7/27/10

Pesan

Cukup sehari saja kubiarkan kakiku bermanja tidak melakukan apapun. Hanya sedikit saja ia terluka, sekarang tinggal lebam yang tersisa. Walaupun masih kurutuki itu si pengendara motor yang melintas tanpa hati-hati di trotoar favoritku. Kupaksakan kakiku menuruni sekian ratus anak tangga di apartemenku ini. Biar kuat, biar sehat, biar lambat, asal selamat.

Pemaksaan pada satu organku ini hanya karena satu tujuan: membeli kue lidah kucing yang juara satu. Kalau diingat, sedih juga karena lidah kucing yang kemarin jatuh itu remuk-redam dan hanya berakhir di perutku. Tak sampai hati jika kubawakan lidah kucing yang seperti remukan kerupuk itu untuk si 1502, yang sudah berikan aku caastangel-nya yang juara satu.

***

Pikiranku menjelajah, menebak-nebak apa yang mungkin terjadi nanti, bagaimana rupa mereka teman-teman baruku. Adakah ini akan menjadi sesuatu yang tidak biasa? Aku selalu senang untuk mengenal orang lain, mungkin juga karena ketertarikanku pada perilaku manusia yang selalu unik dan sulit ditebak. Aku pula berusaha menebak-nebak sketsa wajah teman-teman baruku, padahal aku belum pernah bertemu mereka sama sekali.

Angkutan kota yang kunaiki melewati taman yang rindang dan tiba-tiba pikirku berpindah ke masa lalu. Dia sedang duduk membuat sketsa, sementara aku tidur-tiduran di rumput yang tidak bersih itu dan membaca buku. Sayangnya ingatanku hanya setengah, aku tidak ingat buku apa yang kubaca, tapi kudengar lagu kesukaanku melalui earphone yang terhubung ke ponselku.

I was not supposed to fall in love with you.. *

Aku memencet tombol next untuk menghindari lagu itu. Aku memandang wajahnya, tapi ia tidak menyadarinya. Pandangannya pada buku sketsa berukuran A4 itu tidak beralih sama sekali. Ia tenggelam pada sketsanya, yang entah seperti apa jadinya. Satu jam berlalu.

“Sudah dululah, ayo minum cokelat,” ujar Darda sambil membereskan segala peralatan sketsanya. Kami memang pecinta es cokelat. Tidak absen minuman yang satu itu dalam pertemuan-pertemuan kami. Mungkin itu pula yang menjadikan kami bisa nyambung dalam berbagai pembicaraan. Es cokelat perekatnya.

Drrrrttt.. ponselku bergetar dan membuyarkanku dari lamunan yang tak kuhendaki. Ada pesan masuk melalui satu penyedia layanan messenger. Kulihat siapa pengirimnya. Darda.

Kamu kemana malem ini? Temenin gue minum cokelat di tempat biasa dong ya? :D

Emoticon penyerta pesan itu adalah emoticon favoritku. Dan juga dia. Dia tahu sekali itu. Dan aku tahu sekali itu. Emoticon itu yang menyentil jemariku untuk membalas pesan singkat itu. Sedetik, dua detik, kuurungkan niatku.

Kupencet tombol sign off. I’m signing off from my account, from you. Tapi bisakah semudah itu menarik diri dari Darda, semudah undur diri dari akun messenger itu? Yang pasti tidak semudah turun dari angkutan kota ini. Aku turun perlahan dan melangkahkan kaki sakitku ke apartemenku yang nyaman luar biasa. Kali ini aku pilih lift sebagai penghantarku menuju kamar.

***

Setelah memilih baju yang akan kupakai nanti, aku baringkan diriku sejenak. Kupikir sehelai kaos longgar berwarna abu-abu yang menjuntai hingga lutut cukup pantas untuk pertemuan informal itu. Aku mengecek ponselku yang sejak tadi sore di-setting dalam mode diam, bahkan tanpa getar. Sejuta panggilan tidak terjawab dan beratus pesan singkat singgah di ponsel dengan merek pasaran itu. Itu semua ulah Darda.

Lea, kamu kemana sih? Gue hubungi gada jwbn mulu. Bls si smsnya. Kita kan udh lama gak ketemu. Gak kangen apa? Ini rindu namanya.

Oh, Darda.. dengan hal apa pula mesti kujawab pesan singkatmu itu. Apakah kau mencoba membalasku atas pertemuan terakhir kita di kafe itu? Apakah benar yang kau rasa di kalimat akhir pesanmu itu? Pesan-pesan standar seperti itu sepertinya tidak pas kau kirimkan di masa seperti ini, di masa setelah pertemuan terakhir kita di kafe itu. Tapi aku ragu kau bisa peka tentang itu.

Berkali-kali kucoba untuk mengetik pesan balasan untuknya. Tapi berkali-kali pula kuhapus pesan itu. Sekali lagi, tak ada pesan kukirimkan untuknya. Lihat saja, sehari-dua hari lagi ia akan menggedor kamarku dengan murka karena tidak ada satupun kabarku minggu ini terkirim padaku. Apalagi jika ia tahu jika aku sempat tertabrak oleh pengendara motor yang kurang berhati-hati itu. Aku sembunyikan ponsel itu ke bawah bantal dan aku berlari kecil ke kamar mandi, mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan penghuni lain di lantai ini dan melarikan diri dari pesan singkat Darda.

***

Ketukan yang tidak terlalu lama di bawah angka 1502 memunculkan seorang lelaki dengan senyum sumringah.

“Hai, eh.. eh tunggu sebentar, ada yang tertinggal,” kesan pertama yang kurang baik, aku lupa membawa lidah kucing yang telah kupersiapkan. Aku berlari ke kamarku sebentar dan ia masih saja menunggu di depan pintunya. Dengan tidak sengaja, aku memberitahukan dari kamar mana aku muncul.

