2/18/11

The Return

Indikator baterai iPod saya sudah menunjukkan masa kritis. Sebentar lagi mati, dan saya tidak tahu lagi harus mencari hiburan apalagi setelah badai salju membuat semua penerbangan keluar Schipol dibatalkan selama 6 jam. Beginilah tidak enaknya negara yang berada jauh dari katulistiwa. Kini saya paham kenapa Belanda dulu kekeuh tidak mau melepaskan Indonesia sebagai jajahannya.

Sudah satu cup Starbucks caramel latte saya habiskan. Duduk bersama ribuan penumpang yang juga mungkin kekesalannya sama dengan yang saya rasakan. Di kejauhan saya melihat ada pesawat yang akhirnya diperbolehkan lepas landas. Lambaian tangan keluarga yang mengantar membuat saya hanya bisa menelan ludah. Betapa indahnya, pergi sambil melambaikan tangan kepada orang-orang tercinta..


Hi Mom..

Ohhhh

Dia hanya bisa memelukku erat, tanpa sepatah kata pun. Tak berapa lama saya merasa pundak saya basah.. Ibuku menangis, rindu.

Saya memang meminta Pavel untuk tidak memberitahu Mama kalau saya mau datang. Saya bermaksud memberinya kejutan.

Rumah ini tidak banyak berubah. Hanya mungkin bertambah gelap.. Ah mungkin karena saya sudah terlalu terbiasa bermandi sinar matahari tropis di Indonesia, rasanya sinar matahari di Belanda jadi semakin redup.

Kom op in de. Dit is nog steeds uw huis, waarom sta je daar met.

(Ayo masuk, ini masih rumahmu, kenapa berdiri di sana.)

Ibuku belum terlalu tua. Dia masih cantik. Cantik khas Belanda yang menurut saya tidak secantik perempuan Indonesia.

In het kader van wat je hier kwam?

(Dalam rangka apa kamu ke sini?)

Hoe gaat het met je lieverd?

(Kamu apa kabar sayang?)

Ibu terus memegangi tanganku di meja makan. Sudah lama saya tidak menikmati secangkir teh cammomile buatannya. Harum, dan hangat..

Ik heb werk in Amsterdam. Een modeshow. Ik kan net zo goed hier te komen. Mama, ik mis mama..

(Aku ada kerjaan di Amsterdam. Sebuah fashion show. Aku sekalian ingin berkunjung. Mama, aku kangen Mama..)

Saya melihat mulut ibu sudah bergetar. Matanya kian bening. Lagi-lagi dia menangis.

Je weet niet hoeveel ik je missen.

(Kamu tidak tahu seberapa besar aku kangen kamu.)


Oke, sudah cukup drama nostalgia tali kasihnya. Saya hanya ingin melepas rindu, bukan malah merundung duka di sini. Saya berada di Amsterdam untuk sekitar 15 hari. Sebelumnya saya berada di Milan, Italia selama 1 minggu untuk menghadiri berbagai macam fashion show. Agak sakit hati karena sepertinya karena saya sudah terlalu berumur jadi tidak lagi diminta bantuan untuk memeragakan busana di fashion show musim dingin tahun ini.

Saya sibuk mencari oleh-oleh untuk keluarga saya di apartemen. Ya walaupun baru kenal, tapi saya merasa mereka adalah bagian penting dalam hidup saya. Entahlah, rasanya benar isi sebuah artikel yang pernah saya baca di Reuters Health, bahwa pertemanan itu sudah ditentukan sejak lahir, dari gen manusia.. Mungkin saja.


