu.

“gw julian” jawab laki-laki berparas putih bersih dan sunggu rapih

“ah iya, hai semua maaf saya telat tapi kalo saya mau dihukum saya rela kok distrap” hampir saja aku lupa minta maaf atas keterlambatanku.

“ahhh gapapa,emang tadi macet banget ya?” tanya ateira. Ateira, nama yang bagus menurutku. Sepengetahuanku, ateira atau athira dalam bahasa arab berarti harum semerbak. Dari matanya yang hangat, sepertinya ateira adalah sosok sensitif dan dalam.

“ahh kalo macet sih jangan ditanya. Apalagi apartmen kita ini negelewatin daerah macet berapa kali, td memang ada beberapa kerjaan yang harus diselesein” jawabku senetral mungkin.

“ihh gila ya, masa weekend gini masih hectic? Emang lo kerja apa?” kahlua memberikan pertanyaan lain. Kahlua sepertinya adalah sosok yang gesit dan skeptis, aku berani bertaruh, pasti ia bukan wanita yang bekerja dibelakang meja. Tapi pekerjaan dengan mobilitas tinggi,pembawaannya santai dan bicaranya lantang tidak seperti wanita kebanyakan “kebetulan saya bisnis WO kecil-kecilan. Nah berhubung bulan depan banyak long weekend jd banyak yang reserpsi bulan depan, dan bulan sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan” jawabku.


“kuee kuee...kueee” mardi tiba-tiba berteriak. Ahh, hampir saja lupa “ah iya, hampir saja lupa, keasikkan ngobrol cewe pasti begini” lalu aku membuka bungkusan yang tadi aku bawa dan menaruhnya di atas meja. Satu toples berisi crescent cookies.

“apa itu ri? Putri salju ya?” tanya kalea,

“hmm kalo orang kita mungkin bilangnya putri salju,tapi ini crescent cookies, semacam putri salju tapi dengan variasi rasa dan aroma yang beda-beda. Kebetulan ini resep turun temurun, kakakku buka toko kue di deket stasiun kereta. Kapan-kapan kalo kesana saya kasih diskon deh” ujarku sedikit mempromosikan toko kue teh Lanny

“iya, beuhh kuenya enak-enak. Apalagi lady fingernya juaraa” kyna bersemangat membuka toples yang aku bawa sambil tak kalah promosi.

“ahh, bisa aja kamu kyn” ucapku sambil melirik gennit pada kyna.“eh ri, seru dong bisnis Wedding organizer gitu. Ribet gak sih?” julian melempar tanya. Dan lagi-lagi seperti ada perasaan dingin yang merasuk setiap aku melihat wajahnya. Tapi entah kenapa.

ya ribet sih pasti. Tapi disitu justru serunya. Makin ribet makin puas kalo ternyata klien suka sama hasil kerja kita dan yang jelas saya jadi tau konflik-konflik menjelang pernikahan yang beraneka ragam.hahaha bikin males nikah deh kalo denge ceritanya” jawabku

“hah? Emang kenapa?” tanya ateira yang sepertinya tertarik dengan ceritaku.

“soalnya persiapan pernikahan kan berbulan-bulan, nah biasanya nih si ori saking mingle-nya suka malah jadi deket sama klien dan akhirnya si calon mempelai ini pada curhat deh sama dia.haha” kyna mewakili jawabanku.

Kami melanjutkan malam ini dengan berbincang mengenai banyak hal. mardi beberapa kali melemparkan pendapat tajamnya. lalu julian menanggapinya dengan humor. dan kalea selalu menjadi penengah.Kami seperti tengah berada di tengah talkshow dengan topik hidup di jaman edan.

Kami larut dalam ritme yang terus berganti. Ditengah topik serius perbincangan seketika menjadi canda yang membuat kami terpingkal. Sama seperti hidup. Seketika bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi siapa saja. Bagiku hidup bahagia bukan memberi dan menerima. Tapi memahami bahwa tak selamanya kita mampu memberi dan tak selamanya kita harus menerima. Hidup adalah sebuah kotak kado besar yang didalamnya terdapat kotak lain yang masih terbungkus rapi dan kita baru akan mengetahu apa isinya ketika kita membukanya satu persatu. Kita punya banyak kejutan. Bersipalah untuk itu. Seperti malam ini. Terimakasi mardi, atas undanganmu kami malam ini bertemu. Mardi adalah sosok yang diutus tuhan untuk mempertemukan kami. karena takdir tak pernah datang tiba-tiba. dan kali ini, kau sebagai pertanda.