“Hehehe.. tunggu sebentar ya, nanti aku ketuk lagi saja. Udah ada yang datang? Ada yang ketinggalan. Lupa, lupa banget tadi,” ujarku panik sambil berusaha membuka kunci pintu kamarku.

Dan dia, si 1502, masih saja menunggu di sana hingga aku selesai dengan keterlupaanku, masih dengan senyum sumringahnya. “Saya Mardi. Mardi Wisesa. Nama kamu siapa? Bawel ya?”, ujarnya ramah tanpa kesal sedikitpun atas perlakuanku.

“Eh, maaf banget ya barusan, saya terang, bukan bawel. Kalea,” ujarku sambil menahan tawa atas tuduhan yang dialamatkan padaku. Rupanya ia menganggapku cerewet dengan semua yang terjadi dalam waktu sekian menit itu. Nama depanku, Kalea, memang berarti terang dan sama sekali tidak berarti bawel.

Ia mempersilakanku masuk ke ruangan berwarna biru muda itu dan sesaat, ketenangan langsung menyergapku. “Yang lain masih belum datang, baru satu, si wartawan Kahlua,” ujarnya sambil mengenalkanku pada Kahlua. Tipikal wartawan, itu simpulanku setelah memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedikit berantakan. Dan pada detik yang sama aku bersyukur, ternyata ada orang yang gayanya lebih berantakan dariku malam ini.

Belum sempat kami mengobrol banyak, penghuni kamar-kamar lain bermunculan. Beberapa terlambat dari jadwal yang telah ditentukan karena kesibukan mereka masing-masing. Yang datang setelahku adalah Ateira. Wanita bertubuh mungil dan berkulit putih. Dia penyuka bunga, begitu rupanaya. Ia bercerita, bunga berwarna fuschia yang ia bawa untuk pertemuan malam ini berasal dari tokonya.

Setelah Ateira, yang datang adalah seorang laki-laki berpenampilan sederhana namun sedap dipandang. Sedetik aku melihatnya, aku yakin pasti dia bekerja di bidang fashion. Entah kenapa kuyakini itu, hingga akhirnya kami mengobrol. “Hai, gue Julian. Baju lo tuh kurang rame dikit deh,” matanya menyusuri kaos abu-abu yang kukenakan malam itu.

“Gue Kalea. Emang sengaja mau simpel aja soalnya kan nggak keluar apartemen. Kalungnya ketinggalan di depan kaca kamar mandi,” aku menanggapi komentarnya yang blak-blakan sambil terkikik geli. Tuh, benar kan, ia pasti orang fashion deh, ujarku dalam hati.

Perbincangan ringan mengenai apa yang kami lakukan sehari-hari terhenti. Mardi menghampiri pintu yang diketuk oleh siapa itu. Ternyata yang muncul adalah perempuan bernama Kyna. Ia memperkenalkan profesinya sebagai penari. Seperti biasa, aku melakukan kebiasaanku memandangi orang baru dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Mardi, ada asbak nggak?” tanyanya pada Mardi begitu selesai menjelaskan keterlambatannya. Mardi menunjuk asbak yang masih bersih di raknya.

Obrolan kami mengalir menyenangkan. Berpindah dari satu topik ke topik yang lainnya. Mulai dari kemacetan Kota Bandung, menyumpahi birokrat yang tak becus kerjanya, lagu-lagu yang kami sukai, dan beragam topik lain. Tepat pukul 20.30, pintu kamar Mardi diketuk lagi. Rupa-rupanya Kyna sudah kenal dengan perempuan yang baru datang ini. Ia memperkenalkan diri sebagai Ori, yang langsung mengingatkanku pada Si Sinis Oriana Fallaci. Wartawan skeptis, sinis, dan galak yang pernah mewawancarai pemimpin-pemimpin dunia.

“Kebetulan saya punya WO kecil-kecilan. Nah berhubung bulan depan banyak long weekend jadi banyak yang reserpsi bulan depan, dan sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan,” terang Ori menjelaskan pekerjaannya.

Wow, ini menyenangkan. Fascinating. Berbagai orang dari profesi yang berlainan dan tidak ada yang bekerja di sektor formal. Sektor formal adalah istilahku untuk mereka yang bekerja sejak pukul delapan atau sembilan pagi dan pulang pukul empat atau lima sore. . “Gue juga jadi wartawan mah cuma iseng aja, ya ngisi waktu ajalah,” ungkap Kahlua yang disambut oleh tawa membahana dari penghuni apartemen yang lain.

Selepas tengah malam, meja di ruang tamu Mardi telah penuh dengan toples-toples yang kosong dan hampir kosong. Rupanya pertemuan selama hampir lima jam ini membuat kami tidak terasa menghabiskan tujuh toples yang dibawa masing-masing penghuni kamar. Dan, percayalah, semua kue itu rasanya juara satu dari tiap jenisnya.

Menjelang pukul satu dini hari, kami bersiap-siap kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan menyenangkan. Ini yang aku cari, teman-teman baru dengan pemikiran-pemikiran yang cerkas dan bisa diajak mengobrol tentang apa saja. Sama seperti Darda. Ouch, kenapa masih saja aku pikirkan dia.

Setelah cium pipi kiri, cium pipi kanan, dan berpelukan sambil berjanji untuk sering bertemu, kami pulang dan meninggalkan lagi Mardi dalam kesendirian. Sesaat, ruangan yang tadi ramai itu kini senyap. Dan itu pula aku, di kamar yang berwarna jingga. Aku kembali sepi dan sendirian, tawa-tawa lima menit yang lalu, hilang sudah.