Besok adalah hari terakhir saya di Amsterdam. Lusa saya kembali lagi ke Indonesia. Urusan pekerjaan sudah beres sejak seminggu yang lalu. Saya memang memperpanjang waktu saya di sini agar bisa menghabiskan waktu bersama Mama dan adik-adik. Tapi saya lebih banyak berduaan dengan Pavel, adik saya yang kedua. Dia banyak sekali bercerita tentang kehidupannya. Dia mengenalkan pacarnya ke saya, Elizabeth, kalau tidak salah namanya. Singkat cerita, sore itu Pavel bertanya sesuatu ke saya. Sebuah pertanyaan yang sangat menyesakkan, sekaligus membuat saya lega.

Apa benar kamu menjadi boy toy di Indonesia?

Awalnya saya berpikir bahwa ini adalah rahasia saya yang akan saya simpan sampai liang kubur. Tapi.. terlalu lama menyimpannya malah membuat gerak laju saya menjadi berat. Saya juga butuh seseorang yang bisa saya ajak berbagi..

Kamu malu?

Jadi benar?

Ya...

Pavel terdiam. Dia memeluk tubuhku erat..

Maaf Julian.. Maaf aku gak pernah tahu kalau kamu semenderita ini.. Dari dulu yang aku tahu bahwa kamu adalah anak yang durhaka pada mendiang ayah..

Bukan salah kamu.

Aku melepaskan pelukannya.

Aku tidak butuh dikasihani.

Ahhh bicara apa saya ini, masih saja memegang gengsi pada adik sendiri..

Sekarang masih?

Tidak. Beruntung waktu itu ada pelangganku yang membuat aku menjadi model tenar. Sekarang aku sudah bersih..

Kenapa kamu gak pernah cerita di email?

Saya berdiri, memandangi orang-orang yang tertawa lepas mengayun ke sana ke mari di atas air danau yang membeku. bagaimana mungkin saya bisa bercerita masa suram itu ke Pavel. Anak bodoh..

Kalau aku cerita, memang kamu bisa apa? Ini sudah jadi resiko. Aku pergi dari rumah tanpa keahlian apapun kecuali bermain piano dan bermodalkan tubuh indah.

Kak.. Aku mau ikut ke Indonesia.

Kepalaku langsung menoleh ke arah Pavel yang sudah berdiri di sampingku.

Untuk apa?

Aku ingin tahu seperti apa kehidupanmu.. Setidaknya agar aku bisa merasakan semua kesepian yang selama ini kamu rasakan.

Inilah pertama kalinya saya dan Pavel berbicara sedalam ini. Dari hati ke hati. Tanpa pukulan, tanpa makian yang biasanya selalu menyertai perjumpaan kami.

Aku sayang kamu Julian.

Lagi-lagi Pavel memelukku.

Thanks Vel. I love you too..


Dari mana kamu?

Toilet. Bau sekali! Bandara ini seperti tempat penampungan Yahudi saat Nazi.

Hey, berapa lama penerbangan ke Indonesia?

Hmmm, kurang lebih 16 jam.

Ohhh. Ok. What a long flight.

Ya. Dan kamu tetep maksa untuk ikut sama aku.

Pavel tersenyum, kemudian kembali bercinta dengan buku yang baru saya belikan untuknya. Buku tentang batik. Pavel sangat cinta dengan budaya Indonesia. Dia bahkan mengambil jurusan Bahasa Indoensia di Leiden. Saya rasa, dia merepresentasikan Indonesia sebagai ayah, karena ayah orang Indonesia. Entahlah..


Kak, panas sekali di sini! Aku gak nyangka akan sepanas ini di sini.

I’ve told you before.

Hahhhh I can’t wait to meet you family here. Mereka baik kan?

Sejauh ini baik. Mungkin karena mereka tidak tahu kalau aku ini bekas...

Sssttt, stop talking. Take me around!

Pavel akan menetap bersamaku selama sebulan. Saya sangat senang bisa membawa Pavel ke sini. Saya tidak sabar untuk memperkenalkannya kepada penghuni lantai ini.. Lebih dari itu, saya memiliki teman untuk diajak menonton DVD di atas sofa butut ini.