satu persatu kami meninggalkan kamar 1502. Mardi terlihat puas karena undangan yang ia sebar tak sia-sia. begitupun kami. dibalik sosok julian yang humoris, aku merasakan sesuatu. entah apa. aku dan kyna berjalan menuju kamar kami masing-masing dan tiba-tiba saja kyna menarik tanganku dan berkata "ri, entah karena kita udah lama gak ketemu atau memang kamu yang menyembunyikan sesuatu, tapi aku merasakan energi besar dalam dirimu hari ini. apapun itu, jangan biarkan energi itu menghancurkanmu untuk kesekian kalinya"

ELORA ORIANA DALILAH


7/20/10

Malam Pertama


Pukul 19.45,

Derap kaki semakin cepat, tap tap tap taptaptaptaptap.

Tergesa dan memaksa untuk segera sampai satu detik setelah ini. Ah, belum juga! Lift terbuka, seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun keluar tanpa menyapa, karena memang kami tidak saling mengenal dan basa-basi tentunya hal yang sungguh tidak dianut oleh masyarakat jaman sekarang.

Tring, sampai sudah. Sebelum keluar dari lift aku mengintip sekilas penampilanku di pantulan dinding lift yang buram. Baiklah, tidak sempat lagi untuk berbenah, lebih baik aku langsung saja, batinku.

Lampu tempel bercahaya kuning di sisi-sisi dinding mengisyaratkan sunyinya lorong ini. Aku menengokkan kepala sedikit ke celah pintu di kamar yang masih 100 meter di depan, tak bisa lihat apa-apa. Cess… sebatang rokok aku nyalakan, sedari tadi di jalan aku belum menghisap sebatangpun. Tangan kanan dan kiri penuh dengan bawaan, sebenarnya hanya dua, satu tas jinjing kulit hitam yang berat dengan pakaian ganti, satu lagi berbunyi kresek-kresek berisik karena memang yang aku jinjing adalah kantung plastik.


1502.

Ting Tong! Aku menekan tombol bel di samping pintu, menunggu tak sampai satu menit dan tampaklah wajahnya, aku duga ia adalah sang pengirim undangan yang aku belum tahu namanya. Rokok masih terjepit di antara bibirku, mataku menyipit karena menghindari asap rokok yang melabuh ke arah mata. Lelaki itu diam sedetik lalu tersenyum, aku langsung menyodorkan tangan kanan yang masih menjinjing kantung plastik kuning pastel sehingga menimbulkan kresek-kresek yang agak mengganggu. Setelah bersalaman aku menjepit batang rokokku dengan tangan kanan, “Kyna.. Avara Kyna, 1504,” ujarku lalu tersenyum.


Ia tersenyum kembali sambil meruangkan jalan agar aku masuk, “Mardi Wisesa, silahkan masuk,” ujarnya.

Aku masuk ke dalam ruang 1502 dan kesan pertamaku adalah bebauan yang mengaromai ruangan itu. Ya, kamar ini jauh berbeda dengan kamarku, sekilas aku melihat beberapa orang sedang duduk di sofa ruang tengah. Sebelum melangkah lebih jauh aku berbalik kepada Mardi dan merasa butuh minta maaf atas keterlambatanku walaupun aku belum tentu datang terakhir malam itu.

“Maaf, aku terlambat lumayan lama,” ujarku cepat, “Yah, hari yang padat dan jalan raya di akhir minggu tak mau kalah saing dengan kesibukan orang-orang,” kilahku cepat tanpa menunggu responnya. Aku berjalan menuju ruang tengah yang ternyata setelah kuhitung sudah ada empat orang lainnya dan tidak ada wajah Ori, Elora Oriana di sana.


Sang tuan rumah berjalan cepat menyusulku dan sebagaimana tuan rumah bertindak seharusnya, ia berseru kepada wajah-wajah yang sedang memerhatikanku, semua dengan raut wajah ramah.

“Kamar 1504 sudah bergabung teman-teman!” serunya diiringi anggukanku yang lalu memperkenalkan diri, “Hai, saya Kyna,” aku melambaikan tangan ke arah mereka. Satu hisapan terakhir lalu aku berjalan menuju asbak yang tampak kinclong di rak sebelah kananku. Entahlah apakah Mardi merokok atau tidak, aku tekan puntung ke dalamnya lalu berjalan mendekati sofa sambil menatap satu per satu wajah-wajah tetanggaku. Ah, ya, satu gadis tersenyum sambil mengangguk ke arahku dan aku ingat gadis itu, ia adalah gadis tiga hari yang lalu, yang memerhatikanku cukup lama lalu membangunkanku dari tidur di mobil 15 menit setelahnya. Aku balik tersenyum sambil mengangguk.


