8/27/13

Monolog Lejar

Biasanya tidak begini. Sekujur betis, tulang kering, dan tulang panggulku mulai nyeri. Kesemutan seperti aku belum pernah melakukan pose ini. Biji-biji keringat mulai menggelinding dengan deras, dari pori-pori kulit kepala, jatuh ke batang hidung, membuat asin tersesap selewat di bibirku, dan seluruh tubuhku basah.

20 detik lagi...

15...
10...
5...

"Fyuuuhhh!" desahku berat bersamaan dengan tumpuanku yang langsung jatuh berpegangan pada tiang kayu yang melintang di sepanjang tepi kaca ruangan ini. Aku menghirup napas dengan rakus, dalam namun pendek-pendek dan terengah-engah. Lima belas menit hanya aku habiskan dengan melakukan posisi mendak. Pose ini adalah gerakan yang mendominasi tubuh seorang penari Jawa saat berlaga; berdiri dengan posisi kedua tungkai kaki ditekuk sehingga menciptakan bentuk seperti ketupat jika dilihat dari depan dan belakang, dan kedua telapak kaki menghadap berlawanan ke sisi luar. 
Sepanjang tarian, seorang penari Jawa pasti melakukan posisi tubuh ini. Herannya, sore ini aku setengah mati mencoba bertahan berdiri dengan sikap dasar tersebut. Selayaknya posisi bersila ketika bermeditasi, aku menganggap setiap sikap dasar dari tarian Jawa sebagai saranaku untuk mencapai titik nol alam pikiranku. Beginilah caranya aku (dan mungkin beberapa penari lainnya) untuk menemukan fokus dan konsentrasi demi bisa menyatu dengan diri sendiri. Demi mengantarkan jiwa ke alam yang jauh daripada yang lain. Jauh dari sini.

"Tarian adalah wujud dari sebuah pengetahuan. Pengetahuan tentang hal-hal di luar persoalan raga yang selalu manusia butuhkan dan sanggup capai," ujar salah satu guru yang lebih tepat disebut sebagai pesohor dunia tari tradisional saat aku masih kuliah di salah satu institut seni ternama di Indonesia itu. Aku amini ujaran beliau begitu kutahu betapa beratnya mencapai titik dimana aku ada sekarang, titik yang bahkan belum bisa aku kuasai dengan fasih sendiri. Bahwa tari adalah media antara dunia spiritual dan ragawi. Dan harmonisasi antara dua dunia ini tak bisa dikarang, tak bisa didapat begitu saja, tak bisa dirapal semudah membaca doa. Bagiku, sebenarnya tarian itu sendiri adalah doa, doa yang dipanjatkan melalui seluruh organ tubuh yang bergerak, yang memuja, dan yang merintih. Disertai oleh jiwa yang berserah, pasrah, dan tulus. Jiwa yang telanjang. Doa yang rumit.



Image source: here

Lelah mendera tubuh dan pikiranku hingga aku kini terlentang pasrah di lantai dengan napas terengah-engah. Temponya tak beraturan, tak ritmis, dan pandanganku nanar menatap langit-langit ruangan. Aku diam dan hanya mendengar degup jantungku yang diiringi oleh suara embusan napas yang berat. Sayup kudengar suara dari lantai atas, dari langit-langit yang daritadi kupandangi. Ada suara-suara pergerakan yang teredam dari unit 1604.Prada, kalau tidak salah itu nama penghuninya. Perempuan yang sempat melanglang buana ke Columbia untuk melanjutkan studi. Apa dia sudah kembali?

Kugulingkan tubuhku sehingga kini tengkurap dan aku lekatkan daun telingaku ke lantai. Aku tidak bisa mendengar apapun dari lantai bawah kecuali suara dengung yang aku tak tahu berasal dari mana. Kembali aku terlentang. Ah, jadi tak salah rasanya kalau ada yang bilang manusia lebih mudah dan cenderung untuk melihat sesuatu yang ada di atas diri kita, namun saat harus kembali ke bawah, ke dalam, ke inti, kita enggan. Entahlah, sifat dasar manusia memang selalu sibuk untuk melihat apa yang ada di luar atau di atas dirinya, bukan? Kembali teringat ujaran seseorang yang sempat dekat denganku. Katanya, "Kesulitan utama kita sebenarnya adalah untuk menyatu dengan diri sendiri." Pria berusia 30-an yang hobinya bekerja (terlalu) keras lalu menghambur-hamburkan uangnya untuk mengunjungi beragam resort mahal di berbagai pelosok penjuru negeri ini. Ia selalu bepergian sendiri. Asumsiku waktu itu adalah karena ia memang belum berpasangan, tapi ia menyanggahnya. Leo, namanya, bilang, "Aku sudah total bersatu dengan teman-teman, dengan klien, dengan kolega dalam keseharianku di Jakarta. Satu-satunya waktu untuk bersatu dengan diriku sendiri adalah saat traveling." Kami berdiskusi soal ini di satu pagi mendung di Bali sambil menyantap makan pagi bersama, tepat sehari setelah kami berkenalan di Pulau Dewata. Diskusi yang penuh inspirasi dan filosofi selalu aku dapatkan dari Leo, dan itulah yang membuat kami berdua semakin dekat. Hingga waktu menjawab bahwa kami memang hanya sepasang manusia yang haus berbincang dan saling mengisi soal eksistensi diri masing-masing. Tak ada yang lain, tak ada gairah, tak ada nafsu untuk saling mencicipi satu sama lain. Setelah itu kami masih menyempatkan untuk janjian liburan bersama. Tak lebih.


