Tepat 10 hari sejak terakhir aku berjalan di lorong lantai ini, menatap satu per satu lampu tempel berwarna kuning di kanan-kiri dinding. Pergi walau mereka bilang liburan tapi ada yang meronta untuk selalu kembali ke kamar di sini, di gedung ini, terlebih saat kini aku memutar kenop pintu, ada perasaan rindu yang tiba-tiba membuncah. Justru pada detik aku telah kembali dan menghadapi pintu berkaca kuning dan hijau di depanku ini, rasa rindu itu semakin menjadi-jadi seolah aku sudah lima tahun tidak pernah kembali. Sebelumnya kulirik keadaan kanan-kiri, semua pintu tertutup rapat dan hanya satu ruangan yang memancarkan cahaya lampu dari dalam. Pukul sebelas malam, kulirik arloji di tangan kiri, mungkin mereka semua sudah menyiapkan kenyamanan di peraduan masing-masing di waktu selarut ini. Ah, sudahlah, masih ada esok dan esok esok serta keesokannya lagi untuk bertegur sapa dengan lima penghuni kamar di lantai ini.
Udara lembab sehabis hujan masih terbawa di badan, jaket kulit, tas Aigner cokelat yang kujinjing, juga sepatu suede hitamku. Seolah alam tidak mengenal kalendar lagi, di bulan Juli pun hujan masih rajin mengguyur dan menjadikan angin menerpa Bandung begitu kencang. Tik...kunyalakan lampu ruanganku dan kupandangi lekat-lekat tiap sudutnya. Benar aku rindu, aku seolah mendapatkan waktu untuk hidup kembali sebagai aku, kini, sekembaliku di apartemen dan ruanganku ini. Kututup pintu lalu menguncinya, menggantung kunci di kait besi tipis yang menancap mantap di sisi tembok belakang pintu, aku duduk di kursi depan meja makan dan meneguk segelas air putih.
Sepuluh hari terakhir kembali terngiang di alam pikiranku. Kepergianku meninggalkan Bandung adalah dalam rangka acara keluarga yang selalu terdengar formal dan khasiatnya bisa mengalahkan kepentingan acara lainnya. Tak jarang orang sering menggunakan judul ‘acara keluarga’ untuk mendapat dispensasi atas dirinya sendiri, peduli setan apakah keluarga yang ia bawa-bawa dalam alasannya benar-benar membutuhkan ia untuk hadir atau tidak. Lalu, kucoba maknai apa yang aku bawa pulang kini. Ah ya, tidak sulit: bahwa terkadang keluarga adalah orang yang paling tidak mengerti dan memahami luar dalam anggota keluarganya. Terkadang, dengan mudah keluarga menggunakan istilah ‘orang luar’ atau ‘orang asing’ hanya karena mereka tidak memiliki pertalian darah, entah dari nenek atau buyut atau sepupu buyut dan tali-tali darah lainnya. Seratus persen kini aku tak setuju dengan hal tersebut.
Aku adalah aku di sini, hidupku adalah saat jauh dari keluarga. Ya, hanya itu yang secara jelas bisa aku bawa bersama kepulanganku ke Bandung kali ini. Aku lepas jaket kulit yang membuatku lembab, berjalan menuju kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk mandi.
“Orang tua adalah mereka yang paling mengerti anaknya walaupun hidup terpisah sekian tahun lamanya,” ucapan seorang teman terngiang kala aku memejamkan mata sambil berendam air hangat. Mencoba membuat seluruh ketegangan syarafku rileks kembali, aku kembali memiliki waktu ‘aku’. Lagi, kini aku tak setuju dengan ucapan itu.
“Tak seratus persen orang tua mengenal anaknya, seperti tak seratus persen anak mengerti orang tuanya,” gumamku sendiri. Segala nilai yang selama ini aku dapati semakin menyatakan bahwa anak adalah wujud subordinasi dari orang tua, anak sulung adalah tulang punggung orang tua, anak tengah adalah ia yang berperan atau berkapasitas di tengah-tengah, dan anak bungsu adalah subordinasi dari keduanya. Hanya saja ini terdengar begitu kasar untuk telinga-telinga munafik atas nama benteng ‘keluarga terutama’.
