Aku sebenarnya tak pernah mengistimewakan hari Minggu. Tapi kali ini, ini Minggu pagi dan aku sudah bangun! Daya tahan tubuhku memang luar biasa. Setelah kurang makan selama seminggu terakhir, kemudian hujan-hujanan kayak orang gila dua hari lalu, ditambah begadang menyelesaikan seluruh deadline hingga lewat tengah malam, pagi ini aku masih bisa bangun dengan kondisi sangat prima.
Aku beranjak dari kasur dan sebatang rokok tahu-tahu sudah menclok di bibirku, menyusul api dari lighter yang kunyalakan sambil membuka pintu menuju balkon. Bagus, cuaca Bandung cerah. Ditambah deadline yang sudah beres dan monthly income report Bliss yang sangat memuaskan, life is good, I guess! Ku tenteng gitar dan menggenjreng seenaknya. I know it sounds funny but I just can't stand the pain…Boy I’m leaving you… sebait lagu milik Faith No More, “Easy”, kubawakan sambil senyum-senyum.
Jangan tanya kemana perginya perasaan depresi yang kemarin mendera. Jika itu terjadi padaku, aku tinggal yakin suatu saat akan tiba saatnya semua menguap begitu saja. Inilah buktinya. Jangan heran juga jika kebulatan tekad ini mudah terdistraksi oleh hal-hal kecil. Yang penting saat ini, aku merasa diriku yang hilang telah kembali! Hooouoo, easy like Sunday Mooorning…!
Aku mengeluarkan Brenda yang berisik mencakar-cakar kandang minta disapa. Wajar, kelinci tipe fuzzy loop ini sudah masuk usia puber. Kuangkat Brenda ke depan wajahku, memasrahkan hidungku dijilat kecil-kecil. Hihi, aku selalu suka rasanya… Eh? Itu? Errr, sweater milik siapa? Aku meraih sweater biru yang teronggok begitu saja di sebelah vas bunga ketika ponselku bunyi. Bip pip.. Event : Gathering at Mardi Wisesa’s. Gawat! Hampir lupa! Sweater pun melayang entah ke mana.
Sangat tergesa-gesa, aku memarkir kendaraan di parkiran Bliss. Inilah nasib orang ceroboh. Semuanya harus dilakukan dengan tergesa-gesa. Pandanganku terpaku pada bunga matahari yang baru bermekaran. “Wah! Bunganya besar sekaliiiiiiii!” aku terpekik riang. Pupuk yang dibawakan eyang dari Majalengka ternyata benar-benar magis! Oke, tanpa membuang waktu aku memeriksa laporan keuangan yang pasti akan memakan waktu cukup lama. Ditambah mengecek jenis pesanan dan ketersediaan barang. Setelah beres, aku ambil bunga Freesia yang sudah aku pesan tempo hari. Turquoise. Senada dengan Kate Spade bag-ku. Ah, enggak penting! Haha. Yang terpenting sekarang, pergi ke toko kue dan selamat bingung memilih!
Di dalam lift, aku melihat pantulan diriku. Heboh. Menggondol buket Freesia dan memegang satu toples choco flake cookies. Ting. Baik, ini lantai 15. Menuju 1502, Knock! He? Orang ini…
“Hai Tei, kau datang. Mari masuk,” ujar lelaki yang wajahnya terasa tidak asing. Terbongkarlah sudah puzzle yang tidak kupedulikan tadi. Lelaki ini, yang menyaksikan tingkah konyolku berbasah-basahan diguyur hujan dua hari lalu. Dialah pemilik sweater biru yang teronggok kotor tak kucuci itu. Ah, seperti sinetron saja, sih?
“Kamu… eh, sweatermu.. hmm, belum… anu…”
“Sudahlah, masuk,” ujarnya sambil tersenyum. Aku tahu dia memandangku kasihan. Wajar, dia terlanjur menjadi saksi kejadian paling memalukan tempo hari. Tuhan! Ingin rasanya aku kembali ke kamarku dan melewatkan pertemuan ini. Aku tidak suka dikasihani! Membuatku merasa seperti anak bebek yang baru kecebur got!
Tapi toh kakiku tetap melangkah ke dalam kamarnya. “Well, thanks…” ujarku sambil memberikan tatapan penuh arti. “Oh ya, saya bawakan ini. Tipe Freesia harusnya memberi kehangatan. Kamar cowok kan biasanya gersang… hehehe,” aku berusaha bercanda. Meskipun kenyataannya, kamar Mardi Wisesa jauuuuh lebih nyeni daripada kamarku!
