7/13/10

Tenang Ning di Sekalang Hening

seperti Krisdayanti, aku menghitung hari berlari menuju akhir minggu. cemas berkemas, gelisah berkemah di dalam diri. mendistraksi hati, mengacak-acak otak. lalu bertanya, akan menjadi seburuk apa akhir pekanku. rasa cemas ini menggiringku pada kenanganku dalam gembala Ning, gadis pertama, dan satu-satunya dalam hidupku. yang tiba-tiba membiarkanku pergi, membiarkanku terbunuh sepi.

*

ku duduk di bangku kayu sebuah taman tak jauh dari apartemenku, tas selendang masih menggelayut di bahuku, celana jeans abu-abu, kemeja berkerah, roti yang sedang kukunyah, juga rasa cemas ini. rasa cemas yang hampir sama ketika beberapa tahun lalu mengikuti ujian SPMB, mungkn yang kurang hanya alas kertas dan pensil 2B..

demi Ning kuluruhkan ego eksakta demi membuntutinya meminati sastra. Bening Telaga jernih namanya, rupanya jua sebening telaga yang menjadi kaca saat ku menunduk di tenangnya. ketikanya tersenyum, dua ekor ikan mas jingga menarik dua mulutnya. matanya memantulkan kembar bulan yang membuat dua ekor serigala melolong pada cuping-cuping telinganya. gelombang hitam rambut panjangnya adalah tenang telaga yang dalam. dan oh, bulu hidungnya, ...ah Ning, sudah berapa kali kupinta kau untuk mencukur semak yang mengganggu bening telagamu.

bagiku Ning adalah sastra dan sastra adalah Ning. meski sementara Ning menganggap dirinya sendiri sebagai kolam, seperti apa yang dalam lirisisme Sapardi Djoko Darmono digambarkan sebagai kontemplasi manusia yang tidak pernah akan ada habisnya. tentang Sapardi, ketika aku baru mempelajarinya di salah satu mata kuliah semester kedua, Ning sudah khatam semua bukunya semasa SMA.

jika hidup kami ibarat maraton kata, maka Ning berlari terlalu pagi, sementara aku kesiangan mempelajari sastra. terik membuat Ning berhenti berlari, minatnya terhadap sastra menurun sejak Ning tak menghadiri perayaan kelulusan di mana kepala sekolah dan beberapa guru senior mengalungkan medali pada beberapa siswa yang berprestasi, salah satunya harusnya Ning. tapi Ning lebih memilih untuk berkumpul bersama teman-teman diskusinya membicarakan Marx.

maka aku hanya setengah kaget ketika Ning tidak memilih sastra untuk melanjutkan jenjang studinya di perguruan tinggi, ia lebih memilih masuk Akademi Keperawatan di Yogyakarta. katanya biar mudah dan bisa banyak menyisihkan waktu untuk berdiskusi, “lagipula cepat lulusnya!” pungkasnya.

setelah itu kami memutuskan untuk tidak lagi bersama, tapi bukan karena aku tak suka keputusannya menjadi perawat, karena entah apa cita-citanya saat itu. yang jelas ada beberapa hal yang tidak bisa aku pahami lagi dalam diri Ning. dunia kami telah sama sekali berbeda. ketika aku baru satu kaki melangkah memasuki dunianya, justru pak pos mengantarkan surat kelulusanku di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

masih Ning yang membantu mengemasi barang-barang dan mengantarku ke stasiun. masih Ning yang meyakinkanku bahwa sastra adalah masa depanku. masih Ning yang melandaskan kecupan selamat tinggal tepat di keningku. tapi bukan lagi Ning yang hendak kumasuki dunianya.

di kereta semakin ke utara aku mengejar sastra, aku mengenang Ning dalam hening. ia tak tahu dan mungkin tak peduli kalau naskah asli kumpulan puisinya ‘Tuhan Ada dan Berjelaga’ kubawa serta ke Jakarta. ada getir dalam getar-getar kereta ketika kubuka bagian paling menarik dalam buku yang menjadi kelak tak hanya menjadi introduksiku dalam dunia sastra. empat larik yang tak akan pernah kulupa dalam hidupku, karena paling tidak aku membacanya setiap hari karena kucat besar-besar di dinding kamar apartemen baruku.

Tuhan ada dan berjelaga.
saat kau lesap, Tuhan menyerap dalam kaca.
saat kau retak, Tuhan menguap ke udara.
tak terhingga, kecuali kau harus mati bersamanya.

sekali lagi, bila Ning tetap menjadi sastra, maka buku ini menjadi gaunnya yang terindah. yang mengusir dinginku ketika harus tidur di sela mushola dalam beberapa hari pertama ku tiba di Jakarta. yang meredakan amarahku jika mengingat betapa mengesalkannya kota. yang memeluk hatiku dalam redam getarnya. yang menyeka bulir-bulir air mataku ketika aku merindukan Ning yang tak lagi menjadi sastra.

*

dua bulan yang lalu kudengar kabar bahwa Ning, sudah tak ada lagi. menjadi martir sebuah organisasi pergerakan kiri. aku menangis tanpa henti, harusnya kucegah sejak dulu ia dari segala macam ‘diskusi’, kalau hanya akan mencuci otaknya dan membuatnya mati tak berarti.

berita ini kudapat tepat ketika seorang perusahaan penerbitan di Bandung menyetujui untuk mengembangkan naskah yang kukirimkan, dan memberikan kontrak sebanyak dua buah buku fiksi yang harus diselesaikan dalam waktu delapan bulan. maka untuk mempermudah urusan penerbitan sekaligus mencari inspirasi untuk pengeksekusian, aku memutuskan untuk pindah ke Bandung.

dan Ning, seharusnya kini kau tahu bila kau bisa melacakku. aku pergi dari Yogya karenamu, empat tahun di Jakarta karenamu, dan pindah ke Bandung pun karenamu. karena Ning, akan kuabadikan kau dalam tiap kata yang merangkai cetak kisahku. karena Ning, di sanalah seharusnya kau bersemayam.

*

maka malam minggu ini akan kuakhiri ‘Ning’ dengan pesta kue. juga kuakhiri kesepian dan ketakutanku hidup tanpa asa Ning. selamat tinggal Ning, selamat datang enam kali rasa cemas, mungkin enam kali lebih menegangkan daripada ketika pertama kali aku berkenalan dengan Ning. selamat datang semuanya, selamat membuatku cemas. mungkin buku keduaku akan berjudul ‘Lantai Lima Belas’, aku hanya punya enam bulan lagi, maka itu aku perlu segera bergegas.

Mardi Wisesa

No comments:

Post a Comment