7/20/10

Malam Pertama


Pukul 19.45,

Derap kaki semakin cepat, tap tap tap taptaptaptaptap.

Tergesa dan memaksa untuk segera sampai satu detik setelah ini. Ah, belum juga! Lift terbuka, seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun keluar tanpa menyapa, karena memang kami tidak saling mengenal dan basa-basi tentunya hal yang sungguh tidak dianut oleh masyarakat jaman sekarang.

Tring, sampai sudah. Sebelum keluar dari lift aku mengintip sekilas penampilanku di pantulan dinding lift yang buram. Baiklah, tidak sempat lagi untuk berbenah, lebih baik aku langsung saja, batinku.

Lampu tempel bercahaya kuning di sisi-sisi dinding mengisyaratkan sunyinya lorong ini. Aku menengokkan kepala sedikit ke celah pintu di kamar yang masih 100 meter di depan, tak bisa lihat apa-apa. Cess… sebatang rokok aku nyalakan, sedari tadi di jalan aku belum menghisap sebatangpun. Tangan kanan dan kiri penuh dengan bawaan, sebenarnya hanya dua, satu tas jinjing kulit hitam yang berat dengan pakaian ganti, satu lagi berbunyi kresek-kresek berisik karena memang yang aku jinjing adalah kantung plastik.


1502.

Ting Tong! Aku menekan tombol bel di samping pintu, menunggu tak sampai satu menit dan tampaklah wajahnya, aku duga ia adalah sang pengirim undangan yang aku belum tahu namanya. Rokok masih terjepit di antara bibirku, mataku menyipit karena menghindari asap rokok yang melabuh ke arah mata. Lelaki itu diam sedetik lalu tersenyum, aku langsung menyodorkan tangan kanan yang masih menjinjing kantung plastik kuning pastel sehingga menimbulkan kresek-kresek yang agak mengganggu. Setelah bersalaman aku menjepit batang rokokku dengan tangan kanan, “Kyna.. Avara Kyna, 1504,” ujarku lalu tersenyum.


Ia tersenyum kembali sambil meruangkan jalan agar aku masuk, “Mardi Wisesa, silahkan masuk,” ujarnya.

Aku masuk ke dalam ruang 1502 dan kesan pertamaku adalah bebauan yang mengaromai ruangan itu. Ya, kamar ini jauh berbeda dengan kamarku, sekilas aku melihat beberapa orang sedang duduk di sofa ruang tengah. Sebelum melangkah lebih jauh aku berbalik kepada Mardi dan merasa butuh minta maaf atas keterlambatanku walaupun aku belum tentu datang terakhir malam itu.

“Maaf, aku terlambat lumayan lama,” ujarku cepat, “Yah, hari yang padat dan jalan raya di akhir minggu tak mau kalah saing dengan kesibukan orang-orang,” kilahku cepat tanpa menunggu responnya. Aku berjalan menuju ruang tengah yang ternyata setelah kuhitung sudah ada empat orang lainnya dan tidak ada wajah Ori, Elora Oriana di sana.


Sang tuan rumah berjalan cepat menyusulku dan sebagaimana tuan rumah bertindak seharusnya, ia berseru kepada wajah-wajah yang sedang memerhatikanku, semua dengan raut wajah ramah.

“Kamar 1504 sudah bergabung teman-teman!” serunya diiringi anggukanku yang lalu memperkenalkan diri, “Hai, saya Kyna,” aku melambaikan tangan ke arah mereka. Satu hisapan terakhir lalu aku berjalan menuju asbak yang tampak kinclong di rak sebelah kananku. Entahlah apakah Mardi merokok atau tidak, aku tekan puntung ke dalamnya lalu berjalan mendekati sofa sambil menatap satu per satu wajah-wajah tetanggaku. Ah, ya, satu gadis tersenyum sambil mengangguk ke arahku dan aku ingat gadis itu, ia adalah gadis tiga hari yang lalu, yang memerhatikanku cukup lama lalu membangunkanku dari tidur di mobil 15 menit setelahnya. Aku balik tersenyum sambil mengangguk.


“Berarti jumlah toples akan bertambah satu, benar begitu?” Mardi berujar sambil tersenyum dan mendelikkan matanya ke arah meja. Aku tersadar dan langsung mengangkat kantung plastik yang aku bawa,




“Ah, ya! Tentu saja! Ini kue kering yang aku harap bisa mengalahkan kelezatan castangel-mu,” candaku sambil mengedipkan mata ke arah Mardi. Aku letakkan toples bening bertutup besi perak ke atas meja, “Speculaas, butter cookies khas Belgia,” ujarku, “Keluargaku membawakannya sebagai oleh-oleh karena mereka tahu betapa aku menggemari kue kering ini,” lanjutku sambil tersenyum dan lalu mengambil posisi duduk di sebelah gadis tiga hari lalu itu (aku belum tahu namanya).


