Tidak, aku tidak kesepian sepanjang aku punya teman-teman yang mengitariku. Begitulah jawabku setiap teman-temanku bertanya mengapa aku masih mau hidup sendiri padahal aku sudah lulus kuliah, ibuku bisa mengurusi hidupnya sendiri, dan aku punya pekerjaan yang cukup bisa diandalkan. Lagipula aku tidak yakin bahwa pernikahan, jika memang itu yang mereka maksud, adalah jawaban atas kesendirian.
Bagiku, apapun status yang kau emban, kau akan terus sendiri. Setidaknya sampai kau mati nanti. Tidak mungkin orang yang ada di sebelahmu akan menjadi temanmu seumur hidup tanpa menyebabkan sedikit celah yang tidak terisi di setiap hari dan hela nafasmu. Manusia akan selalu sendiri. Percayalah. Dan kalau sudah begitu, teman-temanku hanya akan berkomentar, “Dasar keras kepala, pantas kalau sendiri terus,” diiringi gelak tawa yang kuamini.
Mengenai kesendirian ini, teman baruku di apartemen ini pernah sekali mengunjungiku dan terheran-heran melihat satu pot bunga yang ada di balkonku. Ateira, yang seorang florist, bilang aku memang tidak cocok memiliki hubungan apapun dengan tanaman. Hahaha, aku tertawa terbahak-bahak ketika ia bilang begitu. “Aku memang seperti tidak cocok memiliki hubungan dengan apapun, tidak hanya tanaman!” sejurus dia mendelik, lalu ikut tertawa bersamaku.
Oh, aku merindukan pertemuan dengan penghuni apartemen ini. Tapi sepertinya mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku masih ingat ketika Julian bilang akan pergi ke luar negeri untuk melenggak-lenggok di catwalk dan Kyna begitu sibuk berlatih dengan grup tarinya demi pagelaran bulan depan. Kapan kiranya semua penghuni lantai 15 ini bisa bertemu lagi?
Oh, dan kurasa Ori masih akan sibuk dengan wedding organizer-nya hingga beberapa bulan ke depan. Dan tentunya si Ateira itu akan sibuk wara-wiri di toko bunganya, sementara Kahlua mungkin akan menyambangi politisi-politisi busuk yang baru saja masuk ke penjara karena korupsi. Sedangkan si 1502 sepertinya juga sedang bertapa entah di belahan mana mencari inspirasi untuk novelnya yang baru. Dan aku masih saja di sini, entah untuk apa, entah untuk siapa. Maka ini baru namanya kesepian. Mengingat aku juga masih menghindari pertemuan dengan Darda.
Di masa seperti ini, sudah selang beberapa lama sejak pertemuan terakhir dengan Darda, aku baru bisa merasakan kesepian yang seperti tak hilang.
***
Demi hilangnya semua pikiran-pikiran buruk dan perasaan sepi yang berkepanjangan, aku putuskan untuk mengunjungi kakak ibuku yang berada di 140 km jauhnya dari kota ini. Aku pikir, dengan jauh dari tempat-tempat yang sering kusinggahi, maka segala yang negatif padaku akan hilang barang sejenak. Tak lupa kubawa serta kue lidah kucing juara satu itu untuk Bapak, begitu aku memanggil kakak ibuku, yang sudah kuanggap sebagai pengganti ayahku.
Melihat penampilanku yang begitu kusut, padahal aku tidak merasa demikian, ia bilang,”Sepertinya kamu butuh liburan, Le. Pergi ke pantai saja, seperti biasa.” Ia tidak sedang berbicara dengan lelaki, walaupun ia memanggilku Le, seperti orang Jawa memanggil anak laki-laki mereka. Ia memang suka sekali memanggilku Le, versi singkat dari Lea, karena ia pikir aku lebih maskulin daripada sepupu-sepupu perempuanku yang lain. Dan jelas ia tahu betul bahwa pantai adalah salah satu tempat berlibur favoritku.
“Tidak perlu jauh-jauhlah, yang dekat saja dulu. Yang penting kamu jadi segar lagi,” ujar Bapak sambil mengisi teka-teki silang di koran minggu.
Dan ia mengingatkanku betapa aku mencintai pantai, walaupun sesungguhnya aku lebih mencintai momen liburan di pantai-pantai itu. Lalu otakku mulai berpikir dan menyusun rencana tentang pantai-pantai yang akan kudatangi. Mungkin juga bisa menambah bahan tulisan untuk bulan depan.
***
Keesokan harinya, di kota yang sama, aku mengunjungi kantor majalah dimana aku bernaung. Sang pemimpin redaksi yang kukenal baik sejak beberapa tahun lalu mengajakku masuk ke ruangannya. Dibalut dress tanpa lengan dengan siluet yang tegas ia tampak berwibawa dan serius, padahal biasanya ia yang mengajak kami untuk berlaku gila.
“Kalea, sudah lama sekali kamu jadi kontributor majalah ini. Gue tahu kalau lo senang-senang aja jadi kontributor, tinggal di Bandung, dan bebas menulis apa saja yang lo mau. Kualitas tulisan lo memang tidak diragukan lagi, walaupun lo malas ikut pelatihan-pelatihan kami,” ujarnya sambil merapikan kertas-kertas di mejanya. Sementara aku hanya tersenyum mendengar sindirannya.
Tepat ketika aku bermain dengan pikiranku untuk berhenti menjadi kontributor dan membangun rumah singgah seperti impianku semasa dulu, ia menyampaikan kata-kata yang agak sulit kucerna.
“Tenang aja, lo nggak bakal pernah gue anak tirikan. Saya, sekali lagi, mau tawarkan posisi yang reporter senior di majalah ini. Kamu hanya perlu meliput hal yang penting saja dan mengawasi beberapa reporter bawahanmu,” dari penggunaan kata ganti itu, aku tahu dia memaksa. Ini semacam perintah.
Ia memberiku waktu untuk berlibur dan menyelesaikan tulisan untuk edisi bulan depan sebagai masa untuk berpikir atas “tawarannya”. Dan aku menyelesaikan pertemuan itu dengan muka tolol.
Jadi reporter senior berarti upah tetap, bisa pergi kesana-kemari tanpa keluar biaya sendiri, dapat fasilitas ini dan itu, akses ke baju-baju bagus, dan ini dan itu. Tapi harus tinggal di ibukota, keluar dari apartemen, meninggalkan Bandung, meninggalkan es cokelat dan lidah kucing juara satu, dan tentu saja jauh dari … Darda. Kepalaku mendadak pusing seperti jika aku terlambat makan. Agak sempoyongan seperti jika aku menambahkan sedikit rhum pada es cokelatku. Ambil, tidak, ambil, tidak, ambil, tidak?
Ah, tapi memangnya apalagi yang mengikatku di kota sejuk itu?
Le 29 Janvier 2011