“Berarti jumlah toples akan bertambah satu, benar begitu?” Mardi berujar sambil tersenyum dan mendelikkan matanya ke arah meja. Aku tersadar dan langsung mengangkat kantung plastik yang aku bawa,




“Ah, ya! Tentu saja! Ini kue kering yang aku harap bisa mengalahkan kelezatan castangel-mu,” candaku sambil mengedipkan mata ke arah Mardi. Aku letakkan toples bening bertutup besi perak ke atas meja, “Speculaas, butter cookies khas Belgia,” ujarku, “Keluargaku membawakannya sebagai oleh-oleh karena mereka tahu betapa aku menggemari kue kering ini,” lanjutku sambil tersenyum dan lalu mengambil posisi duduk di sebelah gadis tiga hari lalu itu (aku belum tahu namanya).


“Wow, jauh ya bok!” canda seorang laki-laki yang lalu mengulurkan tangannya padaku, “Hai, gue Julian!” serunya begitu bersemangat. Sebelumnya, aku sempat menyaksikan laki-laki yang necis ini menelanjangiku dari rambut hingga kaki saat aku baru masuk ruangan tersebut. Sepertinya ia orang yang benar-benar memerhatikan penampilan semua orang pada pertemuan pertama. Aku balik mengulurkan tangan dan tertawa kecil menanggapi semangatnya yang ceria untuk berkenalan dengan para orang asing di ruangan itu. Lalu berlanjut dengan ketiga perempuan lainnya,


“Saya Kalea,” ialah perempuan berwajah kalem namun tampak selalu senang, terlihat dari raut wajahnya. Satu detik aku bersalaman dan mendengar ia berbicara dengan suara cempreng sopran-nya itu, aku mengarang simpulan sendiri, sepertinya ia jarang dihampiri resah atau mungkin ia adalah tipe orang yang bisa dengan sempurna menyembunyikan keresahannya di depan umum.

“Hai, me Ateira!” ialah perempuan dengan mata besar, berbinar, membuatku tersenyum karena pancaran yang hadir dari kedua bola mata hitam itu. Pembawaannya mungil, namun bukan kecil, entah bagaimana itu. Seolah ringkih dan ingin rasanya aku menggiringnya ketika menyeberang karena aku takut ia tertabrak. Tapi ada optimisme yang tinggi dalam intonasi ia berbicara.

“Kahlua,” ujar gadis-tiga-hari-yang-lalu (setidaknya kini aku sudah tahu namanya), “Dan saya yang membangunkanmu ketika tidur di mobil tiga hari lalu,” lanjutnya lalu tertawa. Aku tertawa mendengar perkenalannya, “Ya, ya! Hari yang tolol,” kataku, “Ah, kau sempat memerhatikanku dari kejauhan dan jujur saja, aku merasa takut. Seperti diintimidasi, dan, maaf,” aku mencipta jeda, “hampir saja kupikir kau lesbi!” kataku berhati-hati. Kahlua tergelak lepas sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan, “Hahahahahaa! Alhamdulilah ternyata saya menarik di mata wanita,” ujarnya. Mereka, yang lain, tertawa mendengar perbincangan kami, tawa yang renyah, tawa yang lepas, ini luar biasa.


**


Kami berenam larut dalam obrolan yang terasa tidak habis, mengingat pertemuan ini merupakan kali pertama kami semua bertemu sebagai tetangga satu lantai. Semua hal seolah mengalir begitu saja untuk dipreteli, mulai dari kesukaan masing-masing, pekerjaan, latar pendidikan, jenis kue kering apa saja yang kami bawa, dan omong kosong lainnya. Herannya, segala omong kosong yang kami bicarakan terasa sungguh menyenangkan! Sambil mencicipi kue kering yang dibawa masing-masing, kami terus berbicara mengenai banyak hal dan satu hal yang tiba-tiba mengaliri pembuluh darahku: rasa luar biasa.

Ini luar biasa, batinku tanpa ingin mengatakan mengapa pada detik itu.


Pukul 20.30 bel pintu kamar 1502 berbunyi.