Hey Julian

Tiba-tiba ada yang menepuk pundak saya. Saya kemudian membalikkan badan setelah mengunci rapat pintu apartemen.

Ehh, hai Elora. Lama gak ketemu ya..

Iya. Kamu ke mana aja sih? Melihat begitu banyaknya tumpukan surat di bawah, sepertinya kamu udah lama gak di apartemen. Kamu jadi ke luar negri?

Hehe iya. Aku baru aja kembali dari Eropa. Seperti yang aku bilang waktu itu, fashion show.

Wahhh enak sekali. Iriii!

Eh iya, kenalkan ini adikku, Pavel.

Halo

Pavel mengulurkan tangannya

Halo. I’m Elora. Nice to meet you

Mimik Elora lucu sekali. Dia menggerakkan bibirnya dengan sepenuh hati, seolah-olah adikku tidak bisa mendengar.

Haha, dia bisa bahasa Indonesia kok, Elora.

Ohhh. Hehe oh dikirain orang Londo tok tok. Eh maaf, aku duluan ya, masih ada kerjaan. Nice to meet you Pavel.

Pavel tersenyum sambil memberikan isyarat thumb up ke arah saya saat Elora sudah pergi mengarah ke unitnya.

Hey she’s much older than you!

Sooo???

Ahhh. Come.

Di kejauhan saya bisa melihat Naila di kejauhan. Dia juga baru akan pergi sepertinya. Karena Pavel terburu-buru, saya hanya bisa melambaikan tangan. Naila membalas. Ahhh saya rindu mereka. Sudah setengah bulan lebih kami tidak berkumpul.


Bagaimana liburannya Pak Julian?

Oh hey. Bukan liburan kok. Saya kerja.

Siapa ini? Meuni kasep..

Ini Pavel, adik saya. Dia akan menetap di sini selama sebulan. Apa saya perlu isi buku tamu?

Oh ya tentu. Selamat datang Pavel. Kalau perlu apa-apa bilang aja ka bapak. Ini Pak Julian, isi di sini.

Pak Sidik menyodorkan buku tamu ke saya. Memang aturan di apartemen ini, bila ada tamu yang menginap, baik itu keluarga, tamu atau pacar harus mengisi buku tamu. Untuk alasan keamanan.

Bade kamana?

Keliling FO aja Pak.

Hep pan ya!

Hahaha. Iya terimakasih Pak.

Pak Sidik adalah orang Sunda asli. Dia sering minta diajarkan bahasa Inggris ke saya. Tapi dasar Pak Sidik, dia selalu malas untuk mengeja huruf F dengan benar.

Eh iya Pak Julian. Urang poho. Kemarin ada laki-laki yang mengirimkan ini untuk Pak Julian. Ini.

Saya berbalik ke meja resepsionis, mengambil sebuah tas belanja Zara dari Pak Sidik.

Siapa Pak?

Tidak tahu saya. Pas ditanya, dia cuma bilang, just pren.

Pak Sidik tiba-tiba mengubah suaranya menjadi lebih ngebass, menirukan suara laki-laki misterius ini.

Haha. Dasar bapak ini.. Ya sudah saya titip dulu saja di sini. Nanti saya ambil saat pulang.

Sip bos! Hati-hati di jalan.

Saya melengos pergi. Siapa ya kira-kira yang mengirimkan tas belanja Zara itu..

You said it’s over.

What?

Saya kaget tiba-tiba Pavel bertanya saat pikiran saya sedang menerawang, menebak siapa yang kira-kira mengirimkannya.

Hey, kamu gak percaya aku? Aku udah bukan boy toy. Mungkin itu dari fans atau manajemen.

Tit tit

Telepon genggam saya berbunyi. SMS masuk.

Sudah terima paketnya? Suka gak? :)

Nomor tidak dikenal.

Siapa ini?

Sent. Delivered. Belum ada balasan. Selamat datang penasaran..

