7/6/10

l'appartemant 1501

Berapa harga yang harus kau bayar untuk sebuah cita-cita?

via (ache)

Menjadi perempuan yang bekerja untuk kebutuhan dirinya, bisa jadi hal yang membanggakan. Apalagi jika pengetahuan dan daya nalarnya berada setidaknya tepat pada garis rata-rata. Tapi apa yang dicari dari semua itu? Hal tersebut mengusikku karena pembicaraan di messenger tadi siang. Habislah aku dibego-begoi seorang sarjana hukum yang baru beres yudisium dengan peringkat sangat memuaskan tapi sama sekali tidak tahu pasal apa saja yang dikenakan untuk menjerat Ariel.


Segelintir orang memang percaya bahwa pasangan yang mapan merupakan modal awal untuk menikah. Kira-kira, berapa perempuan rela meninggalkan pekerjaannya demi lelaki mapan yang sangat dicintai? Ahhh, jangan bilang aku sendirian yang bodoh di dunia ini. Ya, aku meninggalkan lelaki yang kucintai demi pekerjaanku yang masih dalam impian. Cih, ketika melafalkan kalimat tadi, aku baru sadar bahwa sepertinya aku adalah perempuan terbodoh di dunia! Sudah merasa hebat, apa?

Aku masih bermain dengan pikiran-pikiran sendiri ketika kuhempaskan tubuh ke atas kasur dan membenamkan kepalaku di bawah bantal. Memalukan jika terdengar kamar sebelah. Kemungkinannya dua, aku disebut uber-pathetic atau disangka makhluk beda dunia. Syukur-syukur dia sudah tidur. Beda dengan seorang hippies penghuni kamar seberang lift sana yang baru pulang sekitar pukul 04.00 sambil setengah mabuk dan menggenjreng gitar tak bernada.

“Kebahagiaan seperti apa sebenarnya yang kamu cari?” bisikku lirih. Jika dipikir-pikir, mengapa aku bisa menolak lamaran Musa hanya karena ingin tetap bekerja setelah menikah nanti? Padahal arsitek muda yang tergabung dengan Artsicraft Group dan punya banyak klien kakap pasti mampu membiayai kehidupanku lebih dari cukup. But still, the idea of being jobless in a life after wedding sama sekali tidak terlintas di pikiranku.

Di tengah kegulitaan kamar yang baru kutempati sejak dua pekan lalu, aku membuka laci terbawah lemari dan mengeluarkan sebuah foto. Lekat-lekat, aku memandangi sosok yang dalam kegelapan seperti ini menjadi sedikit mirip Ariel Peterpan. Usiaku dan Musa terpaut lima tahun, dan aku kembali menyadari bahwa, ya, aku memang masih muda walaupun Musa sudah dipenghujung kepala dua. Aku belum mau menikah. Maka perpisahaan kami dan pertemuan Musa dengan Barbie sialan itu tepat.

Membayangkan si Barbie generation itu, aku bisa tertawa miris dan lelah tak habis pikir. Bahwa ada orang yang tidak perlu berbuat banyak untuk mendapatkan kebahagiaan. Mereka mendapatkan jalan pintas bebas hambatan menuju apa yang mereka inginkan, ketika orang lain harus menempuh jalanan terjal memutar.
***
Begitu terbangun pukul 11 pagi, aku segera duduk di depan laptop. Menyambungkan koneksi internet sambil menyalakan sebatang rokok. Inilah enaknya hidup sendiri. Batinku sambil tetap menyesap rokok. Dua pekan di sini, aku sama sekali belum melihat pemilik kamar-kamar yang selantai denganku. Inikah individualistis apartemen yang selalu kuharapkan? Halaman utama surelku menunjukkan satu pesan baru dan aku belum mau membukanya. Aku lebih tertarik membuka facebook dan melakukan guilty pleasure baruku.

Stalking ke facebook Musa. Bagus! Sejak kapan Musa membuat status-status lembek. Dan, aww wall-wall cheapy-cheesy. Ditambah profile picture sun-sun pipi gitu. “Oh come on Musa! Gak bisa cari yang lebih baik untuk gantiin saya?” Rasanya aku ingin teriak ke telinganya. Ha-ha-ha. Kembali aku membatin. “Sensi banget. Berasa sendirinya udah bener aja.” Ayolah, better stop this bitter joke!

Toh pada akhirnya harus kita putuskan. Untukku, ini ibaratnya memilih antara menyerahkan diri sepenuhnya pada orang lain atau mengembangkan kepercayaan diri bahwa semuanya bisa dijalani. Time really is flying after all. Kita semakin tua, lebih baik berhenti membuang-buang waktu dengan orang yang belum tentu dapat menghargai kita.

Aku menutup halaman facebook bersamaan dengan menutup satu babak drama hidupku. Selamat merajut istana impian, Barbie and Ken… Ups, Musa!


***

Pukul 1 siang aku sudah mandi dan bersiap mencari makan. Ada yang berjalan dan berdetak cepat di dadaku. Setelah seminggu lebih aku mendekam di kamar dan menguras dompet dengan makanan delivery service, kini aku yang akan bergerak sendiri menuju makan siang. Mari taklukan dunia luar! eh! Aduh, hampir tersandung.

Debaran jantungku kembali mengencang. Musa memberikan paket manis di depan pintu kamar apartemenku! Tidak mungkin! Dia tidak pernah seromantis ini! Aku mencoba menangkis harapan sebesar bola basket yang mulai menyesakkan dada.

….Ha-ha-ha. Ternyata memang tidak benar. Ini bukan Musa.
"Castangel paling enak di dunia ini tentunya tidak gratis, malam minggu nanti bila tak ada acara, makan malamlah di kamarku. sekadar membuktikan bahwa setidaknya ada lima kue kering lagi yang mungkin lebih enak dari castangelku,

salam hangat, Kamar 1502.”
Sebuah kejutan yang mengejutkan. Aku selalu berpikir bahwa hidup di apartemen akan menyenangkan karena semuanya individualistis. Namun setelah dua pekan ini, diam-diam aku merasa kesepian. Aku beranjak mengetuk pintu di seberang kamarku. Tapi urung, lebih baik ikuti aturan mainnya. Sampai jumpa malam minggu! Langkahku menuju makan siang lebih ringan dan aku merasa ion-ion positif dalam tubuhku sedang berreproduksi.***


4 comments:

  1. Kenapa ya gw kok senyum-senyum sendiri baca episode awal ini. Hihihi

    ReplyDelete
  2. iya gw juga heran. padahal kayak yg gw bilang di twitter, ini padahal gak ngebahas tentang cowok kekar berkeringat, loh?
    kenapa sih?

    ReplyDelete
  3. ahahaha... ada kolab d crita ini ternyata

    ReplyDelete
  4. hihi, iya :p tapi ini ceritanya masih satu lantai, belum ada renovasi :P

    ReplyDelete