“Wow, jauh ya bok!” canda seorang laki-laki yang lalu mengulurkan tangannya padaku, “Hai, gue Julian!” serunya begitu bersemangat. Sebelumnya, aku sempat menyaksikan laki-laki yang necis ini menelanjangiku dari rambut hingga kaki saat aku baru masuk ruangan tersebut. Sepertinya ia orang yang benar-benar memerhatikan penampilan semua orang pada pertemuan pertama. Aku balik mengulurkan tangan dan tertawa kecil menanggapi semangatnya yang ceria untuk berkenalan dengan para orang asing di ruangan itu. Lalu berlanjut dengan ketiga perempuan lainnya,


“Saya Kalea,” ialah perempuan berwajah kalem namun tampak selalu senang, terlihat dari raut wajahnya. Satu detik aku bersalaman dan mendengar ia berbicara dengan suara cempreng sopran-nya itu, aku mengarang simpulan sendiri, sepertinya ia jarang dihampiri resah atau mungkin ia adalah tipe orang yang bisa dengan sempurna menyembunyikan keresahannya di depan umum.

“Hai, me Ateira!” ialah perempuan dengan mata besar, berbinar, membuatku tersenyum karena pancaran yang hadir dari kedua bola mata hitam itu. Pembawaannya mungil, namun bukan kecil, entah bagaimana itu. Seolah ringkih dan ingin rasanya aku menggiringnya ketika menyeberang karena aku takut ia tertabrak. Tapi ada optimisme yang tinggi dalam intonasi ia berbicara.

“Kahlua,” ujar gadis-tiga-hari-yang-lalu (setidaknya kini aku sudah tahu namanya), “Dan saya yang membangunkanmu ketika tidur di mobil tiga hari lalu,” lanjutnya lalu tertawa. Aku tertawa mendengar perkenalannya, “Ya, ya! Hari yang tolol,” kataku, “Ah, kau sempat memerhatikanku dari kejauhan dan jujur saja, aku merasa takut. Seperti diintimidasi, dan, maaf,” aku mencipta jeda, “hampir saja kupikir kau lesbi!” kataku berhati-hati. Kahlua tergelak lepas sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan, “Hahahahahaa! Alhamdulilah ternyata saya menarik di mata wanita,” ujarnya. Mereka, yang lain, tertawa mendengar perbincangan kami, tawa yang renyah, tawa yang lepas, ini luar biasa.


**


Kami berenam larut dalam obrolan yang terasa tidak habis, mengingat pertemuan ini merupakan kali pertama kami semua bertemu sebagai tetangga satu lantai. Semua hal seolah mengalir begitu saja untuk dipreteli, mulai dari kesukaan masing-masing, pekerjaan, latar pendidikan, jenis kue kering apa saja yang kami bawa, dan omong kosong lainnya. Herannya, segala omong kosong yang kami bicarakan terasa sungguh menyenangkan! Sambil mencicipi kue kering yang dibawa masing-masing, kami terus berbicara mengenai banyak hal dan satu hal yang tiba-tiba mengaliri pembuluh darahku: rasa luar biasa.

Ini luar biasa, batinku tanpa ingin mengatakan mengapa pada detik itu.


Pukul 20.30 bel pintu kamar 1502 berbunyi.

“Ah, aku rasa ini pasti Elora!” ujarku. Mardi melompati sofa dan bergegas membukakan pintu. Ateira bertanya padaku, “Sudah berapa lama kau kenal dengan Elora?” Aku menengadah sesaat, “Kalau dihitung berarti sudah hampir 10 tahun,” jawabku, “Kami teman kuliah,” lanjutku. Tak lama sosok mungil yang tampak lelah itu menyusul mendekat i sofa, ia histeris melihatku dan langsung memelukku,


“Aaaaa, lama tak jumpa!” serunya. Tak lama ia melambaikan tangan ke arah penghuni lainnya, “Hai semua! Saya Elora, biasa dipanggil Ori dari nama tengah saya Oriana!” serunya antusias.