Julian Sastradinata

2/7/11

Menggantung Pagi

Klak, bletak, ...

Brukk...

Pfffttt... Ah, lelah sekali! Kulempar begitu saja tas jinjing ke sebelah sofa, koper biru tua kusandarkan di belakang pintu, dan aku tak tahan untuk melempar tubuhku ke atas sofa. Kuusap wajah yang kusam dan kuyu karena penerbangan selama 20 jam yang melelahkan! Susah payah melepas jaket abu rajut dan menyampirkannya di lengan sofa, aku menyandarkan leher dan kepalaku yang berat. Masih terbayang samar perjalanan 10 hari lalu bersama seluruh anggota dan kru Wandanyata yang menyenangkan, membanggakan, dan penuh drama. Seiring dengan kilas balik memoriku yang penuh warna dan riuh tepuk tangan audience di hadapan panggung, alam sadarku semakin jatuh dan terjun bebas ke lubang hitam yang berat, gravitasi lelah menarikku begitu kuat hingga aku pun tak ingat apa lagi setelahnya.

1/29/11

Berpindah?

Tidak, aku tidak kesepian sepanjang aku punya teman-teman yang mengitariku. Begitulah jawabku setiap teman-temanku bertanya mengapa aku masih mau hidup sendiri padahal aku sudah lulus kuliah, ibuku bisa mengurusi hidupnya sendiri, dan aku punya pekerjaan yang cukup bisa diandalkan. Lagipula aku tidak yakin bahwa pernikahan, jika memang itu yang mereka maksud, adalah jawaban atas kesendirian.

Bagiku, apapun status yang kau emban, kau akan terus sendiri. Setidaknya sampai kau mati nanti. Tidak mungkin orang yang ada di sebelahmu akan menjadi temanmu seumur hidup tanpa menyebabkan sedikit celah yang tidak terisi di setiap hari dan hela nafasmu. Manusia akan selalu sendiri. Percayalah. Dan kalau sudah begitu, teman-temanku hanya akan berkomentar, “Dasar keras kepala, pantas kalau sendiri terus,” diiringi gelak tawa yang kuamini.

Mengenai kesendirian ini, teman baruku di apartemen ini pernah sekali mengunjungiku dan terheran-heran melihat satu pot bunga yang ada di balkonku. Ateira, yang seorang florist, bilang aku memang tidak cocok memiliki hubungan apapun dengan tanaman. Hahaha, aku tertawa terbahak-bahak ketika ia bilang begitu. “Aku memang seperti tidak cocok memiliki hubungan dengan apapun, tidak hanya tanaman!” sejurus dia mendelik, lalu ikut tertawa bersamaku.

Oh, aku merindukan pertemuan dengan penghuni apartemen ini. Tapi sepertinya mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku masih ingat ketika Julian bilang akan pergi ke luar negeri untuk melenggak-lenggok di catwalk dan Kyna begitu sibuk berlatih dengan grup tarinya demi pagelaran bulan depan. Kapan kiranya semua penghuni lantai 15 ini bisa bertemu lagi?

Oh, dan kurasa Ori masih akan sibuk dengan wedding organizer-nya hingga beberapa bulan ke depan. Dan tentunya si Ateira itu akan sibuk wara-wiri di toko bunganya, sementara Kahlua mungkin akan menyambangi politisi-politisi busuk yang baru saja masuk ke penjara karena korupsi. Sedangkan si 1502 sepertinya juga sedang bertapa entah di belahan mana mencari inspirasi untuk novelnya yang baru. Dan aku masih saja di sini, entah untuk apa, entah untuk siapa. Maka ini baru namanya kesepian. Mengingat aku juga masih menghindari pertemuan dengan Darda.

Di masa seperti ini, sudah selang beberapa lama sejak pertemuan terakhir dengan Darda, aku baru bisa merasakan kesepian yang seperti tak hilang.