Aku meraih ponselku yang sengaja kutinggalkan di bawah bantal. Pertemuan tadi sangat menyenangkan, bahkan aku tidak ingat sama sekali perihal ponselku, yang biasanya tidak pernah jauh dariku bahkan se-inchi pun. Kyna, Mardi, Julian, Kahlua, dan Ori juga bukan tipe orang yang selalu sibuk dengan ponsel mereka. Hanya sesekali mereka mengecek ponsel mereka, tapi tetap fokus pada pembicaraan-pembicaraan kami. Jarang terjadi yang demikian di masa sekarang ini.

Dan kini aku fokus mengecek pesan-pesan dan panggilan yang masuk. Isinya satu dari ibuku, menanyakan kapan aku akan ke Jakarta menemui kakaknya. Dan sisanya, lebih kurang sekitar seribu pesan, berasal dari Darda. Seribu panggilan juga berasal dari Darda. Aku menghela napas dan membaca satu-satu pesan yang dikirimkannya.

Kalea Tyaga Bestari
Bandung, le 26 Juillet 2010

*lagu Heaven's What I Feel dipopulerkan oleh Gloria Estefan.

7/24/10

PERTEMUAN

Wanita suka sekali kejutan. Tapi kejutan tak selalu menyenangkan. Yang jelas, sesuatu yang mengejutkan akan membuat aliran darah kita semakin tidak stabil, penurunan tingkat konsentrasi atau lebih parah, nafas terhenti beberapa saat. Hari ini hari sabtu, harusnya aku menyambut weekend dengan riang. Tapi bintang datang hari ini, dan tak pernah tanpa kejutan. Bintang adalah kejutan bagiku. Tapi kali ini aku tak akan membiarkan bintang mengatur nafasku, aku tak akan membiarkan bintang memicu detak jantungku. Bintang, karena kau hampir tak pernah tanpa kejutan maka kali ini aku telah terbiasa. Si merah melaju perlahan. Hari sabtu, matahari sudah tenggelam dengan tenang dan perlahan giliran manusia yang berhambur memenuhi jalanan mencari hiburan dan aktualisasi diri. Memenuhi setiap wahana sosial yang bertengger di hampir setiap sisi jalanan bandung. Aku dengan sabar meladeni ganasnya jalanan bandung belakangan ini. Menjadi bagian hingar bingar bandung yang mulai ricuh. Bandung yang tak lagi tenang, bagai negara yang baru merdeka, pesta kebebasan disana-sini tanpa ada induk semang yang mampu mengatur segala keriuhan ini dengan bijaksana.

Aku menuju basement apartemen dengan lega, kulirik jam di tanganku, 20.25. ahh, semoga saja mereka belum bubar. Aku bergegas meraih bungkusan di kursi penumpang lalu turun. BIP.. si merah sudah kukunci. Aku menuju lift dengan perasaan harap-harap cemas, siapa saja yang hadir? apakah mereka menyenangkan? Aku tekan tombol bulat bertuliskan angka 15. Dalam hitungan detik aku sampai di lantai 15. Tak berpikir panjang aku langsung menuju kamar 1502. Tak sabar. Aku menekan bel dengan semangat, pintu terbuka dan aku yakin itu adalah mardi karena kami sering berpapasan. Aku langsung melayangkan pandanganku ke dalam ruangan, dan mataku langsung tertuju pada kyna,dan tanpa aba aba apapun aku langsung menyerbu kyna. “Aaaaa, lama tak jumpa!” aku memeluk kyna erat, karena kami baru saja bertemu lagi

"Hai semua! Saya Elora, biasa dipanggil Ori dari nama tengah saya Oriana!” tak lama seorang laki laki berbicara dengan suara lantang “Tunggu!!! Gue mau inget-inget nama!” lalu ia menghapal nama kami satu persatu dengan gayanya yang lucu, DEUGHH!!...tunggu, laki-laki ini? Sepertinya aku pernah melihatnya, dimana ya...dimana..ahh iya, aku pernah melihatnya bersama bintang. Tapi kapan yaa

"eh tunggu, sorry hmm itu mardi, kalea, kahlua, ateira truss...” aku berusaha mengingat nama satu persatu.

“gw julian” jawab laki-laki berparas putih bersih dan sunggu rapih

“ah iya, hai semua maaf saya telat tapi kalo saya mau dihukum saya rela kok distrap” hampir saja aku lupa minta maaf atas keterlambatanku.

“ahhh gapapa,emang tadi macet banget ya?” tanya ateira. Ateira, nama yang bagus menurutku. Sepengetahuanku, ateira atau athira dalam bahasa arab berarti harum semerbak. Dari matanya yang hangat, sepertinya ateira adalah sosok sensitif dan dalam.

“ahh kalo macet sih jangan ditanya. Apalagi apartmen kita ini negelewatin daerah macet berapa kali, td memang ada beberapa kerjaan yang harus diselesein” jawabku senetral mungkin.

“ihh gila ya, masa weekend gini masih hectic? Emang lo kerja apa?” kahlua memberikan pertanyaan lain. Kahlua sepertinya adalah sosok yang gesit dan skeptis, aku berani bertaruh, pasti ia bukan wanita yang bekerja dibelakang meja. Tapi pekerjaan dengan mobilitas tinggi,pembawaannya santai dan bicaranya lantang tidak seperti wanita kebanyakan “kebetulan saya bisnis WO kecil-kecilan. Nah berhubung bulan depan banyak long weekend jd banyak yang reserpsi bulan depan, dan bulan sekarang lagi sibuk-sibuknya persiapan” jawabku.


“kuee kuee...kueee” mardi tiba-tiba berteriak. Ahh, hampir saja lupa “ah iya, hampir saja lupa, keasikkan ngobrol cewe pasti begini” lalu aku membuka bungkusan yang tadi aku bawa dan menaruhnya di atas meja. Satu toples berisi crescent cookies.

