Satu batang rokok aku bakar. Mumpung tidak hujan, aku memutuskan untuk memerkosa segala tempat yang aku rindukan di Bandung sore ini, walaupun sebenarnya bukan pilihan cerdik untuk menikmati udara sore yang rindang ini dengan merokok. Ah, itu bukan ucapan dari diriku pastinya, karena semua perokok tidak pernah memikirkan tentang udara yang mereka ramu menjadi kotor akibat sebatang rokok yang mereka hisap.
Latihan tadi sungguh menguras energi, baik raga maupun batinku. Mas Raka, pelatih grup tariku sedang pusing tujuh keliling akibat satu personil grup yang sedang dirawat di rumah sakit. Demam berdarah kata dokter, sedangkan kami harus memulai latihan yang intensif: enam hari seminggu, lima jam sehari, dan akan terus berlangsung hingga sebulan mendatang. Grup Tari Wandanyata mendapatkan undangan untuk tampil di sebuah Pagelaran Kesenian Indonesia di Amsterdam, sebulan mendatang.
Perawatan Nuri, personil grup tariku yang sakit, tentunya akan memakan waktu yang tidak sebentar, belum lagi waktu yang ia butuhkan untuk pemulihan. Akibatnya, Mas Raka tak habis-habisnya mengucap kata ‘Amburadul!’ berkali-kali selama latihan dan air mukanya juga terlihat berantakan seperti wajah orang yang belum tidur+mandi berhari-hari. Aku dan kelima personil lainnya memutuskan untuk tetap melatih gerakan-gerakan awal seperti yang sudah tertuang dalam konsep, karena hari ini adalah latihan pertama kali. Setidaknya, formasi dan alur yang benar-benar membutuhkan kehadiran Nuri bisa diubah pada pertemuan selanjutnya. Ya, akhirnya aku dan personil Wandanyata lainnya harus menahan diri untuk tetap fokus pada latihan sekaligus meladeni Mas Raka yang memang seperti orang gila kerasukan setan jika ia terserang panik.
Hingga tadi latihan selesai pukul setengah 5, aku belum ingin pulang dan memutuskan untuk nemplok sebentar di salah satu kafe asri di kawasan Ciumbeuluit. Aku butuh ketenangan sesaat dan beberapa gelas teh sambil menatapi kehijauan di area kafe ini. Hmmmm…puuffff… sejenak aku memejamkan mata dan menghirup-hembuskan asap rokokku.
**
Aku ingin sedikit bercerita mengenai batang ini. Mengingat jenis rokok yang aku hisap bukan rokok putih atau rokok dengan keterangan ‘mild’, melainkan rokok yang biasa diidentikkan dengan bapak-bapak perokok berat, supir truk/bus dan jenis profesi ‘kasar’ lainnya, aku sering menerima celetukan-celetukan bernada heran, sinis, tak jarang sarkas, atau seratus persen heran (lagi).
“Ih, rokok lo kayak kuli!” satu jenis ujaran yang pernah aku terima, atau,
“Kebanyakan gaul sama supir truk, Neng?” jenis sindiran lain. Pernah juga,
“Perempuan kok rokoknya seperti bukan perempuan?” ujaran halus yang lebih bisa kuterima ketimbang,
“Perempuan kok merokok?”
Yah, masih banyak pertanyaan atau sindiran serupa yang intinya hanya membicarakan masalah sepele yaitu sebatang rokok yang bahkan tidak lebih besar dari penis laki-laki. Perjalanan sejarah aku dan rokok sebenarnya cukup menarik untuk diceritakan. Bukan bagaimana awalnya aku merokok yang menarik, tapi rokok apa saja yang telah aku hisap selama ini menyiratkan cerita yang berbeda-beda pada kurun waktu tertentu.
**
“Aku minta!” ujarku lalu mengambil batang rokok dari bungkus merah tua bergambar pabrik itu. Ia melotot ke arahku, mimik muka terkejut, “Kamu kayak supir truk!” jeritmu. Aku terdiam, menyalakan pemantik api tepat di depan hidungmu sehingga apinya membuat kau terkedip, antara kaget dan kepanasan. “Berarti tunangan aku supir truk!” jawabku sewot lalu tetap membakar rokok. Hingga seterusnya, aku pun merasa ketagihan dan mengganti rokok mentholku dengan rokok yang sama dengan milikmu. Ternyata tindakanku ini membawa berkah bagi kita berdua: sehari satu bungkus untuk berdua, jelas anggaran bulanan kita menghemat.
“Ara, katanya mau mandi?” tanyamu ketika suatu waktu aku bermalam di kosanmu.
