2/7/11

Menggantung Pagi

Klak, bletak, ...

Brukk...

Pfffttt... Ah, lelah sekali! Kulempar begitu saja tas jinjing ke sebelah sofa, koper biru tua kusandarkan di belakang pintu, dan aku tak tahan untuk melempar tubuhku ke atas sofa. Kuusap wajah yang kusam dan kuyu karena penerbangan selama 20 jam yang melelahkan! Susah payah melepas jaket abu rajut dan menyampirkannya di lengan sofa, aku menyandarkan leher dan kepalaku yang berat. Masih terbayang samar perjalanan 10 hari lalu bersama seluruh anggota dan kru Wandanyata yang menyenangkan, membanggakan, dan penuh drama. Seiring dengan kilas balik memoriku yang penuh warna dan riuh tepuk tangan audience di hadapan panggung, alam sadarku semakin jatuh dan terjun bebas ke lubang hitam yang berat, gravitasi lelah menarikku begitu kuat hingga aku pun tak ingat apa lagi setelahnya.

**

Terang yang bias dan redup membuatku sadar pagi ini. Masih setengah sadar, mataku terpicing perlahan dan masih terasa rekat kedua pelopak mata ini. Aku terdiam sebentar dalam pikiranku dan kucoba meraba-raba di mana dan kapan ini.

Ah, sudah pagi..

Aku akhirnya bangun dan ingat aku tertidur di sofa ini dari tadi malam. Bahkan aku belum sempat menyalakan lampu ruangan karena hanya lampu meja yang masih bersinar kuning, satu-satunya yang aku ingat lakukan ketika tiba di apartemen. Menuju meja dapur, aku mengambil segelas air yang melegakan tenggorokan, aku bergegas mandi.

Setelah sekitar setengah jam selesai membenahi diri dan membereskan sedikit bagian dari apartemen yang sudah kutinggalkan selama 10 hari, aku ingat ini Sabtu. Tiba-tiba bayangan pertemuan dengan penghuni lantai 15 mampir ke ingatanku. Ah, ya, aku punya oleh-oleh kecil untuk mereka.

Tak lama lima buah gantungan kunci berukir miniatur St. Alfege Church yang kubawa dari London sudah tergenggam sambil aku beranjak keluar ruangan. Aku berharap paling tidak dapat bertemu dengan beberapa dari mereka. Berjalan menyusuri gang lantai ini, ah, kulihat salah satu pintu kamar terbuka. Sepertinya Kalea sedang berbenah karena kulihat kantung plastik hitam besar tersandar di dinding luar kamarnya. Kutengokkan kepala ke dalam, lalu kuketuk pintu 1505 yang terbuka lebar, “Pagii...! Kalea?” seruku.

Kepala mungil muncul dari balik tembok yang menyiku, memberi sudut mati ke arah ruangan di dalam. “Kyna!” seru gadis kecil yang muncul dari sana. Ternyata Ateira sedang di sana, tak lama Kalea datang tergopoh-gopoh sambil membawa sapu di tangan kanannya.

“Kynaaa...!” serunya pula ketika melihatku. Aku nyengir dan melangkah masuk kamar 1505 lalu mengecup kedua pipi gadis itu.

“Hai! Apa kabar kalian?” tanyaku.

“Begini, ah! Baik-baik saja!” Kalea seperti tidak sedang ‘baik-baik saja’ seperti ucapannya. Ateira hanya mengangguk-angguk entah apakah maksudnya ia baik-baik saja atau ‘baik-baik saja’ seperti Kalea.

“Ini...” aku menyodorkan dua gantungan kunci yang kubawa, “Oleh-oleh kecil, hehehe,” kataku.

“Woww, tengkyu tengkyu!” seru Kalea sambil meletakkan sapu di belakang pintu yang lalu ia tutup.

“Ini dari mana?” tanya Ateira. “Yang ini dari London,” kataku sambil menunjuk semua gantungan kunci yang aku bawa, “Lagi beres-beres, neng?” tanyaku pada Kalea. Ia mengusap dahi sambil mencari-cari sesuatu, ternyata asbak, yang tak lama ia letakkan di meja depanku.

“Iya! Aku belum sempet bersih-bersih dari minggu lalu!” katanya.

Tiga kaleng soda ia ambil dari kulkas dan berikan dua kepada aku dan Ateira.

“Jadi, jadi, how’s the show going?” tanya Ateira.

Jendela di ruang tengah terbuka dan terang matahari menceramahi ruangan untuk menjadi silau. Aku menenggak soda, “Menyenangkan, dan seperti biasa, antusiasme orang luar terhadap tarian Indonesia membuatku merasa miris untuk kembali ke sini,” ujarku lalu mengeluarkan ekspresi miris.

“Klise, parodi apresiasi seni di negara kita,” gumam Kalea.

“Kemana penghuni lain? Pengen ketemu,” tanyaku.

Ateira mengangkat bahu, “Belum lihat juga,” katanya sambil mengamati gantungan kunci dariku, “Aku juga bosan di kamar jadi kuputuskan saja mengganggu paginya,” katanya sambil mendelik ke arah Kalea.

Di tengah obrolan tentang perjalananku ke London dan Amsterdam, tiba-tiba mataku terpaku pada pajangan pengantin Jawa yang terpajang di rak TV. Aku teringat akan pernikahan temanku yang akan berlangsung sekitar sembilan hari lagi. Teman yang sudah delapan tahun tidak bertemu dan tak kusangka masih ingat untuk mengundangku ke pernikahannya.

“Pajanganmu bagus, Lea,” celetukku sambil menunjuk pajangan yang tadi menarik perhatianku.

Ateira dan Kalea melayangkan pandang ke arah pajangan pengantin Jawa yang kutunjuk.

“Aku beli di Yogya,” katanya, “Pajangan favoritku memang, pengantin Jawa.” Tambahnya.

“Aku selalu ingin menikah menggunakan adat Jawa,” ujarku gantung.

Kalea mendelik, “Bukannya ribet ya?” katanya, “Tapi, memang indah sih,” lanjutnya seolah mengoreksi.

Ateira diam saja dan tak menanggapi kala aku dan Kalea melanjutkan perbincangan tentang pernikahan. Air mukanya resah seketika.

“Aku selalu kagum sama orang-orang yang menikah,” ujarku sambil menatap Ateira, berharap dia akan menanggapi, “Kita tidak akan pernah siap, bukan?” tanyaku entah pada siapa pastinya.

Ateira menghela napas, “Mungkin tidak,” katanya, “Siapa yang sangka akan mampu berjanji seumur hidup?” lanjutnya, seperti putus asa. Entah apa yang ada di pikirannya.

“Menakutkan,” Kalea angkat bicara. Aku bakar batang ke tiga.

“Pernikahan seperti sebuah perusahaan yang mengikatmu seumur hidup!” lanjutnya.

Dua tarikan nikotin, masing-masing milikku dan Ateira, mengisi udara yang silau pagi itu.

“Janji yang mampu patah bahkan sebelum diucapkan,” kataku, kosong.

***


Avara Kyna,

#1504

2 comments:

  1. Ateira merasa dibully dengan perbincangan iniii. Aaaaaa!
    :p

    ReplyDelete
  2. @ateira: pancing pancing. hahahaaa, lo mancing gw utk bully lo dengan episode ateira sebelumnya! :p

    ReplyDelete