“Wah, seger banget tuh bunganya! Freesia? Dapat dari mana?” sebuah suara cempreng tiba-tiba memecah lamunanku. Hei, sudah ada dua orang tamu rupanya. Tidak sulit untuk mengingat nama wanita tomboy dan cuek yang duduk di dekat kulkas itu. Kahlua. Bagaimana mungkin melupakan Arabica Coffee plus vodka yang eksotis itu? Tapi wanita ceria bersuara cempreng tadi…. Kalea, Kalea, Kalea. KA-LE-A. Oh tolonglah, first impression harus bagus. Bisa hancur kalau ketahuan aku lemah menghafal nama.
“Oh, kebetulan aku buka florist di daerah Citarum. Kalo butuh bunga bisa ke sana, loh! Pilihannya lumayan lengkap kok! Hehe,” ujarku sedikit promosi. Kemudian datang Julian, Kyna, dan Ori. Ah, tidaaaakk! Rasanya aku kembali ke bangku perkuliahan dengan tugas mengingat nama-nama ini. Itulah, efek dari orang tua jaman sekarang yang senang sekali memberikan nama-nama aneh kepada anaknya. Errrr.
Kami berbincang dan saling menanggapi dengan antusias. Refleks telingaku menangkap satu kata yang terlalu sensitif untukku saat ini. Menikah. Ternyata Ori adalah seorang wedding organizer. Segera aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghapus bayangan Musa yang sedang ijab Kabul dengan pakaian adat. Mungkin suatu hari, aku akan berbincang dengan Ori tentang ini. Dia pasti paham sekali cara untuk menghancurkan pernikahan orang. Eh!
Aku sengaja berdiam sebentar ketika satu persatu orang meninggalkan kamar 1502 ini. “Terimakasih untuk tempo hari,” ujarku, yang hanya dibalas senyum oleh Mardi. Ia tampaknya lebih serius membereskan gelas-gelas daripada mendengarkanku.
“Aku harap kamu bisa melupakan kejadian itu. Aku.. Ah, sudahlah. Sepertinya kamu sibuk. Permisi!” kubalikan badanku tanpa menanti jawabannya. Ketika melewati kamar sebelah Mardi, refleks kakiku berhenti. Kamar 1503. Aku bisa melihat Ori sedang menghisap rokok dari sela-sela pintu yang sepertinya lupa ia tutup. “Dia bisa tahu banyak hal tentang pernikahan,” ujarku dalam hati. Biarlah aku menjadi konyol sejenak dengan hanya memusatkan kehidupanku pada Musa. Setidaknya, kelak aku bisa tertawa mengingat masa-masa ini. “Hai, Ori. Boleh masuk?”
Aku beranjak dari kasur dan sebatang rokok tahu-tahu sudah menclok di bibirku, menyusul api dari lighter yang kunyalakan sambil membuka pintu menuju balkon. Bagus, cuaca Bandung cerah. Ditambah deadline yang sudah beres dan monthly income report Bliss yang sangat memuaskan, life is good, I guess! Ku tenteng gitar dan menggenjreng seenaknya. I know it sounds funny but I just can't stand the pain…Boy I’m leaving you… sebait lagu milik Faith No More, “Easy”, kubawakan sambil senyum-senyum.
Jangan tanya kemana perginya perasaan depresi yang kemarin mendera. Jika itu terjadi padaku, aku tinggal yakin suatu saat akan tiba saatnya semua menguap begitu saja. Inilah buktinya. Jangan heran juga jika kebulatan tekad ini mudah terdistraksi oleh hal-hal kecil. Yang penting saat ini, aku merasa diriku yang hilang telah kembali! Hooouoo, easy like Sunday Mooorning…!
Aku mengeluarkan Brenda yang berisik mencakar-cakar kandang minta disapa. Wajar, kelinci tipe fuzzy loop ini sudah masuk usia puber. Kuangkat Brenda ke depan wajahku, memasrahkan hidungku dijilat kecil-kecil. Hihi, aku selalu suka rasanya… Eh? Itu? Errr, sweater milik siapa? Aku meraih sweater biru yang teronggok begitu saja di sebelah vas bunga ketika ponselku bunyi. Bip pip.. Event : Gathering at Mardi Wisesa’s. Gawat! Hampir lupa! Sweater pun melayang entah ke mana.
***
Sangat tergesa-gesa, aku memarkir kendaraan di parkiran Bliss. Inilah nasib orang ceroboh. Semuanya harus dilakukan dengan tergesa-gesa. Pandanganku terpaku pada bunga matahari yang baru bermekaran. “Wah! Bunganya besar sekaliiiiiiii!” aku terpekik riang. Pupuk yang dibawakan eyang dari Majalengka ternyata benar-benar magis! Oke, tanpa membuang waktu aku memeriksa laporan keuangan yang pasti akan memakan waktu cukup lama. Ditambah mengecek jenis pesanan dan ketersediaan barang. Setelah beres, aku ambil bunga Freesia yang sudah aku pesan tempo hari. Turquoise. Senada dengan Kate Spade bag-ku. Ah, enggak penting! Haha. Yang terpenting sekarang, pergi ke toko kue dan selamat bingung memilih!