“Iya, satu batang lagi,” jawabku sambil membakar rokok. Kamu mendekat, memelukku dari belakang, “Satu batang berdua, habis itu kita mandi bareng,” ujarmu mesra di daun telingaku yang tertutup oleh rambut. Aku menggidikkan bahu, kegelian, lalu terkikik, “Oke,”
**
“You have one new message...” nada SMS masuk membuyarkan lamunanku. Astaga, abu rokok sudah menggunung kaku di atas filter cokelat, menunggu angin menerpa dan membuyarkan abu itu jatuh berserakan ke jariku. Aku ketukkan batang rokok perlahan dan membuang semua abu yang membentuk gunungan silinder itu lalu membaca pesan masuk:
“Lo uda di bdg? Lama nih g ktmu, kinda miss pillow talk in this lonely flat.”
Nama kontak ‘Elora Oriana’ tertera di bagian paling atas layar sebagai pengirim pesan. Ah, ya, sejak kepulanganku ke Bandung aku belum sempat bertemu dengan tetanggaku itu. Kami biasa menghabiskan waktu semalam suntuk hanya berbicara panjang lebar mengenai mimpi hidup dan tak jarang siapa yang bisa membuat kami masturbasi paling cepat. Aku memutuskan untuk tidak membalas, biar nanti aku langsung hampiri dia di apartemen. Memori yang aku lamunkan barusan kembali merasuk. Sisa batang rokok yang sudah aku tekan dan matikan di asbak menyisakan filter cokelat dan menggambar sketsa wajahnya, Adya. Aku coba tepis, tepis, tepis! Ah, setan alas! Tidak bisa!
Bodoh kau Ara! Oh, Avara! Baru saja memarahi pikiranku sendiri, bahkan aku salah menyebut nama panggilan untuk diriku sendiri. Ara adalah panggilan dari Adya, hanya dia yang memanggilku demikian, orang lain biasa memanggilku Kyna.
Ya, bodoh kau Kyna! Bagaimana mungkin kau berada di tempat ini namun tak teringat dia?! Jeritku dalam hati. Ia yang membawamu mengenal pepohonan yang menaungi saung di kafe ini. Ia yang mengenalkanmu dengan tempat ini yang kaya dengan ragam pilihan tehnya! Bodoh!
Aku bersandar pada sisi saung, menghela napas, berat. Tak niat lagi aku untuk merokok. Tak niat lagi aku untuk mengingat kisah-kisah lainnya tentang perjalanan rokok apa saja yang pernah aku hisap. MEMORI SETAAAANNNN! KAMPUNGAAANNNN!! MEMORIIII RACUUUUNNN KEWARASAAAN! Mati-matian aku menjerit, ngamuk dalam hati. Aku putuskan segera beranjak dari tempat ini. Awan mulai menggelap, megap-megap kehabisan sinaran cahaya matahari, nyamuk mulai menggerogoti mereka yang berdarah di sini.
Siap menyalakan mesin mobil untuk aku pacu kembali ke apartemen, dua sosok keluar dari mobil sedan hitam itu. Mobil tersebut diparkir tepat di seberang mobilku. Begitu sialnya aku harus mengenali sosok yang pertama keluar dari pintu pengemudi. Begitu sialnya aku di hari petang ini harus melihat sosok itu menggandeng perempuan mungil hitam yang keluar dari pintu kiri. Mesra, bergandengan tangan, mereka berjalan menuju bagian dalam kafe.
Genderuwo terkutuk! Rambutmu seperti genderuwo rasanya ingin kubakar! Makiku. Adya tak lagi mengenali mobilku karena memang ini bukan mobil yang sama dengan ketika kami masih menjalin kasih, tepatnya ketika ia masih yakin bahwa aku adalah calon istri yang tidak akan ia temukan di dunia ini, kelak. Aliran darahku menderas, mengaliri pembuluh darah di bagian dalam lapisan kulitku, menanjak menuju kepala, membuatku ingin memecahkan kepalaku yang terasa menjelma menjadi jamur raksasa dan siap memuntahkan cairan pekat berisi racun yang mampu membunuh sepasang kekasih di depan mataku ini. Adya dan kekasihnya, Adya, Adya, Adya, Adya yang dulu kekasihku!
Sigap aku segera mengendarai mobil keluar dari parkiran kafe tersebut, langsung mengarah menuju apartemen. Sepanjang perjalanan aku tak henti-hentinya menghela napas dan mengaturnya agar terkontrol kembali. Dalam pikiranku berputar kembali semua tentangnya, Adya. Sederet makianku terhadap diri sendiri pun tak kalah hebatnya kulafal,
“Setahun aku rutin pergi ke kafe itu kenapa lo harus muncul sore ini sih, setan?!”
“Kenapa harus inget-inget kisah rokok di kafe itu dan tiba-tiba lo muncul sama si pembantu satu itu sih monyet?!”
“Lamar aja tu cewe di kafe itu, bangsaaaaaaaaaaaattttttttttttttttttttt!!!!!!!!”
**
BUUUUUKKKKK...
