7/26/16

Tiga Puluhan dan Masih Sendiri


Parkiran apartemen masih lengang. Kulirik arloji di tangan yang menunjukkan pukul lima sore. Orang-orang masih beredar di luar sana. Mesin mobil kumatikan lalu kugapai dua tas di jok belakang seraya membuka pintu kemudian beranjak keluar. Lampu lantai parkiran bawah tanah ini sudah dinyalakan karena meski langit tak gelap pun, tak ada sinar matahari yang masuk. Langkahku ringan menuju lift dan kutempelkan kartu penghuni ke mesin pemindai; seketika tombol bertuliskan angka 15 menyala.


*


Tak tok tak tok… Suara hak sepatuku memecah keheningan sepanjang lorong lantai 15, selain geledek di luar sana. Hujan mengguyur dari pagi dan membuat hari ini sendu. Semua orang setengah hati menjalani rutinitas dan yang dilakukan dengan sepenuh hati hanyalah menunggu waktunya pulang. Aku sempat terdiam sejenak saat memutar kunci di pintu unitku—tebersit untuk mampir ke unit Ateira. Namun kuputuskan untuk beristirahat dulu dan menghubunginya menjelang makan malam nanti.


Baru sekitar lima menit tiba di unit, layar ponsel genggamku menyala dan kulihat “Mama” muncul di sana. “Ya, Ma?” sahutku sembari merebahkan badan ke sofa dan menyalakan televisi dengan remote.