***

Demi hilangnya semua pikiran-pikiran buruk dan perasaan sepi yang berkepanjangan, aku putuskan untuk mengunjungi kakak ibuku yang berada di 140 km jauhnya dari kota ini. Aku pikir, dengan jauh dari tempat-tempat yang sering kusinggahi, maka segala yang negatif padaku akan hilang barang sejenak. Tak lupa kubawa serta kue lidah kucing juara satu itu untuk Bapak, begitu aku memanggil kakak ibuku, yang sudah kuanggap sebagai pengganti ayahku.

Melihat penampilanku yang begitu kusut, padahal aku tidak merasa demikian, ia bilang,”Sepertinya kamu butuh liburan, Le. Pergi ke pantai saja, seperti biasa.” Ia tidak sedang berbicara dengan lelaki, walaupun ia memanggilku Le, seperti orang Jawa memanggil anak laki-laki mereka. Ia memang suka sekali memanggilku Le, versi singkat dari Lea, karena ia pikir aku lebih maskulin daripada sepupu-sepupu perempuanku yang lain. Dan jelas ia tahu betul bahwa pantai adalah salah satu tempat berlibur favoritku.

“Tidak perlu jauh-jauhlah, yang dekat saja dulu. Yang penting kamu jadi segar lagi,” ujar Bapak sambil mengisi teka-teki silang di koran minggu.

Dan ia mengingatkanku betapa aku mencintai pantai, walaupun sesungguhnya aku lebih mencintai momen liburan di pantai-pantai itu. Lalu otakku mulai berpikir dan menyusun rencana tentang pantai-pantai yang akan kudatangi. Mungkin juga bisa menambah bahan tulisan untuk bulan depan.

***

Keesokan harinya, di kota yang sama, aku mengunjungi kantor majalah dimana aku bernaung. Sang pemimpin redaksi yang kukenal baik sejak beberapa tahun lalu mengajakku masuk ke ruangannya. Dibalut dress tanpa lengan dengan siluet yang tegas ia tampak berwibawa dan serius, padahal biasanya ia yang mengajak kami untuk berlaku gila.

“Kalea, sudah lama sekali kamu jadi kontributor majalah ini. Gue tahu kalau lo senang-senang aja jadi kontributor, tinggal di Bandung, dan bebas menulis apa saja yang lo mau. Kualitas tulisan lo memang tidak diragukan lagi, walaupun lo malas ikut pelatihan-pelatihan kami,” ujarnya sambil merapikan kertas-kertas di mejanya. Sementara aku hanya tersenyum mendengar sindirannya.

Tepat ketika aku bermain dengan pikiranku untuk berhenti menjadi kontributor dan membangun rumah singgah seperti impianku semasa dulu, ia menyampaikan kata-kata yang agak sulit kucerna.

“Tenang aja, lo nggak bakal pernah gue anak tirikan. Saya, sekali lagi, mau tawarkan posisi yang reporter senior di majalah ini. Kamu hanya perlu meliput hal yang penting saja dan mengawasi beberapa reporter bawahanmu,” dari penggunaan kata ganti itu, aku tahu dia memaksa. Ini semacam perintah.

Ia memberiku waktu untuk berlibur dan menyelesaikan tulisan untuk edisi bulan depan sebagai masa untuk berpikir atas “tawarannya”. Dan aku menyelesaikan pertemuan itu dengan muka tolol.

Jadi reporter senior berarti upah tetap, bisa pergi kesana-kemari tanpa keluar biaya sendiri, dapat fasilitas ini dan itu, akses ke baju-baju bagus, dan ini dan itu. Tapi harus tinggal di ibukota, keluar dari apartemen, meninggalkan Bandung, meninggalkan es cokelat dan lidah kucing juara satu, dan tentu saja jauh dari … Darda. Kepalaku mendadak pusing seperti jika aku terlambat makan. Agak sempoyongan seperti jika aku menambahkan sedikit rhum pada es cokelatku. Ambil, tidak, ambil, tidak, ambil, tidak?