“apa itu ri? Putri salju ya?” tanya kalea,

“hmm kalo orang kita mungkin bilangnya putri salju,tapi ini crescent cookies, semacam putri salju tapi dengan variasi rasa dan aroma yang beda-beda. Kebetulan ini resep turun temurun, kakakku buka toko kue di deket stasiun kereta. Kapan-kapan kalo kesana saya kasih diskon deh” ujarku sedikit mempromosikan toko kue teh Lanny

“iya, beuhh kuenya enak-enak. Apalagi lady fingernya juaraa” kyna bersemangat membuka toples yang aku bawa sambil tak kalah promosi.

“ahh, bisa aja kamu kyn” ucapku sambil melirik gennit pada kyna.“eh ri, seru dong bisnis Wedding organizer gitu. Ribet gak sih?” julian melempar tanya. Dan lagi-lagi seperti ada perasaan dingin yang merasuk setiap aku melihat wajahnya. Tapi entah kenapa.

ya ribet sih pasti. Tapi disitu justru serunya. Makin ribet makin puas kalo ternyata klien suka sama hasil kerja kita dan yang jelas saya jadi tau konflik-konflik menjelang pernikahan yang beraneka ragam.hahaha bikin males nikah deh kalo denge ceritanya” jawabku

“hah? Emang kenapa?” tanya ateira yang sepertinya tertarik dengan ceritaku.

“soalnya persiapan pernikahan kan berbulan-bulan, nah biasanya nih si ori saking mingle-nya suka malah jadi deket sama klien dan akhirnya si calon mempelai ini pada curhat deh sama dia.haha” kyna mewakili jawabanku.

Kami melanjutkan malam ini dengan berbincang mengenai banyak hal. mardi beberapa kali melemparkan pendapat tajamnya. lalu julian menanggapinya dengan humor. dan kalea selalu menjadi penengah.Kami seperti tengah berada di tengah talkshow dengan topik hidup di jaman edan.

Kami larut dalam ritme yang terus berganti. Ditengah topik serius perbincangan seketika menjadi canda yang membuat kami terpingkal. Sama seperti hidup. Seketika bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi siapa saja. Bagiku hidup bahagia bukan memberi dan menerima. Tapi memahami bahwa tak selamanya kita mampu memberi dan tak selamanya kita harus menerima. Hidup adalah sebuah kotak kado besar yang didalamnya terdapat kotak lain yang masih terbungkus rapi dan kita baru akan mengetahu apa isinya ketika kita membukanya satu persatu. Kita punya banyak kejutan. Bersipalah untuk itu. Seperti malam ini. Terimakasi mardi, atas undanganmu kami malam ini bertemu. Mardi adalah sosok yang diutus tuhan untuk mempertemukan kami. karena takdir tak pernah datang tiba-tiba. dan kali ini, kau sebagai pertanda.

satu persatu kami meninggalkan kamar 1502. Mardi terlihat puas karena undangan yang ia sebar tak sia-sia. begitupun kami. dibalik sosok julian yang humoris, aku merasakan sesuatu. entah apa. aku dan kyna berjalan menuju kamar kami masing-masing dan tiba-tiba saja kyna menarik tanganku dan berkata "ri, entah karena kita udah lama gak ketemu atau memang kamu yang menyembunyikan sesuatu, tapi aku merasakan energi besar dalam dirimu hari ini. apapun itu, jangan biarkan energi itu menghancurkanmu untuk kesekian kalinya"

ELORA ORIANA DALILAH


7/20/10

Malam Pertama


Pukul 19.45,

Derap kaki semakin cepat, tap tap tap taptaptaptaptap.

Tergesa dan memaksa untuk segera sampai satu detik setelah ini. Ah, belum juga! Lift terbuka, seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun keluar tanpa menyapa, karena memang kami tidak saling mengenal dan basa-basi tentunya hal yang sungguh tidak dianut oleh masyarakat jaman sekarang.

Tring, sampai sudah. Sebelum keluar dari lift aku mengintip sekilas penampilanku di pantulan dinding lift yang buram. Baiklah, tidak sempat lagi untuk berbenah, lebih baik aku langsung saja, batinku.

Lampu tempel bercahaya kuning di sisi-sisi dinding mengisyaratkan sunyinya lorong ini. Aku menengokkan kepala sedikit ke celah pintu di kamar yang masih 100 meter di depan, tak bisa lihat apa-apa. Cess… sebatang rokok aku nyalakan, sedari tadi di jalan aku belum menghisap sebatangpun. Tangan kanan dan kiri penuh dengan bawaan, sebenarnya hanya dua, satu tas jinjing kulit hitam yang berat dengan pakaian ganti, satu lagi berbunyi kresek-kresek berisik karena memang yang aku jinjing adalah kantung plastik.


1502.

Ting Tong! Aku menekan tombol bel di samping pintu, menunggu tak sampai satu menit dan tampaklah wajahnya, aku duga ia adalah sang pengirim undangan yang aku belum tahu namanya. Rokok masih terjepit di antara bibirku, mataku menyipit karena menghindari asap rokok yang melabuh ke arah mata. Lelaki itu diam sedetik lalu tersenyum, aku langsung menyodorkan tangan kanan yang masih menjinjing kantung plastik kuning pastel sehingga menimbulkan kresek-kresek yang agak mengganggu. Setelah bersalaman aku menjepit batang rokokku dengan tangan kanan, “Kyna.. Avara Kyna, 1504,” ujarku lalu tersenyum.


Ia tersenyum kembali sambil meruangkan jalan agar aku masuk, “Mardi Wisesa, silahkan masuk,” ujarnya.

