"You take a big leap. While so hard for me to take a simple step."
"Follow me."
Ia kemudian berjalan menyusuri jalan setapak bagaikan ninja. Melompat sangat cepat hingga kulihat wujudnya terbagi menjadi serpihan partikel yang semakin lama semakin menipis. Argh! Sesak sekali rasanya dada ini. Berat pula kakiku untuk melangkah mengikutinya. Tak sedikitpun kata yang dapat meluncur dari tenggorokan. “Tungggu!”
Putih.
Paralysis nocturna kembali menyapa, rupanya. Satu step di antara keadaan tidur dan tidak tidur yang membuat mimpi terasa seribu kali lebih nyata. Dan kini, sosok dalam paralysis nocturna menjelma menjadi Musa.
Bagiku, mimpi tak hanya bunga tidur. Banyak ikatan yang tak dapat dideskripsikan melebur menyelusup dalam alam bawah sadar dan mewujudkan dirinya dalam mimpi. Aku sangat mempercayainya.
Akh! Hell with it. Hari ini aku berjanji bertemu Kalea. Sepulangnya dia dari luar kota kemarin, dia mengirim pesan pribadi di twitter yang berisi ajakan bertemu di tempat ngopi favoritnya.
Ketika mengunci kamar, ujung mataku menangkap sosok Julian baru keluar lift.
“Tei!”
“Juliaaaannn! Long time no see! Denger-denger abis dari luar, ya? Kyna juga kemarin baru banget pulang dari London. Wah, looking forward for a full team meeting dalam rangka bagi-bagi oleh-oleh yaaa! Hahahaha,” aku merangkul Julian dengan hangat.
“Iya, baru pulang dari Belanda untuk urusan kerjaan. Oh iya, kenalin ini adik saya, Pavel. Pavel, ini Ateira,” ujar Julian. Pavel memindahkan semua tas belanjaannya ke tangan kiri, sebelum menyodorkan tangan kanannya.
“Wow, looks like someone had helped raising my country’s income by shopping a lot at factory outlet! Hahaha. Nice to meet you, Pavel!”
“Haha, iya, semua ini gara-gara Julian. Dia membelikan saya semua barang yang saya pegang. Senang juga berkenalan dengan kamu, Tei,” ujarnya.
“He? Bisa ngomong Bahasa Indonesia, toh?” aku membalas sambil tergelak.
“Ya, Bahasa Indonesia Pavel sangat fasih,” Julian memberitahu dengan bangga.
“Anyway, aku ditunggu Kalea nih. Lain kali ikut ngopi-ngopi yuk kalau lagi santai. Tadinya aku ajak semua, tapi Ori dan Kyna sedang ada reuni dan Naila ada liputan. Mardi juga berhalangan siang ini. Jalan dulu ya Julian, Pavel, sampai jumpa!” Kami meneruskan jalan masing-masing, dan aku langsung menuju tempat kopi favorit Kalea yang letaknya tak terlalu jauh dari Seguni.
***
Tak butuh waktu lama, aku mengenali sosok Kalea di balik atasan fuschia dan kalung turquoise-nya. Warna yang juga aku sukai. Mungkin aku langsung melihatnya ketika memasuki coffee shop ini bukan karena dia Kalea, tapi karena paduan warna itu memang selalu menarik perhatianku.
Beberapa waktu, aku menikmati pemandangan sekeliling. Tempat duduk kami berupa sofa di pojok, dengan jendela besar yang langsung menghadap trotoar lebar.
“Mungkin aku akan segera pindah, Tei,” Kalea mengatakan kalimat itu tanpa mengalihkan pandangan dari es coklatnya.
“Maksudmu?”
“Bosku memberikan pekerjaan yang lebih menjanjikan. Di Jakarta.”
“Wow, selamat, Kal! That’s good! Ah, semua orang di sekelilingku tampak mulai merintis karir sementara aku masih menunggu kepastian. Bersyukurlah, Kal, mungkin banyak rekanmu sesama kontributor yang mengharapkan panggilan itu!” aku tertegun beberapa detik sebelum mengatakan itu. Mungkin ucapan selamatku pun terdengar sumbang. Pertama, karena aku masih saja menunggu celah untuk majalah yang aku cita-citakan sejak dulu. Kedua, karena aku bingung harus ikut senang atau sedih. Pasalnya kami baru saja saling mengenal dan aku sudah menyukainya. Beberapa detik pula, Kalea tak kunjung menolehkan muka.
