7/6/10

L'apparteman 1502

via suzywire

#001
Minggu yang cerah, juga sepi. matahari sudah setinggi tempat ku berdiri di lantai 15 Apartemen Seguni. mungkin sekarang sudah pukul delapan atau sembilan pagi, tapi Kota sama seperti ku beberapa menit tadi, masih terlelap dalam mimpi.

di bunga tidur mekar teman-teman kecil mampir bermain di taman mimpi. bersama kami melukis dinding Kota yang pengap, padat, dan seringnya bikin emosi kumat. kami lukis dengan suasana desa. sawah lengkap dengan petani dan kerbau bajaknya, sungai lengkap dengan ikan nila kecil yang berenang di jernihnya. dan rindang pohon ranum bunga lengkap dengan sejuknya.

tak luput matahari dan cuaca kami lukis dan peras. ingat, pernah ayahku sambil bercanda berkata, “di desa, matahari yang berkeringat, manusia tidak.” itulah alasan kenapa aku dan teman-teman masa kecil begitu rajin bangun pagi demi menikmati tetes-tetes embun, yang ayah namakan keringat matahari.
ayah juga mampir tadi malam, mengepit Si Ngoncrang, ayam jago keakungannya. kokok biduan jagoan ayah ini kerap tak mau kalah dengan kumandang adzan Subuh, membangunkan ayah, dan seluruh anggota keluarga yang lelap tidur melepas lelah.

kalau apartemen ini mengizinkan penghuninya membawa binatang peliharaan, aku juga ingin membeli seekor ayam jago bersuara lantang, kemudian akan aku namakan Si Ngoncrang Jr. (junior), soalnya suara digital alarm handphone dan pekak bising suara weker tak cukup nyaring untuk membangunkanku pukul lima, apalagi bila baru bisa tidur pukul tiga.

seperti pagi ini ketika matahari dan rindu terbit bersamaan, entah sudah berapa snooze aku tekan, hingga mungkin si handphone pun kesal sendiri, teriak-teriak tak didengar. tapi syukurlah, lagipula ini Minggu, kalau tadi bangun pun belum tentu ayah dan kenangan masa lalu mampir di mimpiku. bisa jadi matahari hari ini terbit seperti hari-hari lainnya, tanpa rindu yang tiba-tiba muncul di ufuk hati.

#002
bicara rindu di senggang Minggu memang terdengar rancu, sementara anak-anak kecil berebut remote televisi demi menonton kartun favoritnya, atau jemaat gereja berlomba-lomba mengejar pahala di misa pagi mereka. bukan pula rindu yang ada di benak pria hidung belang paruh baya yang santai membaca tajuk rencana, habis pulang ‘dinas’ selama satu minggu entah di mana.
oh, bicara rindu di senggang Minggu itu ironi. karena rindu itu gelisah, sementara bukankah Minggu itu santai dan damai.

santai yang damai itu yang tak pernah hinggap di setiap Minggu, setiap saat entah mengapa aku memikirkan rindu. karena rindu itu ngilu, seperti es krim bagi yang nyeri huntu. rindu itu pilu. karena setiap saat aku memikirkan rindu, waktu berhenti untuk masa laluku yang itu-itu melulu. satu-satunya kampung halamanku, sepasang orang tua dan dua adikku, dan bisa-dihitung-dengan-jari teman-teman masa laluku yang dari TK sampai SMA, ada dan selalu ‘menghantuiku’.

kau lihat? berapa banyak tempat, berapa banyak pantat yang bisa kurindu? berapa banyak jemu karena aku merindukan suasana dan manusia yang itu-itu melulu. kau lihat? bahkan bagiku, rindu mencari batas waktu.
maka hendak kurenggangkan batas waktu rindu. antara aku, masa tua, dan kematian harusnya ada lagi suasana yang bisa kukenang, ada lagi anak manusia yang bisa kurindu. pada akhirnya nanti aku tak bisa hidup sendiri di kamar ini, terbunuh sepi sementara yang lain pulang dan pergi. aku tak ingin mati dalam sunyi.
usai mandi, kurapikan kamar, kudorong jendela kaca agar sirkulasi udara bisa bertemu dengan mesra. juga kurapikan diri, kukenakan kemeja terbaik untuk perjalanan dua blok ke toko kue di Tamansari.
kenop pintu terasa begitu dingin dan menakutkan, untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, aku memberanikan diri untuk membuka dunia, dunia yang harus kukejar, bukan dunia yang harus kujemput seperti pesan antar masakan cepat saji yang menyambung hidupku sebulan terakhir.

kuputar kenop pintu dan kuyakinkan diri. aku harus sudah siap ketika hati yang sementara rapi ini berantakan lagi oleh peran, permainan, dan model transaksi manusia yang kejam mengakar dan kacau tak linear.
sebelum tangan kananku membeku, kubuka saja pintu itu, walau ragu-ragu. tapi kata ayah juga kan, “dengan lambung, kita mencerna untuk hidup. tapi dengan hati, kita memaknai, untuk itu kita hidup.”

#003
perjalanan pulang dan pergi, ke dan dari toko kue memang menakutkan. tapi setelah kutenteng enam toples
castangel dalam plastik, aku menemukan hal yang lebih menakutkan: menulis undangan makan malam untuk lima manusia yang satu lantai denganku, menatanya dengan cantik di atas castangel paling enak di dunia menurutku, dan meletakannya di depan kamar mereka masing-masing.

castangel paling enak di dunia ini tentunya tidak gratis, malam minggu nanti bila tak ada acara, makan malamlah di kamarku. sekadar membuktikan bahwa setidaknya ada lima kue kering lagi yang mungkin lebih enak dari castangelku,
salam hangat, Kamar 1502.”

semoga malam minggu nanti benar-benar menjadi malam yang hangat, sehangat salamku pada mereka. salamku pada dunia.
l’appartemant
@kamar1502; 4 Juli 2010.

No comments:

Post a Comment