Aku masuk ke dalam ruang 1502 dan kesan pertamaku adalah bebauan yang mengaromai ruangan itu. Ya, kamar ini jauh berbeda dengan kamarku, sekilas aku melihat beberapa orang sedang duduk di sofa ruang tengah. Sebelum melangkah lebih jauh aku berbalik kepada Mardi dan merasa butuh minta maaf atas keterlambatanku walaupun aku belum tentu datang terakhir malam itu.

“Maaf, aku terlambat lumayan lama,” ujarku cepat, “Yah, hari yang padat dan jalan raya di akhir minggu tak mau kalah saing dengan kesibukan orang-orang,” kilahku cepat tanpa menunggu responnya. Aku berjalan menuju ruang tengah yang ternyata setelah kuhitung sudah ada empat orang lainnya dan tidak ada wajah Ori, Elora Oriana di sana.


Sang tuan rumah berjalan cepat menyusulku dan sebagaimana tuan rumah bertindak seharusnya, ia berseru kepada wajah-wajah yang sedang memerhatikanku, semua dengan raut wajah ramah.

“Kamar 1504 sudah bergabung teman-teman!” serunya diiringi anggukanku yang lalu memperkenalkan diri, “Hai, saya Kyna,” aku melambaikan tangan ke arah mereka. Satu hisapan terakhir lalu aku berjalan menuju asbak yang tampak kinclong di rak sebelah kananku. Entahlah apakah Mardi merokok atau tidak, aku tekan puntung ke dalamnya lalu berjalan mendekati sofa sambil menatap satu per satu wajah-wajah tetanggaku. Ah, ya, satu gadis tersenyum sambil mengangguk ke arahku dan aku ingat gadis itu, ia adalah gadis tiga hari yang lalu, yang memerhatikanku cukup lama lalu membangunkanku dari tidur di mobil 15 menit setelahnya. Aku balik tersenyum sambil mengangguk.


“Berarti jumlah toples akan bertambah satu, benar begitu?” Mardi berujar sambil tersenyum dan mendelikkan matanya ke arah meja. Aku tersadar dan langsung mengangkat kantung plastik yang aku bawa,




“Ah, ya! Tentu saja! Ini kue kering yang aku harap bisa mengalahkan kelezatan castangel-mu,” candaku sambil mengedipkan mata ke arah Mardi. Aku letakkan toples bening bertutup besi perak ke atas meja, “Speculaas, butter cookies khas Belgia,” ujarku, “Keluargaku membawakannya sebagai oleh-oleh karena mereka tahu betapa aku menggemari kue kering ini,” lanjutku sambil tersenyum dan lalu mengambil posisi duduk di sebelah gadis tiga hari lalu itu (aku belum tahu namanya).


“Wow, jauh ya bok!” canda seorang laki-laki yang lalu mengulurkan tangannya padaku, “Hai, gue Julian!” serunya begitu bersemangat. Sebelumnya, aku sempat menyaksikan laki-laki yang necis ini menelanjangiku dari rambut hingga kaki saat aku baru masuk ruangan tersebut. Sepertinya ia orang yang benar-benar memerhatikan penampilan semua orang pada pertemuan pertama. Aku balik mengulurkan tangan dan tertawa kecil menanggapi semangatnya yang ceria untuk berkenalan dengan para orang asing di ruangan itu. Lalu berlanjut dengan ketiga perempuan lainnya,


“Saya Kalea,” ialah perempuan berwajah kalem namun tampak selalu senang, terlihat dari raut wajahnya. Satu detik aku bersalaman dan mendengar ia berbicara dengan suara cempreng sopran-nya itu, aku mengarang simpulan sendiri, sepertinya ia jarang dihampiri resah atau mungkin ia adalah tipe orang yang bisa dengan sempurna menyembunyikan keresahannya di depan umum.

“Hai, me Ateira!” ialah perempuan dengan mata besar, berbinar, membuatku tersenyum karena pancaran yang hadir dari kedua bola mata hitam itu. Pembawaannya mungil, namun bukan kecil, entah bagaimana itu. Seolah ringkih dan ingin rasanya aku menggiringnya ketika menyeberang karena aku takut ia tertabrak. Tapi ada optimisme yang tinggi dalam intonasi ia berbicara.

“Kahlua,” ujar gadis-tiga-hari-yang-lalu (setidaknya kini aku sudah tahu namanya), “Dan saya yang membangunkanmu ketika tidur di mobil tiga hari lalu,” lanjutnya lalu tertawa. Aku tertawa mendengar perkenalannya, “Ya, ya! Hari yang tolol,” kataku, “Ah, kau sempat memerhatikanku dari kejauhan dan jujur saja, aku merasa takut. Seperti diintimidasi, dan, maaf,” aku mencipta jeda, “hampir saja kupikir kau lesbi!” kataku berhati-hati. Kahlua tergelak lepas sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan, “Hahahahahaa! Alhamdulilah ternyata saya menarik di mata wanita,” ujarnya. Mereka, yang lain, tertawa mendengar perbincangan kami, tawa yang renyah, tawa yang lepas, ini luar biasa.


**


Kami berenam larut dalam obrolan yang terasa tidak habis, mengingat pertemuan ini merupakan kali pertama kami semua bertemu sebagai tetangga satu lantai. Semua hal seolah mengalir begitu saja untuk dipreteli, mulai dari kesukaan masing-masing, pekerjaan, latar pendidikan, jenis kue kering apa saja yang kami bawa, dan omong kosong lainnya. Herannya, segala omong kosong yang kami bicarakan terasa sungguh menyenangkan! Sambil mencicipi kue kering yang dibawa masing-masing, kami terus berbicara mengenai banyak hal dan satu hal yang tiba-tiba mengaliri pembuluh darahku: rasa luar biasa.

Ini luar biasa, batinku tanpa ingin mengatakan mengapa pada detik itu.


Pukul 20.30 bel pintu kamar 1502 berbunyi.