Bunyi bemper keras menghantam palang besi pembatas parkir di basement apartemenku. FUCK!
Aku terlalu asyik memikirkan Adya hingga tidak melihat bahwa kapling parkir yang hendak kumasuki dihalangi oleh besi dan dengan sukses aku menabrakkan mobil jipku ke sana. Baru saja aku hendak keluar dari mobil, telepon selularku kembali bersuara, menandakan satu pesan baru masuk.
“Avara sayang, tante dan om sudah menunggu setengah jam tapi kamu belum datang juga. Lain waktu saja kamu ke rumah ya sayang. Om dan Tante ada acara malam ini. Kue kering dari Belgia oleh-oleh untukmu masih kami simpan di rumah kok, tenang saja. Kecup hangat,
Om Joko dan Tante Nyla.”
Ah, Tuhan! Sungguh setan apa yang merasuki saya sore ini? Maksud hati ingin menenangkan pikiran setelah latihan yang melelahkan, mengapa aku malah mendapati petaka dan kejadian tak menyenangkan? Batinku dalam hati, lemas.
Mengapa pula aku jadi lupa kalau om dan tante mengajak aku ke rumahnya gara-gara sibuk memaki Adya? Padahal bisa jadi kue kering itu lebih enak dari castangel kamar 1502 dan bisa kubawa akhir minggu ini. Belum tentu mereka bisa menungguku ke rumahnya besok dan lusa, bisa jadi minggu depan. Lanjutku sambil menyesali kejadian beruntut yang menimpakan sial padaku.
Aku belum keluar dari mobil untuk mengecek keadaan bemper jipku. Walau mobil ini tangguh dan gagah, tapi perasaan telah menabrakkan mobil dengan sengaja terasa begitu tolol dan menyesakkan.
Terduduk lemas aku di jok mobil, telepon selular kulempar begitu saja dengan tak bertenaga. Tak lama, aku menyadari dari kejauhan ada seorang gadis yang berjalan pelan sambil menatapku penuh keheranan. Entahlah, aku sadar aku tampak aneh dan tak wajar, namun aku pun tak berniat berbasa-basi kepada gadis itu. Aku hanyut dengan pikiranku sendiri.....
Tepukan telapak tangan seseorang membangunkanku,
"Kamu tertidur di parkiran, sudah 15 menit kamu tak beranjak dan pintu mobil terbuka begitu saja!" serunya. Gadis itu, gadis yang tadi sedang memerhatikanku dari kejauhan. Aku belum pernah melihat wajahnya, tapi dari pembawaannya, sepertinya ia penghuni entah lantai berapa. Aku terlonjak dan mengumpulkan nyawa sembari mengucap terima kasih padanya,
"Ah, ya! Terimakasih, duh, pasti aneh. Aduh, kok bisa tidur.." ujarku berkelit-kelit. Ia mengangguk sambil tersenyum lalu pergi begitu saja meninggalkan aku yang segera membetulkan parkiran mobilku.
Klik, bundaran berisi tulisan lantai 15 sudah aku tekan.
Sendiri dalam lift dan pikiran mengawang, aku mengutuk hari ini, aku mengutuk diriku sendiri yang dalam sepersekian detik hancur lebur tak keruan hanya karena sosok Adya dan segumpal memori yang melangsungkan lomba sprint di ingatanku dan membuat akal sehatku terbirit-birit ngacir dari habitatnya. Aku merutuki sejarah dan segala sesuatu yang tak bisa kembali ke pangkuanku, aku merutuk dan mengutuk waktu yang telah berlalu!
Bak setan, memori masa lalu tertawa lebar mendapati manusia tak sanggup mencabut benalu pilu tentang dahulu yang memasung pengampunan, mengelu-elu dendam.
***
Avara Kyna
#1504
tagged by: Elora Oriana Dalilah
eh, gadis yg memerhatikan dari kejauhan itu, si Naila Kahlua ya, Kenyoo..?
ReplyDeletetakut salah gw..
:p
hai galant, iya, jadi gadis yang memerhatikan Avara Kyna dari jauh adalah Naila Kahlua krn dia yang gw tag di "In This Post". Knp ada nama Elora Oriana di in this post dan 'tagged by' krn nama gw ada di postingan elora sebelumnya ;)
ReplyDeletegitu, biar di episode mendatang gampang mengerti ttg 'in this post' dan 'tagged by' ;D
kinda miss pillow talk in this lonely flat
ReplyDeletemari kita taklukkan memori :)
-elora-
yep, kenyo.. tapi jadi sedikit aga kurang "kejutan" deh begitu gw dah keburu baca "in this post"-nya.. padahal kan lebih seru kalo yang baca dibiarin dibikin penasaran.. hehe..
ReplyDeletetapi tanpa perlu kejutan juga, gw pasti terus mantengin cerita kalian sampe selesai koq.. heuu..
ayo lanjut, gan..!
:p