7/6/10

L'appartemant 1503

Alarm tubuhku terlampau konsisten bekerja di setiap paginya. Aku tak perlu alarm handphone atau sejenisnya untuk terbangun. Ini warisan dari nenekku tercinta. Dulu, ketika aku masih bocah ingusan, ketika payudaraku belum tumbuh, ketika aku belum merasakan sakitnya datang bulan dan dahsyatnya PMS nenekku selalu bawel dengan aturan-aturan yang buatku terkesan kaku, tak mengenal alasan apapun, tapi justru hasilnya kunikmati kini.

“tong dibiasakeun nyungkeun digeuingkeun ku batur, janten istri mah keudah telaten. Jaman baheula mah teu aya weker komo deui henpon, tinggali emak, tara pernah ngangge alarm unggal dinten oge, da mun tos biasa mah awak oge apal iraha kudu hudang iraha kudu peureum”

(jangan dibiasakann minta dibangunkan oleh orang lain, jadi perempuan itu harus telaten. Jaman dulu gak ada weker apalagi handphone. Liat nenek, gak pernah pakai alarm tiap hari. Kalau sudah biasa, tubuh mengetahui kapan harus bangun dan kapan harus tidur)

Begitu kira-kira salah satu petuah nenek. Hasilnya ya seperti sekarang, minggu pagi yang harusnya bisa aku jadikan alasan untuk menggulung tubuh dalam selimut tetap tak membuat alarm tubuhku berhenti bekerja. Tanpa melihat jam aku tahu sekarang jam menunujukan pukul 05 pagi. Ya, matahari belum muncul memang, tapi akupun tak memiliki alasan untuk tetap tertidur atau sekedar bermalas-malasan di atas kasur. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan.

Anggap saja bergantinya hari adalah reinkarnasi, bangun adalah lahir, dan terpejam lalu terlelap adalah mati. Mati tanpa harus merasa takut, karena esok saat matahari muncul dengan malu-malu maka aku terlahir kembali. Terlahir kembali untuk melanjutkan tujuan jiwa yang sama. Manusia takut mati. Ya, siapa yang tak takut mati. Tapi jiwa tak pernah mati bahkan ketika raga sudah menjadi bangkai sekalipun. Maka tak ada alasan bagiku untuk membuang hari.

Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, setelah tuntas melaksanakan ritual di kamar mandi aku duduk berkaca di meja riasku. Mengeringkan rambutku yang kini kupangkas hingga bahu (ya,aku baru saja memutuskan mengubah penampilanku, menciptakan energi baru setelah beberapa kejadian berat yang aku lalui, bukan untung buang sial, aku hanya ingin merasa baru, ahh sudahlah tak perlu dibahas, perempuan punya banyak alasan untuk merubah caranya mensyukuri tubuh yang telah diberikan tuhan). kunyalakan komputerku, ada beberapa email masuk dan offline messages di akun instant messangingku. Email pertama datang dari kakakku.
ra.. semua memang sudah lewat, tapi aa tahu kamu masih merasa abu-abu. Ingat, tak semua hal bisa kita pilah menjadi hitam dan putih. Ada beberapa hal yang akan lebih baik jika kita biarkan menjadi abu-abu
Aku tekan tombol reply, dan mulai merangkai beberapa kata..
nuhun a, iya memang. Bahkan mungkin justru kaca mata kita yang sebenarnya abu-abu, bukan apa yang kita lihat yang abu-abu
Beberapa email lainnya hanya sekedar pesan yang berhubungan dengan pekerjaan. Tidak terlalu menarik perhatianku pagi ini. Ah, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 07.30 pagi. Dan aku masih memikirkan email dari aa. Benarkah begitu? Benarkah aku harus membiarkan hal ini tetap abu-abu? Ahh, sudahlah.

Matahari sudah muncul, kali ini tanpa malu-malu, karena cahaya pagi ini sungguh terang. Seperti menyuruhku bergegas beraktifitas. Sudah beberapa hari lantai ini sepi. Memang, apartemen ini tidak begitu besar, kamar yang ada tak sebanyak apartemen di kota jakarta. tapi di lantai 15 apartemen ini aku tumbuh dewasa. Bukan dari ukuran angka, tapi dari segi jiwa. Musim liburan membuat beberapa penghuni lantai ini memilih untuk berlibur. Ahh, baru beberapa hari tak bercengerama rasanya aku rindu pada mereka semua. Bukan rindu yang baru akan hilang setelah saling bertemu lalu berpelukan riang dan saling melempar senyum gembira. Bukan rindu seperti itu, tapi rindu yang nikmat. seperti rindu pada gemericik air. Tak perlu banyak gesture untuk menunjukan rindu yang telah terlampiaskan. Cukup dengan hati. Karena hati bisa melihat,mendengar dan berbicara.

Setelah sarapan, merapikan ruangan dan membaca beberapa bahan presentasi untuk besok tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi , aku memutuskan untuk keluar. Mengambil beberapa pakain yang aku laundry di lantai bawah. Semoga saja aku bertemu dengan meraka di lorong sana, batinku. Baru saja pintu terbuka, aku melihat pantulan cahaya dari lantai tepat didepan pintu kamarku. Cahaya matahari yang terpantul pada benda terbuat dari kaca. Kubuka pintu lebih lebar, kudapati sebuah toples dan selembar amplop.




ahh... ternyata bukan hanya aku yang menelan rindu ini. Tapi kami, kita semua merasakannya. Ada banyak cara untuk menuntaskan rindu. Tak selalu harus dengan langsung bertemu. Jika hati masih ragu, maka biarkan rindu membelenggu, karena ragu akan tuntas dengan waktu, dan tentu saja, waktu tak pernah semu.


Elora oriana dalilah
L'appartemant 1503

No comments:

Post a Comment