“Ah, aku rasa ini pasti Elora!” ujarku. Mardi melompati sofa dan bergegas membukakan pintu. Ateira bertanya padaku, “Sudah berapa lama kau kenal dengan Elora?” Aku menengadah sesaat, “Kalau dihitung berarti sudah hampir 10 tahun,” jawabku, “Kami teman kuliah,” lanjutku. Tak lama sosok mungil yang tampak lelah itu menyusul mendekat i sofa, ia histeris melihatku dan langsung memelukku,


“Aaaaa, lama tak jumpa!” serunya. Tak lama ia melambaikan tangan ke arah penghuni lainnya, “Hai semua! Saya Elora, biasa dipanggil Ori dari nama tengah saya Oriana!” serunya antusias.


Julian, si laki-laki necis itu langsung menyambar semua suara di ruangan dengan teriakannya, “Tunggu!!! Gue mau inget-inget nama!” Ia terdiam, lambaian tangannya yang bergerak seperti sedang mengusir kucing di dapur berganti dengan telunjuknya yang menunjuk masing-masing manusia di ruangan itu,


“Mardi…Ateira…Kalea…hmmmm Virgin Kahlua,” Kahlua kembali mengeluarkan gerakan khasnya ketika tertawa, kepala dilempar ke belakang sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan,

“Trusss… Kyna, dan, Ora et Labora, eeehhhh… Laura Halimah, ehhhh.. sapa sih lo? Oooh Elora Oriana!” ujarnya, seru sendiri. Satu ruangan gaduh dengan tawa tujuh manusia yang mencipta ceria di akhir minggu nista. Ya, nista bagiku, tak lain karena jalan raya yang menggila dengan lalu lintasnya.


Kembali, Mardi mengeluarkan sinyal-sinyal ‘keluarkan-kue-yang-harus-mengalahkan-kelezatan-castangelku’ dengan raut wajah dan matanya yang mendelik ke meja tengah, “Kue…kueee….” Teriaknya menirukan penjual tahu atau sate di pinggir jalan diikuti dengan Elora yang mengeluarkan kue kering dan meletakkannya di meja.


**


Suara-suara itu melebur menjadi redam. Aku larut dalam lelah dan keasyikanku menelaah kelima teman baruku. Sambil menatapi wajah mereka satu persatu, sambil mendengar celoteh berisik namun riang dari enam pasang bibir itu, aku khusyuk menghikmati malam minggu ini. Ini luar biasa, kembali aku membatin.


Hari ini diawali dengan latihan menari yang melelahkan selama enam jam. Diselingi makan siang dan mencari bahan untuk kostum tampil kami nanti di Pasar Baru, kembali latihan hingga pukul lima sore dan aku langsung melesat ke rumah Om Joko dan Tante Nyla untuk menepati janji mengunjungi mereka sekalian mengambil oleh-oleh kue kering. Setengah jam aku habiskan di rumah asri bak villa itu lalu langsung melaju menuju apartemen ini, memenuhi undangan si 1502 alias Mardi Wisesa, terjebak macet setan ala Bandung di akhir pekan, satu setengah jam aku butuhkan untuk tiba. Lelah, beradu dengan fisik dan emosi Mas Raka dan personil Wandanyata ketika latihan menari, lelah bertarung dengan pengguna jalan raya yang memancing sumpah serapah dan lelah berapi dalam makian atas kondisi jalan raya Bandung yang berujung mengumpat si pemerintah kota.


Semuanya menggariskan satu hal dalam batinku, bahwa manusia tak ada yang peduli lagi dengan sesama, bahwa tawa tak bisa lagi digiring bersama, bahwa ketenangan batin tak mampu lagi ditemui ketika manusia satu bertemu dengan manusia lainnya. Lelah untuk menerima bahwa dunia ini sudah sinting! Gerah untuk menyadari bahwa manusia hanya punya satu yang tersisa dalam kehidupan sosial: ego alias ingin menang sendiri alias individualisme berlebih. Baiklah, jadi tiga yang tersisa.

Tapi malam ini, di ruangan ini, bersama orang-orang baru ini, aku tenang. Penat tak membebat dan aku merasa ini luar biasa, bahwa ketentraman bisa tercipta dalam ruang kecil yang tak padat dengan hiburan, tapi pada dasarnya, manusialah yang menghibur. Manusialah keajaiban karena mampu mengharmonisasikan dayanya bersama, dalam kebersamaan. Aku lega, selamat datang penghuni lantai 15, aku rasa kalian akan mengukir cerita baru dalam hidupku.

Dan aku hanya ingat gelap, dalam lelap.

***


Avara Kyna

#1504

image via deliciousmagazine


7/13/10

Tenang Ning di Sekalang Hening

seperti Krisdayanti, aku menghitung hari berlari menuju akhir minggu. cemas berkemas, gelisah berkemah di dalam diri. mendistraksi hati, mengacak-acak otak. lalu bertanya, akan menjadi seburuk apa akhir pekanku. rasa cemas ini menggiringku pada kenanganku dalam gembala Ning, gadis pertama, dan satu-satunya dalam hidupku. yang tiba-tiba membiarkanku pergi, membiarkanku terbunuh sepi.

