dari dulu aku selalu percaya bahwa Tuhan di musim hujan adalah seorang wanita, atau paling tidak seorang lelaki yang teramat cengeng. entah apa yang ditangisiNya, sementara dia tidak beranak dan tak diperanakan. mungkin ia menangisi kesendirianNya, padahal ia memiliki kami. kenapa Tuhan tak turun ke dunia untuk sekedar berbagi cerita?
bagiku, ada tiga tipe manusia di muka bumi ini, yang gemar menari di atas tetes hujan, dan yang menangis karenanya. aku, termasuk tipe yang ketiga, hujan atau tidak, toh aku membawa payung ke mana-mana. payung yang besar, cukup untuk berdua.
Ning pernah berkata bahwa payung adalah cawan yang terbalik, bisa juga bahtera. Ning selalu percaya pada mimpinya bahwa ketika Tuhan menenggelamkan dunia, Nuh mengapungkan seribu payung untuk berdua. kelinci dan kura-kura, monyet dan sakadang kancil, serigala dan domba, dan binatang-binatang lainnya duduk berpasang-pasangan. Ning berdiri gagah di atas belalai gajah. dan katanya, aku secawan dengan seekor cendrawasih raja yang jelita.
“kenapa di mimpi itu, aku tak sepayung terbalik denganmu?” tanyaku.
“karena kau pantas dapat yang lebih baik,” jawabnya.
kami diam untuk beberapa saat, mengalir lagi satu tanya mencairkan suasana, “tapi kenapa harus dengan seekor burung, dimana kita tahu, dengan sayapnya, tak perlu hinggap, terbang saja.”
“kau harus tahu, bahkan burung pun bisa berhenti terbang jika lukanya tak terbilang. bila ia jatuh di depanmu, rawat dan kepakkan lagi sayapnya,” jelasnya.
*
kuantar gadis kuyu yang kutemukan tersungkur di pelataran apartemen ke kamarnya. sudah larut, dan ia masih meraba rasa hujan. kusangka ia datang dari benua Afrika, di mana hujan jarang sekali turun di sana.
ia tak banyak bicara, tak juga mengelak ketika kuhangatkan tubuhnya dengan jaketku yang berwarna biru muda. kedinginan juga ia rupanya, lagipula suruh siapa, kutanya namannya, sambil menggigil ia izinkanku tuk memanggil, dia, dengan, “Tei, panggil saja aku Tei. Ateira Niskala,” ujarnya sambil menekan angka 15 saat kami memasuki lift.
astaga, tiba-tiba aku teringat ibu, seorang pakar ilmu burung yang pernah tinggal dua tahun di Papua untuk meneliti ragam fauna yang terdapat di belantaranya. suatu saat ia pernah bercerita, timnya secara tak sengaja pernah merekam burung langka, seekor cendrawasih raja yang populasinya tak lebih dari 5 ekor saja di seluruh dunia.
ketika rekaman tersebut ditunjukan kepada masyarakat sekitar, ketua adat terkejut, dan menitahkan warganya untuk berlutut. burung jelita itu dipercaya sebagai jelmaan dewa, mereka menyebutnya Ateira.
gadis cendrawasih raja, mungkin bisa kurawat lukamu yang tak terkira. ia menutup pintu, tersenyum perlu tak perlu, meninggalkanku yang diam terpaku, kutunggu kau malam minggu.
Mardi Wisesa
bagiku, ada tiga tipe manusia di muka bumi ini, yang gemar menari di atas tetes hujan, dan yang menangis karenanya. aku, termasuk tipe yang ketiga, hujan atau tidak, toh aku membawa payung ke mana-mana. payung yang besar, cukup untuk berdua.
Ning pernah berkata bahwa payung adalah cawan yang terbalik, bisa juga bahtera. Ning selalu percaya pada mimpinya bahwa ketika Tuhan menenggelamkan dunia, Nuh mengapungkan seribu payung untuk berdua. kelinci dan kura-kura, monyet dan sakadang kancil, serigala dan domba, dan binatang-binatang lainnya duduk berpasang-pasangan. Ning berdiri gagah di atas belalai gajah. dan katanya, aku secawan dengan seekor cendrawasih raja yang jelita.
“kenapa di mimpi itu, aku tak sepayung terbalik denganmu?” tanyaku.
“karena kau pantas dapat yang lebih baik,” jawabnya.
kami diam untuk beberapa saat, mengalir lagi satu tanya mencairkan suasana, “tapi kenapa harus dengan seekor burung, dimana kita tahu, dengan sayapnya, tak perlu hinggap, terbang saja.”
“kau harus tahu, bahkan burung pun bisa berhenti terbang jika lukanya tak terbilang. bila ia jatuh di depanmu, rawat dan kepakkan lagi sayapnya,” jelasnya.
*
kuantar gadis kuyu yang kutemukan tersungkur di pelataran apartemen ke kamarnya. sudah larut, dan ia masih meraba rasa hujan. kusangka ia datang dari benua Afrika, di mana hujan jarang sekali turun di sana.
ia tak banyak bicara, tak juga mengelak ketika kuhangatkan tubuhnya dengan jaketku yang berwarna biru muda. kedinginan juga ia rupanya, lagipula suruh siapa, kutanya namannya, sambil menggigil ia izinkanku tuk memanggil, dia, dengan, “Tei, panggil saja aku Tei. Ateira Niskala,” ujarnya sambil menekan angka 15 saat kami memasuki lift.
astaga, tiba-tiba aku teringat ibu, seorang pakar ilmu burung yang pernah tinggal dua tahun di Papua untuk meneliti ragam fauna yang terdapat di belantaranya. suatu saat ia pernah bercerita, timnya secara tak sengaja pernah merekam burung langka, seekor cendrawasih raja yang populasinya tak lebih dari 5 ekor saja di seluruh dunia.
ketika rekaman tersebut ditunjukan kepada masyarakat sekitar, ketua adat terkejut, dan menitahkan warganya untuk berlutut. burung jelita itu dipercaya sebagai jelmaan dewa, mereka menyebutnya Ateira.
gadis cendrawasih raja, mungkin bisa kurawat lukamu yang tak terkira. ia menutup pintu, tersenyum perlu tak perlu, meninggalkanku yang diam terpaku, kutunggu kau malam minggu.
Mardi Wisesa
uwiii...personal nih coi! hehee, asik akhirnya ada postingan lagi ;)
ReplyDeletegila ini bagus banget loh.
ReplyDeletegw jadi ateira langsun klepek2 ga keruan nih.
sweet! :)
wih wih wih *baru sempet komen.haha
ReplyDeleteyesss ayo lanjutin lagii. udah mulai dingin nih. mari kobarkan gempita apartemant :p