“Why, Kal?”
“Aku tak yakin aku ingin. Memang lompatan yang bagus untuk karirku. Pun ada beberapa hal yang mengharuskanku pergi dari sini. Tapi aku tidak ingin. Dan jangan bilang bahwa kita harus memilih yang harus kita lakukan, bukan yang kita inginkan. Karena semuanya tak pernah semudah yang dikatakan,” ujarnya.
“Kamu benar. Aku, justru beberapa kali ingin sekali pindah dari kota ini. Ada hal-hal yang terus membayang selama aku menyusuri setiap jalannya. Tapi aku tetap di sini, karena aku ingin merintis usaha serta karirku. Lantas terpikir bahwa aku ternyata tidak seingin itu untuk meninggalkan kota ini beserta seribu kenangan di dalamnya. Hehe. Kau? Apa alasanmu?” aku kemudian menunggu jawabannya beberapa saat.
“Errr, aku merasa harus meninggalkan kota ini karena awalnya, aku pikir itu satu-satunya hal yang bisa menghapus semua kenanganku. Hahaha. Kamu, baru putus juga, ya?” Kalea akhirnya tertawa.
“ Percaya atau tidak, Kal. Aku baru putus dan langsung menerima undangan pernikahan mantanku. Hahaha!”
“Jah? So Sad. Itulah kenapa kau selalu menghindar dari topik pernikahan?”
“It’s freaking me out! Dan bayangan Musa lalu seperti menari-nari mengenakan pakaian adat sambil mengucap ijab kabul di kepalaku,” ujarku sambil tertawa. Lagi-lagi sumbang.
“Hahaha, please deh, susah tau ngebayangin berucap ijab kabul sambil nari-nari. Lalu, apa kepastian pekerjaan yang tadi kau sebutkan?”
Aku kemudian bercerita mengenai cita-citaku yang tak sembarang orang tahu. Yang kuanggap begitu agung. Mengabulkan franchise Mariah Tunsell, majalah asal Amerika yang fokus utamanya adalah craft dan garden, serta sedikit tentang interior design. Sebuah majalah dengan konsep yang belum ada di Indonesia. Di negaranya, Mariah begitu terkenal sebagai stylist nomor satu. Ia memiliki acara TV sendiri dengan rating yang luar biasa. Itulah mengapa Bliss Flowery lahir. Sejak kuliah pun, aku sudah menjadi kontributor dalam membuat table setting dan craft di majalah-majalah ternama. Namun untuk mengabulkan franchise itu, terlihat masih jauh sekali prosesnya.
“Keren banget, Tei! Itu baru yang namanya cita-cita! Kau tahu, sampai umurku sekarang, aku tidak tahu apa sebenarnya cita-citaku,” ujar Kalea.
“Setidaknya kau satu langkah lebih maju dariku, Kal. Bekerja pada media nomor satu! Aku punya cita-cita yang mustahil dan akhirnya sampai sekarang tidak menghasilkan apa-apa. Eh, ngomong-ngomong, kalau mediamu butuh stylist untuk table setting atau apapun itu, atau sekalian bisa aku promosikan bayi kecilku si Bliss Flowery, aku sangat berterimakasih, loh. Hihihi. Lumayan untuk porto.”
“Kirim dulu coba portonya, nanti aku bicarakan dengan bos. Eh, sepertinya aku sudah tahu keputusanku, Tei.”
“Maksudnya?”
“Untuk pindah atau tidak. Eh iya gak ya? Labil! Hahahaha. Anyway, kumpul-kumpul lagi yuk selantai 15?”
“Ayok banget! Nanti malam aku mau ke Mardi, ada perlu mengembalikan sesuatu. Mungkin nanti sekalian ajak dia juga. By the way, dua minggu lagi Bliss anniversary yang pertama. Kalian bakal jadi tamu kehormatan, pokoknya!”
“Wih, seru! Ngomong-ngomong, boleh aku ikut ke tempat Mardi nanti malam?” tanya Kalea.
Aku mengangguk senang.
Ateira Niskala
1501
No comments:
Post a Comment