***
Di dalam lift, aku melihat pantulan diriku. Heboh. Menggondol buket Freesia dan memegang satu toples choco flake cookies. Ting. Baik, ini lantai 15. Menuju 1502, Knock! He? Orang ini…
“Hai Tei, kau datang. Mari masuk,” ujar lelaki yang wajahnya terasa tidak asing. Terbongkarlah sudah puzzle yang tidak kupedulikan tadi. Lelaki ini, yang menyaksikan tingkah konyolku berbasah-basahan diguyur hujan dua hari lalu. Dialah pemilik sweater biru yang teronggok kotor tak kucuci itu. Ah, seperti sinetron saja, sih?
“Kamu… eh, sweatermu.. hmm, belum… anu…”
“Sudahlah, masuk,” ujarnya sambil tersenyum. Aku tahu dia memandangku kasihan. Wajar, dia terlanjur menjadi saksi kejadian paling memalukan tempo hari. Tuhan! Ingin rasanya aku kembali ke kamarku dan melewatkan pertemuan ini. Aku tidak suka dikasihani! Membuatku merasa seperti anak bebek yang baru kecebur got!
Tapi toh kakiku tetap melangkah ke dalam kamarnya. “Well, thanks…” ujarku sambil memberikan tatapan penuh arti. “Oh ya, saya bawakan ini. Tipe Freesia harusnya memberi kehangatan. Kamar cowok kan biasanya gersang… hehehe,” aku berusaha bercanda. Meskipun kenyataannya, kamar Mardi Wisesa jauuuuh lebih nyeni daripada kamarku!
“Wah, seger banget tuh bunganya! Freesia? Dapat dari mana?” sebuah suara cempreng tiba-tiba memecah lamunanku. Hei, sudah ada dua orang tamu rupanya. Tidak sulit untuk mengingat nama wanita tomboy dan cuek yang duduk di dekat kulkas itu. Kahlua. Bagaimana mungkin melupakan Arabica Coffee plus vodka yang eksotis itu? Tapi wanita ceria bersuara cempreng tadi…. Kalea, Kalea, Kalea. KA-LE-A. Oh tolonglah, first impression harus bagus. Bisa hancur kalau ketahuan aku lemah menghafal nama.
“Oh, kebetulan aku buka florist di daerah Citarum. Kalo butuh bunga bisa ke sana, loh! Pilihannya lumayan lengkap kok! Hehe,” ujarku sedikit promosi. Kemudian datang Julian, Kyna, dan Ori. Ah, tidaaaakk! Rasanya aku kembali ke bangku perkuliahan dengan tugas mengingat nama-nama ini. Itulah, efek dari orang tua jaman sekarang yang senang sekali memberikan nama-nama aneh kepada anaknya. Errrr.
Kami berbincang dan saling menanggapi dengan antusias. Refleks telingaku menangkap satu kata yang terlalu sensitif untukku saat ini. Menikah. Ternyata Ori adalah seorang wedding organizer. Segera aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghapus bayangan Musa yang sedang ijab Kabul dengan pakaian adat. Mungkin suatu hari, aku akan berbincang dengan Ori tentang ini. Dia pasti paham sekali cara untuk menghancurkan pernikahan orang. Eh!
***
Aku sengaja berdiam sebentar ketika satu persatu orang meninggalkan kamar 1502 ini. “Terimakasih untuk tempo hari,” ujarku, yang hanya dibalas senyum oleh Mardi. Ia tampaknya lebih serius membereskan gelas-gelas daripada mendengarkanku.
“Aku harap kamu bisa melupakan kejadian itu. Aku.. Ah, sudahlah. Sepertinya kamu sibuk. Permisi!” kubalikan badanku tanpa menanti jawabannya. Ketika melewati kamar sebelah Mardi, refleks kakiku berhenti. Kamar 1503. Aku bisa melihat Ori sedang menghisap rokok dari sela-sela pintu yang sepertinya lupa ia tutup. “Dia bisa tahu banyak hal tentang pernikahan,” ujarku dalam hati. Biarlah aku menjadi konyol sejenak dengan hanya memusatkan kehidupanku pada Musa. Setidaknya, kelak aku bisa tertawa mengingat masa-masa ini. “Hai, Ori. Boleh masuk?”
Ateira Niskala
1502
1502
No comments:
Post a Comment