Julian, si laki-laki necis itu langsung menyambar semua suara di ruangan dengan teriakannya, “Tunggu!!! Gue mau inget-inget nama!” Ia terdiam, lambaian tangannya yang bergerak seperti sedang mengusir kucing di dapur berganti dengan telunjuknya yang menunjuk masing-masing manusia di ruangan itu,


“Mardi…Ateira…Kalea…hmmmm Virgin Kahlua,” Kahlua kembali mengeluarkan gerakan khasnya ketika tertawa, kepala dilempar ke belakang sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan,

“Trusss… Kyna, dan, Ora et Labora, eeehhhh… Laura Halimah, ehhhh.. sapa sih lo? Oooh Elora Oriana!” ujarnya, seru sendiri. Satu ruangan gaduh dengan tawa tujuh manusia yang mencipta ceria di akhir minggu nista. Ya, nista bagiku, tak lain karena jalan raya yang menggila dengan lalu lintasnya.


Kembali, Mardi mengeluarkan sinyal-sinyal ‘keluarkan-kue-yang-harus-mengalahkan-kelezatan-castangelku’ dengan raut wajah dan matanya yang mendelik ke meja tengah, “Kue…kueee….” Teriaknya menirukan penjual tahu atau sate di pinggir jalan diikuti dengan Elora yang mengeluarkan kue kering dan meletakkannya di meja.


**


Suara-suara itu melebur menjadi redam. Aku larut dalam lelah dan keasyikanku menelaah kelima teman baruku. Sambil menatapi wajah mereka satu persatu, sambil mendengar celoteh berisik namun riang dari enam pasang bibir itu, aku khusyuk menghikmati malam minggu ini. Ini luar biasa, kembali aku membatin.


Hari ini diawali dengan latihan menari yang melelahkan selama enam jam. Diselingi makan siang dan mencari bahan untuk kostum tampil kami nanti di Pasar Baru, kembali latihan hingga pukul lima sore dan aku langsung melesat ke rumah Om Joko dan Tante Nyla untuk menepati janji mengunjungi mereka sekalian mengambil oleh-oleh kue kering. Setengah jam aku habiskan di rumah asri bak villa itu lalu langsung melaju menuju apartemen ini, memenuhi undangan si 1502 alias Mardi Wisesa, terjebak macet setan ala Bandung di akhir pekan, satu setengah jam aku butuhkan untuk tiba. Lelah, beradu dengan fisik dan emosi Mas Raka dan personil Wandanyata ketika latihan menari, lelah bertarung dengan pengguna jalan raya yang memancing sumpah serapah dan lelah berapi dalam makian atas kondisi jalan raya Bandung yang berujung mengumpat si pemerintah kota.


Semuanya menggariskan satu hal dalam batinku, bahwa manusia tak ada yang peduli lagi dengan sesama, bahwa tawa tak bisa lagi digiring bersama, bahwa ketenangan batin tak mampu lagi ditemui ketika manusia satu bertemu dengan manusia lainnya. Lelah untuk menerima bahwa dunia ini sudah sinting! Gerah untuk menyadari bahwa manusia hanya punya satu yang tersisa dalam kehidupan sosial: ego alias ingin menang sendiri alias individualisme berlebih. Baiklah, jadi tiga yang tersisa.

Tapi malam ini, di ruangan ini, bersama orang-orang baru ini, aku tenang. Penat tak membebat dan aku merasa ini luar biasa, bahwa ketentraman bisa tercipta dalam ruang kecil yang tak padat dengan hiburan, tapi pada dasarnya, manusialah yang menghibur. Manusialah keajaiban karena mampu mengharmonisasikan dayanya bersama, dalam kebersamaan. Aku lega, selamat datang penghuni lantai 15, aku rasa kalian akan mengukir cerita baru dalam hidupku.

Dan aku hanya ingat gelap, dalam lelap.

***


Avara Kyna

#1504

image via deliciousmagazine


4 comments:

  1. bahahahhaha...
    gw ketawa seada-adanya baca deskripsi lo ttg julian. buahahahhaha

    ReplyDelete
  2. @gebi: julilo banget ga siih? ahahahaha

    ReplyDelete
  3. sumpah, Kan.. gw bneran kbayang bgt suasana malam pertama ini.. 3 halamannya dpt bgt..! nice..! makin penasaran dgn malam2 berikutnya.. :D

    ReplyDelete
  4. @galant: hai pembaca setia! hahahahaaa...terimakasih uda baca ;D
    bersabar nunggu postingan yang laen yaaaaa

    ReplyDelete