“Ah, aku rasa ini pasti Elora!” ujarku. Mardi melompati sofa dan bergegas membukakan pintu. Ateira bertanya padaku, “Sudah berapa lama kau kenal dengan Elora?” Aku menengadah sesaat, “Kalau dihitung berarti sudah hampir 10 tahun,” jawabku, “Kami teman kuliah,” lanjutku. Tak lama sosok mungil yang tampak lelah itu menyusul mendekat i sofa, ia histeris melihatku dan langsung memelukku,


“Aaaaa, lama tak jumpa!” serunya. Tak lama ia melambaikan tangan ke arah penghuni lainnya, “Hai semua! Saya Elora, biasa dipanggil Ori dari nama tengah saya Oriana!” serunya antusias.


Julian, si laki-laki necis itu langsung menyambar semua suara di ruangan dengan teriakannya, “Tunggu!!! Gue mau inget-inget nama!” Ia terdiam, lambaian tangannya yang bergerak seperti sedang mengusir kucing di dapur berganti dengan telunjuknya yang menunjuk masing-masing manusia di ruangan itu,


“Mardi…Ateira…Kalea…hmmmm Virgin Kahlua,” Kahlua kembali mengeluarkan gerakan khasnya ketika tertawa, kepala dilempar ke belakang sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan,

“Trusss… Kyna, dan, Ora et Labora, eeehhhh… Laura Halimah, ehhhh.. sapa sih lo? Oooh Elora Oriana!” ujarnya, seru sendiri. Satu ruangan gaduh dengan tawa tujuh manusia yang mencipta ceria di akhir minggu nista. Ya, nista bagiku, tak lain karena jalan raya yang menggila dengan lalu lintasnya.


Kembali, Mardi mengeluarkan sinyal-sinyal ‘keluarkan-kue-yang-harus-mengalahkan-kelezatan-castangelku’ dengan raut wajah dan matanya yang mendelik ke meja tengah, “Kue…kueee….” Teriaknya menirukan penjual tahu atau sate di pinggir jalan diikuti dengan Elora yang mengeluarkan kue kering dan meletakkannya di meja.


**


Suara-suara itu melebur menjadi redam. Aku larut dalam lelah dan keasyikanku menelaah kelima teman baruku. Sambil menatapi wajah mereka satu persatu, sambil mendengar celoteh berisik namun riang dari enam pasang bibir itu, aku khusyuk menghikmati malam minggu ini. Ini luar biasa, kembali aku membatin.


Hari ini diawali dengan latihan menari yang melelahkan selama enam jam. Diselingi makan siang dan mencari bahan untuk kostum tampil kami nanti di Pasar Baru, kembali latihan hingga pukul lima sore dan aku langsung melesat ke rumah Om Joko dan Tante Nyla untuk menepati janji mengunjungi mereka sekalian mengambil oleh-oleh kue kering. Setengah jam aku habiskan di rumah asri bak villa itu lalu langsung melaju menuju apartemen ini, memenuhi undangan si 1502 alias Mardi Wisesa, terjebak macet setan ala Bandung di akhir pekan, satu setengah jam aku butuhkan untuk tiba. Lelah, beradu dengan fisik dan emosi Mas Raka dan personil Wandanyata ketika latihan menari, lelah bertarung dengan pengguna jalan raya yang memancing sumpah serapah dan lelah berapi dalam makian atas kondisi jalan raya Bandung yang berujung mengumpat si pemerintah kota.


Semuanya menggariskan satu hal dalam batinku, bahwa manusia tak ada yang peduli lagi dengan sesama, bahwa tawa tak bisa lagi digiring bersama, bahwa ketenangan batin tak mampu lagi ditemui ketika manusia satu bertemu dengan manusia lainnya. Lelah untuk menerima bahwa dunia ini sudah sinting! Gerah untuk menyadari bahwa manusia hanya punya satu yang tersisa dalam kehidupan sosial: ego alias ingin menang sendiri alias individualisme berlebih. Baiklah, jadi tiga yang tersisa.

Tapi malam ini, di ruangan ini, bersama orang-orang baru ini, aku tenang. Penat tak membebat dan aku merasa ini luar biasa, bahwa ketentraman bisa tercipta dalam ruang kecil yang tak padat dengan hiburan, tapi pada dasarnya, manusialah yang menghibur. Manusialah keajaiban karena mampu mengharmonisasikan dayanya bersama, dalam kebersamaan. Aku lega, selamat datang penghuni lantai 15, aku rasa kalian akan mengukir cerita baru dalam hidupku.

Dan aku hanya ingat gelap, dalam lelap.

***


Avara Kyna

#1504

image via deliciousmagazine