*

ku duduk di bangku kayu sebuah taman tak jauh dari apartemenku, tas selendang masih menggelayut di bahuku, celana jeans abu-abu, kemeja berkerah, roti yang sedang kukunyah, juga rasa cemas ini. rasa cemas yang hampir sama ketika beberapa tahun lalu mengikuti ujian SPMB, mungkn yang kurang hanya alas kertas dan pensil 2B..

demi Ning kuluruhkan ego eksakta demi membuntutinya meminati sastra. Bening Telaga jernih namanya, rupanya jua sebening telaga yang menjadi kaca saat ku menunduk di tenangnya. ketikanya tersenyum, dua ekor ikan mas jingga menarik dua mulutnya. matanya memantulkan kembar bulan yang membuat dua ekor serigala melolong pada cuping-cuping telinganya. gelombang hitam rambut panjangnya adalah tenang telaga yang dalam. dan oh, bulu hidungnya, ...ah Ning, sudah berapa kali kupinta kau untuk mencukur semak yang mengganggu bening telagamu.

bagiku Ning adalah sastra dan sastra adalah Ning. meski sementara Ning menganggap dirinya sendiri sebagai kolam, seperti apa yang dalam lirisisme Sapardi Djoko Darmono digambarkan sebagai kontemplasi manusia yang tidak pernah akan ada habisnya. tentang Sapardi, ketika aku baru mempelajarinya di salah satu mata kuliah semester kedua, Ning sudah khatam semua bukunya semasa SMA.

jika hidup kami ibarat maraton kata, maka Ning berlari terlalu pagi, sementara aku kesiangan mempelajari sastra. terik membuat Ning berhenti berlari, minatnya terhadap sastra menurun sejak Ning tak menghadiri perayaan kelulusan di mana kepala sekolah dan beberapa guru senior mengalungkan medali pada beberapa siswa yang berprestasi, salah satunya harusnya Ning. tapi Ning lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-teman diskusinya membicarakan Marx.

maka aku hanya setengah kaget ketika Ning tidak memilih sastra untuk melanjutkan jenjang studinya di perguruan tinggi, ia lebih memilih masuk Akademi Keperawatan di Yogyakarta. katanya biar mudah dan bisa banyak menyisihkan waktu untuk berdiskusi, “lagipula cepat lulusnya!” pungkasnya.

setelah itu kami memutuskan untuk tidak lagi bersama, tapi bukan karena aku tak suka keputusannya menjadi perawat, karena entah apa cita-citanya saat itu. yang jelas ada beberapa hal yang tidak bisa aku pahami lagi dalam diri Ning. dunia kami telah sama sekali berbeda. ketika aku baru satu kaki melangkah memasuki dunianya, justru pak pos mengantarkan surat kelulusanku di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

masih Ning yang membantu mengemasi barang-barang dan mengantarku ke stasiun. masih Ning yang meyakinkanku bahwa sastra adalah masa depanku. masih Ning yang melandaskan kecupan selamat tinggal tepat di keningku. tapi bukan lagi Ning yang hendak kumasuki dunianya.

di kereta semakin ke utara aku mengejar sastra, aku mengenang Ning dalam hening. ia tak tahu dan mungkin tak peduli kalau naskah asli kumpulan puisinya ‘Tuhan Ada dan Berjelaga’ kubawa serta ke Jakarta. ada getir dalam getar-getar kereta ketika kubuka bagian paling menarik dalam buku yang menjadi kelak tak hanya menjadi introduksiku dalam dunia sastra. empat larik yang tak akan pernah kulupa dalam hidupku, karena paling tidak aku membacanya setiap hari karena kucat besar-besar di dinding kamar apartemen baruku.

Tuhan ada dan berjelaga.
saat kau lesap, Tuhan menyerap dalam kaca.
saat kau retak, Tuhan menguap ke udara.
tak terhingga, kecuali kau harus mati bersamanya.

sekali lagi, bila Ning tetap menjadi sastra, maka buku ini menjadi gaunnya yang terindah. yang mengusir dinginku ketika harus tidur di sela mushola dalam beberapa hari pertama ku tiba di Jakarta. yang meredakan amarahku jika mengingat betapa mengesalkannya kota. yang memeluk hatiku dalam redam getarnya. yang menyeka bulir-bulir air mataku ketika aku merindukan Ning yang tak lagi menjadi sastra.

*

dua bulan yang lalu kudengar kabar bahwa Ning, sudah tak ada lagi. menjadi martir sebuah organisasi pergerakan kiri. aku menangis tanpa henti, harusnya kucegah sejak dulu ia dari segala macam ‘diskusi’, kalau hanya akan mencuci otaknya dan membuatnya mati tak berarti.

berita ini kudapat tepat ketika seorang perusahaan penerbitan di Bandung menyetujui untuk mengembangkan naskah yang kukirimkan, dan memberikan kontrak sebanyak dua buah buku fiksi yang harus diselesaikan dalam waktu delapan bulan. maka untuk mempermudah urusan penerbitan sekaligus mencari inspirasi untuk pengeksekusian, aku memutuskan untuk pindah ke Bandung.

dan Ning, seharusnya kini kau tahu bila kau bisa melacakku. aku pergi dari Yogya karenamu, empat tahun di Jakarta karenamu, dan pindah ke Bandung pun karenamu. karena Ning, akan kuabadikan kau dalam tiap kata yang merangkai cetak kisahku. karena Ning, di sanalah seharusnya kau bersemayam.

*

maka malam minggu ini akan kuakhiri ‘Ning’ dengan pesta kue. juga kuakhiri kesepian dan ketakutanku hidup tanpa asa Ning. selamat tinggal Ning, selamat datang enam kali rasa cemas, mungkin enam kali lebih menegangkan daripada ketika pertama kali aku berkenalan dengan Ning. selamat datang semuanya, selamat membuatku cemas. mungkin buku keduaku akan berjudul ‘Lantai Lima Belas’, aku hanya punya enam bulan lagi, maka itu aku perlu segera bergegas.

Mardi Wisesa

Thanksgiving

via ache


Tittt..

One message received

“Pak Julian, saya Yara dari Damion Agency. Saya ingin mengabarkan, semua dokumen Anda sudah di-approved. Semua telah kami siapkan sehingga bulan depan Anda siap berangkat. Mohon untuk konfirmasi secepatnya. Terimakasih.”