Lantai yang dingin tak membuatku beranjak. Aku masih melepaskan lelah dengan berbaring letih. Setahun terakhir memang hidupku selalu terasa haus. Dahaga soal kepastian hidup sendiri menyeretku pada upaya-upaya pencarian yang tak berujung. Malahan, kesendirian ini lama-lama menjadi parasit yang membuat harga diriku melejit di depan kelompok sosial tertentu dengan citra "wanita modern" yang terbentuk, padahal meruntuhkan kebahagiaan hakikiku dan membuat kegamangan semakin leluasa berkuasa. Sedih itu menggerogoti relung hatiku hingga kopong. Klimaksnya adalah ketika aku dengar dari seorang teman bahwa Adya, ya, manusia keparat itu, telah menikah dengan perempuan yang dulu sempat aku lihat di kafe favoritku (tepatnya: kafe favorit kami DAHULU). Selama ini aku terus bergerak, berlari, dan tancap gas dalam kecepatan tinggi hanya untuk memuaskan diriku sendiri. Aku ingin memberitahu pada dunia bahwa ia memang tidak pantas untuk diratapi, bahwa ini adalah kehilangan miliknya. Bahwa sakit hati pasti terjadi, dan patah hati selalu pernah membunuh tiap manusia yang hidup. Bahwa fase itu wajar, benar? Semua orang pasti mengalaminya dan pasti bangkit dari liang kuburnya masing-masing. Tapi yang terutama, aku terus bergerak demi diriku sendiri! Hingga aku terlalu sibuk untuk mengejar. Hingga tarian yang awalnya memang benar menjadi obat tunggalku, perlahan berubah menjelma menjadi sosok orangtua yang memberikan peringatan, "Kamu belum mencapai apa-apa, Nak," dan "Batinmu gelisah, sejujurnya, Nak," begitu. Setan.

Jantungku makin berdebur kencang, pikiranku rusuh, mendak-ku tak bertahan lama dan menyisakan siksaan fisik yang lelah, dan aku kehabisan energi. Aku tak bisa merasakan lenganku, kakiku, bahkan tubuhku lagi. Lelaplah, Kyna... Pasrahkan dirimu, ampuni ragamu, pasrahkan kali ini. Lelaplah, Kyna...


"Kyna... Kyna..." Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggilku. Entah di mana dan siapa. Tubuhku berat, dan aku membuka mata mendapati terang yang tinggal setengah. Lengan dan kakiku terasa nyeri, pegal, dan enggan digerakkan.


"Kyna! Anak-anak ngajak makan bareng di luar!" seruan yang akhirnya kukenali berasal dari luar pintu unitku membuatku terjaga dan sadar. Aku duduk sebentar dan menyahut, "Yaaaaa, wait a minute!" seruku. Gorden belum menutupi jendela sehingga aku tahu di luar adalah petang. Ah, aku terlelap cukup lama, pulas pula... Lima detik berselang, aku langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu lalu membukanya. Ateira berdiri di sana, "Oh, lo tidur, ya?" tanyanya dengan raut wajah prihatin. Aku mengibaskan tangan, "Ketiduran," lalu melanjutkan, "mau berangkat jam berapa, Tei?" Ia melihat arloji di tangannya lalu merengut sedikit hingga mengeluarkan suara "hmmm" yang pelan. "Setengah jam lagi paling," katanya. Tak sengaja aku menguap lalu mengangguk, "Sip, gw mandi dulu, ya!" ujarku. Ia mengangguk sembari tersenyum, "Nanti whatsapp aja, ya, kalau sudah beres siap-siap," katanya sambil melangkah hendak pergi, "gw ada di unit Ora, okay?" Yang aku jawab dengan jempol teracung.

Kututup pintu dan beranjak menuju kamar mandi. Setidaknya, kesendirian tidak merajalela malam ini.***


Avara Kyna
#1504, 26-27 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment