One message received
“Pak Julian, saya Yara dari Damion Agency. Saya ingin mengabarkan, semua dokumen Anda sudah di-approved. Semua telah kami siapkan sehingga bulan depan Anda siap berangkat. Mohon untuk konfirmasi secepatnya. Terimakasih.”
Saya duduk lemas di sofa panjang ini. Sofa tidak empuk dan ketinggalan jaman. Sofa warisan dari ayah yang telah saya reparasi sehingga paling tidak agak cocok dengan perabotan lain di ruangan ini. Badan ini tidak capek, hanya batin saja yang sepertinya tengah memberontak minta perhatian. Saya terengah-engah dibuatnya. Entah, beberapa hari ini, saya selalu dihantui perasaan bersalah. Bersalah karena telah mengkhianati dia.
Saya adalah anak tertua dari 4 bersaudara. Keluarga saya semua tinggal di Amsterdam, Belanda. Ayah saya orang Sunda asli, sedangkan ibu adalah perempuan keturunan campuran Belanda Cina. Mata sipit, hidung mancung dan badan tegap ini pastilah turunan dari darah ibu. Keras kepala, suka hura-hura dan menghabiskan uang adalah turunan dari sifat ayah. Bukan sifat orang Sunda, sekali lagi saya tekankan, ini sifat ayah saya. Dulu dia gemar main judi dan ‘jajan’ di Red Light District. Tapi satu hal yang saya pegang teguh dari dirinya, dia adalah seorang pekerja keras dan mencintai keluarganya. Seburuk apapun dia di luar, dia selalu menyisihkan waktu untuk sekedar mengajak saya dan saudara-saudara saya mengunjungi Dam Square, atau sekedar naik tram sightseeing menyusuri kota di saat weekend. Amsterdam memiliki 18 jalur tram yang tersebar ke segala penjuru kota. Saat kecil, saya selalu merengek hanya untuk terdiam di depan kincir angin. Memandanginya berputar dengan lembut seakan memberikan sebuah kesegaran yang tiada tara. Ya, Belanda memang identik dengan kincir anginnya, namun Amsterdam sebenarnya bukanlah tempat yang tepat untuk melihat kincir angin. Kota Eindhoven adalah tempat yang lebih tepat. Jika ayah punya waktu, kita biasanya suka ke Molen Van Sloten windmill, sedikit jauh memang. Lokasinya bisa dicapai dengan naik tram no.2 hingga stasiun terakhir, lalu dilanjutkan jalan kaki sekitar 15 menit. Kincir angin ini lebih berfungsi sebagai aksesoris karena tidak ada angin yang cukup kencang di tengah kota Amsterdam. Entah kenapa saya tega berbuat demikian buruk padanya. Ayah sudah meninggal karena radang otak 5 tahun yang lalu. Ibu saya sedang menikmati kebahagiaan masa tuanya di sana, ditemani ketiga saudara saya yang lain. Hmm kebiasaan saya untuk sarapan bir dimulai setelah ayah wafat. Minuman terakhir yang dia tenggak adalah sekaleng bir Bintang yang saya bawakan dari Indonesia. Mungkin dia rindu akan kampung halamannya.
***
Drettt drettt
Seketika saya terjaga dari lamunan. Suara getar handphone mengagetkan. Sialan.
Wanneer kom je thuis? Moeder je mist.
(Kapan kamu pulang? Mama kangen kamu.)
Pesan singkat dari Pavel Orloff Sastradinata, adik saya yang paling bungsu. Saya menghela nafas. Sudah 5 tahun sejak ayah meninggal, saya belum pernah lagi menginjakkan kaki di Belanda. Ternyata ada juga kata ‘kangen’ di kamus saya. Terbayang betapa marahnya saya saat menutup pintu rumah dengan kasar, bermaksud dengan segala keteguhan hati untuk meninggalkan semua memori di Belanda dan hijrah ke Indonesia hanya bermodalkan nyali. Dasar labil..
Gewoon wachten, zal ik zeker komen. Ik ga naar Parijs volgende maand voor de modeshow. Ik zal voor een tijd van komen naar Amsterdam.
(Tunggu saja, saya pasti akan datang. Saya pergi ke Paris bulan depan untuk peragaan busana. Saya akan sempatkan untuk datang ke Amsterdam.)
Tuttt..
Delivered
Saya letakkan handphone di meja kaca. Tangan saya menyenggol toples castangel yang tadi siang saya dapati di depan pintu kamar. Ahhh dari Si Mardi Wisesa. Sosok aneh sok kenal dari kamar 1502. Hmm, jam 5 sore, saat yang tepat untuk menikmati kue kering dengan secangkir teh manis hangat. Apalagi cuaca Bandung sedang sangat mendukung untuk leha-leha. Jarang sekali saya bisa pulang sore seperti ini. Pemotretan tadi siang berlangsung cepat. Mungkin karena mood saya yang tergenjot karena mendapat notifikasi sms banking. Tabungan saya bertambah satu digit. Senyum..
Saya berjalan ke dapur. Menyiapkan teh manis hangat, lalu kembali ke ruang tv sembari mampir ke jendela untuk menyibakkan korden agar saya bisa melihat sunset dengan lebih jelas.
Kress..
Renyah sekali castangel ini. Oleh-oleh kiriman dari adik saya saat Natal dulu kalah jauh dari ini. Kejunya gurih, crunchy dan tidak membuat eneg. After taste-nya juga tidak membuat mulut terasa asam.
Aku ambil secarik kertas dan sebuah pulpen di samping tv.
Terimakasih atas castengelnya. Sangat enak. Beli dimana? Anyway, apakah ada dresscode untuk makan malam hari Jumat? Jika ada waktu, silahkan mampir ke kamar saya.
Best regards, kamar 1500
Saya sisipkan kertas ini di bawah pintu kamar 1502. Setidaknya sebagai rasa terimakasih saya karena telah diberikan kue kering yang sangat lezat. Mungkin tidak ada salahnya jika saya datang hari Jumat nanti. Yaaa hitung-hitung untuk melepas penat saat weekend dan menghilangkan bayangan buruk masa lalu. See you Mardi Wisesa!
Julian Sastradinata
No comments:
Post a Comment