Saya duduk lemas di sofa panjang ini. Sofa tidak empuk dan ketinggalan jaman. Sofa warisan dari ayah yang telah saya reparasi sehingga paling tidak agak cocok dengan perabotan lain di ruangan ini. Badan ini tidak capek, hanya batin saja yang sepertinya tengah memberontak minta perhatian. Saya terengah-engah dibuatnya. Entah, beberapa hari ini, saya selalu dihantui perasaan bersalah. Bersalah karena telah mengkhianati dia.

Saya adalah anak tertua dari 4 bersaudara. Keluarga saya semua tinggal di Amsterdam, Belanda. Ayah saya orang Sunda asli, sedangkan ibu adalah perempuan keturunan campuran Belanda Cina. Mata sipit, hidung mancung dan badan tegap ini pastilah turunan dari darah ibu. Keras kepala, suka hura-hura dan menghabiskan uang adalah turunan dari sifat ayah. Bukan sifat orang Sunda, sekali lagi saya tekankan, ini sifat ayah saya. Dulu dia gemar main judi dan ‘jajan’ di Red Light District. Tapi satu hal yang saya pegang teguh dari dirinya, dia adalah seorang pekerja keras dan mencintai keluarganya. Seburuk apapun dia di luar, dia selalu menyisihkan waktu untuk sekedar mengajak saya dan saudara-saudara saya mengunjungi Dam Square, atau sekedar naik tram sightseeing menyusuri kota di saat weekend. Amsterdam memiliki 18 jalur tram yang tersebar ke segala penjuru kota. Saat kecil, saya selalu merengek hanya untuk terdiam di depan kincir angin. Memandanginya berputar dengan lembut seakan memberikan sebuah kesegaran yang tiada tara. Ya, Belanda memang identik dengan kincir anginnya, namun Amsterdam sebenarnya bukanlah tempat yang tepat untuk melihat kincir angin. Kota Eindhoven adalah tempat yang lebih tepat. Jika ayah punya waktu, kita biasanya suka ke Molen Van Sloten windmill, sedikit jauh memang. Lokasinya bisa dicapai dengan naik tram no.2 hingga stasiun terakhir, lalu dilanjutkan jalan kaki sekitar 15 menit. Kincir angin ini lebih berfungsi sebagai aksesoris karena tidak ada angin yang cukup kencang di tengah kota Amsterdam. Entah kenapa saya tega berbuat demikian buruk padanya. Ayah sudah meninggal karena radang otak 5 tahun yang lalu. Ibu saya sedang menikmati kebahagiaan masa tuanya di sana, ditemani ketiga saudara saya yang lain. Hmm kebiasaan saya untuk sarapan bir dimulai setelah ayah wafat. Minuman terakhir yang dia tenggak adalah sekaleng bir Bintang yang saya bawakan dari Indonesia. Mungkin dia rindu akan kampung halamannya.

***

Drettt drettt

Seketika saya terjaga dari lamunan. Suara getar handphone mengagetkan. Sialan.

Wanneer kom je thuis? Moeder je mist.

(Kapan kamu pulang? Mama kangen kamu.)

Pesan singkat dari Pavel Orloff Sastradinata, adik saya yang paling bungsu. Saya menghela nafas. Sudah 5 tahun sejak ayah meninggal, saya belum pernah lagi menginjakkan kaki di Belanda. Ternyata ada juga kata ‘kangen’ di kamus saya. Terbayang betapa marahnya saya saat menutup pintu rumah dengan kasar, bermaksud dengan segala keteguhan hati untuk meninggalkan semua memori di Belanda dan hijrah ke Indonesia hanya bermodalkan nyali. Dasar labil..

Gewoon wachten, zal ik zeker komen. Ik ga naar Parijs volgende maand voor de modeshow. Ik zal voor een tijd van komen naar Amsterdam.

(Tunggu saja, saya pasti akan datang. Saya pergi ke Paris bulan depan untuk peragaan busana. Saya akan sempatkan untuk datang ke Amsterdam.)

Tuttt..

Delivered

Saya letakkan handphone di meja kaca. Tangan saya menyenggol toples castangel yang tadi siang saya dapati di depan pintu kamar. Ahhh dari Si Mardi Wisesa. Sosok aneh sok kenal dari kamar 1502. Hmm, jam 5 sore, saat yang tepat untuk menikmati kue kering dengan secangkir teh manis hangat. Apalagi cuaca Bandung sedang sangat mendukung untuk leha-leha. Jarang sekali saya bisa pulang sore seperti ini. Pemotretan tadi siang berlangsung cepat. Mungkin karena mood saya yang tergenjot karena mendapat notifikasi sms banking. Tabungan saya bertambah satu digit. Senyum..

Saya berjalan ke dapur. Menyiapkan teh manis hangat, lalu kembali ke ruang tv sembari mampir ke jendela untuk menyibakkan korden agar saya bisa melihat sunset dengan lebih jelas.

Kress..

Renyah sekali castangel ini. Oleh-oleh kiriman dari adik saya saat Natal dulu kalah jauh dari ini. Kejunya gurih, crunchy dan tidak membuat eneg. After taste-nya juga tidak membuat mulut terasa asam.

Aku ambil secarik kertas dan sebuah pulpen di samping tv.

Terimakasih atas castengelnya. Sangat enak. Beli dimana? Anyway, apakah ada dresscode untuk makan malam hari Jumat? Jika ada waktu, silahkan mampir ke kamar saya.

Best regards, kamar 1500

Saya sisipkan kertas ini di bawah pintu kamar 1502. Setidaknya sebagai rasa terimakasih saya karena telah diberikan kue kering yang sangat lezat. Mungkin tidak ada salahnya jika saya datang hari Jumat nanti. Yaaa hitung-hitung untuk melepas penat saat weekend dan menghilangkan bayangan buruk masa lalu. See you Mardi Wisesa!

Julian Sastradinata