Sudahlah, setidaknya aku bisa merasa kembali hidup di kota yang jalanannya belum juga rata dan macet di hari liburnya pun belum usai. Sepuluh menit aku menyelesaikan waktu ‘aku’ bersama air hangat yang membasuh segala penat, lelah, juga kotoran yang melekat di kulitku, setidaknya aku merasa tenang untuk berjalan setengah telanjang sambil membakar rokok dan menghisapnya kala aku membalurkan krim badan setelah mandi.
Waktu-waktu ini yang aku rindukan, hidupku.
***
Sayup suara kepak sayap burung gereja masuk ke alam bawah sadarku, setengah semburat sinar mentari membuka celah mata sipitku dan menyilaukan mataku yang masih kesat. Perlahan, suara-suara khas pagi hari menjadi nyata di pendengaranku. Tidak ada keramaian, tidak ada gaduh dari kamar sebelah yang biasa berorasi di pagi hari dengan tindakannya menyedot ingus menggunakan tisyu yang cukup bisa membangunkan penghuni lantai ini. Tapi suara udara, suara angin, suara lambaian dedaunan, dan suara mentari serta langit membangunkanku.
Bergerak malas aku merayap menuju meja di sisi tempat tidur, kupencet tombol yang mengaktifkan telepon selularku, pukul 07.30. Ah, ya, satu yang aku suka dari apartemen ini adalah nuansa paginya yang hidup, bisa membuatku si pemalas bangun pagi bisa terlonjak histeria ketika terbangun pukul 08.00 karena menganggap hari sudah begitu siang!
“Pagi hari kamu akan mampu menemukan keajaiban alam raya, sayang,” ujar ayah padaku, dulu. Aku baru mengamini ucapannya ketika menjadi penghuni apartemen ini.
Bergegas untuk mandi dan sarapan, aku mengenakan kimono pink bermotif floral pink kecil dan slipper hijau pastel bercorak floral pula. Sesudah mengisi bak dengan air hangat dan menyiapkan kopi susu, aku menyalakan radio. Jaman sekarang, manusia cenderung lebih percaya kepada televisi ketimbang radio. Untung saja, aku sedang merasa muak dan kenyang dengan sajian televisi dalam negeri yang menerpa khalayak negeri ini dengan berita-berita tak mendidik setitikpun.
***
Pukul 09.00, aku sudah siap dan hendak keluar belanja bulanan. Walaupun supermarket kebanyakan buka pukul 10.00, tapi aku tak merasa kepagian untuk bepergian. Pacarku pernah bertanya ketika mengetahui aku sedang berjalan-jalan di sekitar apartemen ini pukul 08.00, “Apa yang kau lakukan sepagi itu? Biasanya kamu masih terlelap dan bermusuhan dengan pagi,” tanyanya sambil menambahkan simpulan. Aku tertawa, waktu itu adalah hari ke tiga sejak aku menjadi penghuni apartemen ini.
“Aku punya hobi baru sekarang,” jawabku. Ia lanjut bertanya, “Apa itu?”
“Mencari keajaiban pagi.” Jawabku sambil tersenyum lalu mengecup keningnya.
Kenop pintu aku putar dan kunci sudah aku ambil dari besi lengkung tipis itu, ketika hendak melangkah keluar, aku merasa seperti menginjak sesuatu yang licin. Aku menundukkan kepala dan mencari ada apa di bawah pintu. Sebuah amplop putih sederhana berisi secarik kertas yang juga sederhana. Aku buka dan baca tulisan di dalamnya,
“castangel paling enak di dunia ini tentunya tidak gratis, malam minggu nanti bila tak ada acara, makan malamlah di kamarku. sekadar membuktikan bahwa setidaknya ada lima kue kering lagi yang mungkin lebih enak dari castangelku,
salam hangat, Kamar 1502.”
Ah, sebuah undangan! Aku lirik pintu empunya kamar yang mengirimkan undangan ini, dua kamar di seberang kananku. Tersenyum penuh arti, aku menyimpan undangan itu di dalam tasku.
“Ternyata aku tidak kepagian. Dua keajaiban pagi hari ini adalah momen di akhir minggu yang pasti menyenangkan telah menyambut kepulanganku dan mencari kue kering yang lebih enak dari miliknya,” batinku sambil tersenyum lalu melangkah menuju lift.
***
Avara Kyna
L'APPARTEMANT
#1504
No comments:
Post a Comment