Ah, tapi memangnya apalagi yang mengikatku di kota sejuk itu?

Le 29 Janvier 2011

Kalea Tyaga Bestari

#1505


1/26/11

May Day!

Kadang ingin aku berkata, tepat di depan mukamu. “Kau pikir kamu siapa? Sudah merasa hebat mengambil dan merubah semua yang kumiliki?” Kau, perempuan barbie yang benar-benar tak pernah ku mengerti.

Temanku pernah berkata, jangan kamu terlalu menyepelekan orang. Termasuk orang yang pertama menjerit jijik ketika melihat ada seseorang mengenakan hand bag palsu, padahal warna rambut, bulu mata, dan kulitnya sendiri sudah palsu. Dan sayangnya temanku itu benar. Perempuan barbie itulah yang merenggut kebahagiaanku. Perempuan yang awalnya sama sekali tidak masuk perhitungan untuk bisa menaruh setitik debu pun dalam kehidupanku.

Well, still I disbelief why she could.


Perempuan itu kemarin mengajaku berteman di facebook dan memberi pesan pada friend’s invitation yang berbunyi : ”Hai, salam kenal. Udah terima undangan gue, kan?” Wow. Salam perkenalan yang hangat sekali, twag’! Kami pun berteman di facebook dan ujung-ujungnya membuatku repot sendiri. Sedikit-sedikit mengirim personal message, menanyakan bagaimana menurutku keputusannya untuk menikah dengan Musa. Bagaimana sosok Musa di mataku. Bagaimana caraku menyelesaikan masalah dengan Musa jika kasusnya seperti ini, seperti itu, atau segalanya. Segalanya ia tanyakan. Kenapa tidak sekalian tanya, jika berciuman denganku, apakah Musa memutarkan kepalanya ke kiri atau ke kanan?!


Ke kanan, dimulai dari kemiringan 45 derajat.


“............”


Aku menggeleng-gelengkan kepalaku cepat dan membuang bayangan itu jauh-jauh. Menjijikan.


***


Belum berhasil aku bertemu dengan Elora. Ketika aku hampiri kamarnya tempo hari usai undangan Mardi Wisesa, ternyata ia harus segera bergegas menemui klien yang bermasalah. Bad mood karena katanya sang klien bertengkar dengan calon mempelai. Hebat sekali wanita itu. Bisa-bisanya menyerahkan waktu yang ia punya untuk mengabulkan impian seseorang yang sedang menjadi ratu sehari. Entahlah, semoga kami bisa segera berjumpa. "Need advice from the expert," ujarku sambil tersenyum sebelum meninggalkan ruangan Elora ketika itu.


Aku bingung memilih dan hanya berdiri kaku di antara pintu-pintu yang sudah tertutup. Sejujurnya aku belum puas dengan keriaan di kamar Mardi Wisesa. Aku membutuhkan teman. Aku tidak berani membiarkan diriku sendiri dengan pikiran-pikiranku. Tapi... masih terlalu bingung untuk menemui siapa dan membicarakan apa.

Malam itu akhirnya aku menghabiskan waktu dengan berdiam di balkon kamar. Memandang kerlip lampu di kejauhan sambil memintal benang penahan sakit yang sewaktu-waktu selalu timbul. Timbul begitu saja namun butuh beberapa waktu untuk tenggelam lagi. Aku tahu, suatu hari aku akan menengokan hati pada saat ini dan aku akan tersenyum... atau bahkan menertawakan diriku sambil menoyor kepala sendiri. Ketika itu aku sudah bahagia bersama...


ASTAGA.


Pernikahan Musa tinggal 10 hari lagi. Aku sudah tahu akan membawa bunga apa, tapi..... Aku pergi dengan siapaaaa?!


Panik!

Ateira Niskala