In This Story: Mardi Wisesa
Masih ada jeda waktu beberapa saat menjelang undangan makan malam yang diberikan oleh sang 1502. Dan sejak kutemukan setoples kue kering darinya di depan kamarku, aku masih saja bertanya-tanya, bagaimana ia? Adakah ia orang yang baik dan ramah? Atau ia akan mengundangku makan dan kemudian membunuhku, seperti psikopat di film-film yang kutonton? Ah, mana mungkin di apartemen seperti ini ada psikopat.
Setelah membersihkan diriku dengan air hangat yang disediakan apartemen ini, aku segera bersiap. Aku akan mencari apa yang layak dibawa untuk pertemuan nanti. Aku, sesungguhnya, tidak sabar untuk bertemunya, sang pemilik kamar 1502. Bagaimana ya suasana makan malam nanti? Apakah hanya aku yang diundang dan kita akan beradu gelas champagne dengan menyesap keasaman dari anggur yang telah difermentasikan ditemani lilin-lilin yang menyala romantis? Atau akan ada kegaduhan karena seisi apartemen ini diundang? Apapun, tak masalah. Aku inginkan teman baru di lingkungan yang baru ini.
“Yang penting, kamu bisa keluar dari comfort zone, membuat comfort zone baru, atau sekedar meluaskan comfort zone dari yang selama ini ada,” begitu ujar seorang pemateri di kampusku dahulu.
Kata-kata itu masih sering terngiang di telingaku hingga kini. Hingga lima tahun terlewat setelah aku mendengar kalimat itu pertama kalinya. Itulah yang kujadikan patokan selama ini. Aku selalu melangkah dan terus melangkah pergi kesana-kemari. Entah pula itu suatu bentuk eskapisme dari kenangan-kenangan yang tak ingin kukenang. Atau memang aku pembosan yang mudah kehilangan hati pada segala sesuatu. Tapi sudah bertahun-tahun ini aku belum kehilangan hati padanya.
Maka, makan malam di penghujung minggu ini, semoga akan menjadi hal pertama yang menyenangkan selepas aku memutuskan pindah ke apartemen ini dua minggu yang lalu. Dan pikiran-pikiran tidak penting atas apa yang terjadi malam lalu di kafe itu bisa terhempaskan secepat-cepatnya.
Setelah berkaca selama setengah jam dan berganti beberapa baju, aku putuskan untuk segera mencari buah tangan untuk prosesi makan malam itu. Sehelai syal melingkari leherku, cuaca Bandung sekarang sedang tidak mudah ditebak. Siang hari panas menggigit kulit hingga pedih, sedangkan malam hari dingin hingga ke tulang.
***
Secara refleks, aku melangkahkan kakiku ke café langgananku. Dan secara refleks pula, seperti dihipnotis, aku memesan es cokelat. Seperti biasa, seperti biasa ketika aku bertemu ia di sini. Seperti biasa, seperti biasa ketika aku bertukar pengalaman dengannya hingga lupa waktu. Seperti biasa. Yang kuyakin menjadi tidak lagi biasa setelah peristiwa lusa kemarin. Memikirkan hal itu, es cokelat yang biasanya manis, pahit, dan creamy, menjadi tidak berasa apapun. Es cokelat ini pun tidak seperti biasa.
Kutinggalkan es cokelat yang masih setengahnya itu begitu saja. Baru kali ini aku menyesal mengangsurkan uang dua puluh ribuan pada penjaga kasir karena es cokelat yang kupesan tadi. Pikiranku langsung sibuk mencari café mana yang juga menyediakan es cokelat ciamik selain café ini. Selain café yang biasa kudatangi dengan dia. Ah, mungkin penghuni 1502 tahu, mengingat ia bisa menemukan caastangel yang rasanya luar biasa.
***
Toko kue yang kudatangi ini adalah toko kue juara satu, versi ibuku. Sebelum ia berpindah ke kampung halamannya, ia sering mengajakku ke toko ini. Ketika aku sedang tidak ada di rumah, ibu akan pergi sendirian dan membeli beberapa kue untuk kukudap ketika aku datang nanti. Sekarang sudah tidak ada ibu, ia memutuskan menjual rumahnya di sini dan pindah ke kampung halamannya yang seperti musim kemarau sepanjang tahun.
Kupilih kue kesukaanku, kue lidah kucing. Ada-ada saja makanan yang dibuat orang Belanda ini, pikirku, tapi rasanya memang enak. Semoga aku tidak tergoda untuk menghabiskannya sendirian di kamar. Ini untuk perjamuan makan malam nanti. Ini untuk bakal calon teman-temanku, siapa tahu dengan mereka akan ada yang berubah. Yang tidak seperti biasa.
Beruntung sore ini belum hujan, aku menikmati berjalan di trotoar jalan ini. Salah satu trotoar yang berukuran lebar dan masih digunakan sesuai fungsinya di Bandung ini. Salah satu dari sedikit trotoar yang berukuran lebar dan masih digunakan sesuai fungsinya di Bandung ini, kukoreksi kalimatku.
Daaaaaarrrrr.. kue kesukaanku terhempas ke lantai trotoar. Remuk.
Dan juga aku. Ada yang menabrak kakiku hingga aku kehilangan keseimbangan. Tumbukkan yang cukup keras hingga sakitnya membuatku mengerang. Ini dia yang tidak seperti biasa. Baru kali ini aku ditabrak motor di trotoar yang lebar dan masih digunakan sesuai fungsinya di Bandung ini. Harus kukoreksi pula rupanya kalimatku tadi.
Masih beruntung orang yang menabrakku mau bertanggung jawab, mengantarkanku ke rumah sakit terdekat. Itupun setelah didesak oleh orang-orang yang melihat kejadian itu. Biarlah.
Harus kubeli lagi kue lidah kucing juara satu itu. Harus. Untuk menjadikan segalanya tidak seperti biasa. Aku pun harus segera sembuh agar bisa bertemu dengan penghuni 1502. Agar aku selanjutnya bisa mendapati yang tidak biasa itu. Atau pertemuan itu tidak akan terjadi untukku? Dokter, aku bergantung padamu sekarang.
Bandung, le 11 Juillet 2010.
dokter. sembuhkan kalea segera.
ReplyDeletemalam minggu ini kami akan bersenang-senang :)
oh kalea, anggap kau sudah sembuh. gw lupa deskripsiin bodimu ahahahaa
ReplyDelete